Narasi

Agama, Dialog dan Tantangan Kebhinnekaan

Kebhinnekaan di Indonesia terus-menerus mendapat ujian. Perbedaan makin dipandang sebagai ancaman daripada hal yang menyatukan. Hari demi hari pun anak bangsa ini makin sering diributkan dengan isu keberagaman yang tidak produktif. Terlalu banyak masalah kecil dan remeh-temeh yang kita perdebatkan. Energi bangsa ini akhirnya terkuras tanpa mendapatkan hasil yang sifnifikan. Salah satu indikatornya adalah makin menguatnya isu tentang identitas. Sebagai bangsa dengan tinggat kemajemukan yang tinggi, beraneka warna identitas tersebar di nusantara. Baik identitas terkait suku, budaya, golongan, agama, dan sebagainya. Tetapi kini, ada upaya untuk meninggikan identitas tertentu dan merendehkan identitas lainnya. Hal ini yang akhirnya menimbulkan kegaduhan dan suhu panas di masyarakat.

Identitas agama menjadi salah satu hal yang tanpa lelah diperdebatkan. Lihat saja suguhan berita di media cetak dan online. Isinya banyak membahas peristiwa yang berhubungan erat dengan agama. Mulai dari aksi demonstrasi penistaan agama, kontroversi pemimpin non-Muslim, rencana pembubaran ormas berbasis agama,  dsb. Jika ingin mengetahui isu agama yang lebih heboh dan sadis, tengok saja media sosial kita. Provokator yang memanas-manasi konflik agama berseliweran tanpa henti. Di medsos, kondisi negeri ini memang tampak telah memasuki “perang” antar agama. Jika yang mengkonsumsi adalah orang yang kritis, maka akan mudah menyaringnya. Tetapi masalahnya, banyak diantara kita yang cenderung mudah percaya. Hal ini akan berbahaya jika dibawa ke dalam kehidupan nyata.

Maka, perlu upaya untuk mengembalikan peran agama agar bisa menjadi alat pemersatu. Agama sebaiknya dipandang dari segi positif yaitu menyebarkan perdamaian dan memperjuangkan kebaikan. Bukan alat untuk menggelorakan kebencian dan menyemai kekerasan. Sejarah masuknya Islam di Indonesia pun bisa menjadi inspirasi bahwa agama memang menyebarkan kelembutan. Menurut Nurcholis Madjid (1998: 94), Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami arabisasi dibanding negara lainnya. Islam yang masuk di Indonesia tidak menggantikan agama yang sudah ada sebelumnya. Islam masuk dengan cara penetration pacifique (penetrasi secara damai). Kegiatan penyebaran damai dilakukan oleh pegadang sekaligus dai. Hasilnya bisa dilihat seperti sekarang, bahwa Islam di Indonesia memiliki karakter sinkretisme. Contohnya dalam penanggalan kalender jawa tetap mempertahankan asal-usul Hindu Shaka. Kalender Jawa sekedar merubah penanggalannya dari sistem solar ke lunar, dengan mengaplikasikan nama arab dan jawa. Misalnya suro untuk asyura (untuk bulan Muharam), sapar untuk safar, mulud untuk Rabi al’awwal, dsb.

Dialog juga menjadi hal penting agar masing-masing pihak yang berbeda pandangan dan keyakinannya bisa membaur dalam wadah kebhinnekaan. Sebab dengan dialog akan tercipta saling pemahaman atas kelompok lain yang berbeda. Dialog mampu meleburkan sekat-sekat yang menghalangi interaksi antar golongan. Tetapi memang dialog bukan sekedar berbincang dan saling menyapa. Ada hal yang lebih substansial yang perlu dilakukan agar efektif. Menurut Haidar Bagir (2017: 182), dialog akan berhasil jika melibatkan pengertian di kalangan agama-agama. Syaratnya agama harus mentransendenkan formalitas dan mencapai aspek spiritualitas dari semua agama. Peradaban sejati wajib memperhatikan dimensi dan resonansi pengalaman manusia yang lebih dalam. Martin Buber, seperti dikutip Haidar Bagir (2017: 183), mengatakan bahwa dialog bukan sekedar pertukaran kata. Dialog adalah tanggapan dari keseluruhan diri seseorang terhadap keseluruhan diri orang lain. Percakapan keagamaan bisa tercapai ketika satu hati terbuka atas hati lainnya.

Kita berharap, kedepan, masyarakat Indonesia dapat lebih bijak dalam memandang perbedaan. Selain itu, masyarakat juga makin cerdas untuk memahami hakekat agama. Pelangi agama yang menaungi bangsa ini adalah anugrah yang harus disyukuri dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Jangan hilangkan keindahan tersebut. Kita harus menyakini, bahwa setiap agama memiliki ajaran yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Jika pun ada yang berbeda, nikmati saja dengan hati lapang. Jangan pernah membesar-besarkan perbedaan, sebab bisa merusak solidaritas kita sebagai sebuah bangsa. Apalagi menggunakan agama untuk membenci dan menyakiti orang lain. Kebhinnekaan negeri ini wajib dipupuk dan dirawat. Agar dapat terus tumbuh dan menumbuhkan buah manis persatuan bagi rakyatnya.

This post was last modified on 26 Mei 2017 9:43 AM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Kerapuhan Khalid Basalamah dalam Menyikapi Islamisasi Tradisi Lokal

Salah-satu sosok penceramah yang sangat gencar menolak islamisasi tradisi lokal adalah Khalid Basalamah. Bahkan, beberapa…

19 jam ago

Anggapan Keliru Kearifan Lokal dan Tradisi Menodai Akidah

Akidah mana yang tercemari oleh pujian-pujian kepada nabi, bunyi rebana, wewangi kemenyan, atau bahkan ziarah…

1 hari ago

Kearifan Tuhan dalam Kearifan Lokal

Peran “khalifah” adalah mandatory dari Tuhan yang Maha Kuasa yang dilimpahkan kepada manusia sebagai penduduk…

1 hari ago

Islam dan Kearifan Lokal : Jejak Dakwah Nabi Muhammad Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin

Dalam sejarah Islamisasi di jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW sangat bijak dalam memberdayakan tradisi lokal…

2 hari ago

Belajar Kearifan Lokal dalam Relasi Islam-Kristen di Desa Ilawe

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dikenal akan kekayaan budaya, tradisi, dan kearifan lokalnya…

2 hari ago

Gejala Inferioritas Beragama; Dari Puritanisme ke Romantisisme

Fenomena keberagamaan kita hari ini diwarnai oleh gejala inferiority complex. Sejenis sindrom rendah diri atau…

2 hari ago