Categories: Narasi

Agama Untuk Para Pemula

Suatu ketika, seorang tetangga mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya, “Apa pelajaran agama pertama yang penting saya berikan untuk anak saya, pak?” Sang bapak sepertinya sedang gelisah karena anaknya kini sudah mulai beranjak baligh. Ia merasa mendidik anak adalah kewajiban setiap orang tua, terutama karena ia ingin membekali anak-anaknya dengan ilmu agama yang cukup. Karena pada saat anak sudah memasuki masa baligh, maka seluruh pahala dan dosa yang mereka lakukan akan menjadi tanggungan mereka sendiri.

Saya tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba mengajaknya berdialog dengan melontarkan pertanyaan pancingan, “Apakah menurut bapak pelajaran agama yang ada di masjid, mushalla dan madrasah yang sekarang ada belum cukup baik?” Sang bapak diam sejenak, lalu dengan hati-hati ia menjawab, “Saya bahkan tidak tahu yang mana kurikulum yang baik dan mana yang kurang baik, saya hanya khawatir kalau anak saya tidak paham agama atau justru merasa paling paham agama.” Saya tersenyum mendengar jawaban jujur tersebut, sepertinya saya sudah mulai mengerti kenapa bapak ini khawatir.

Pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi setiap manusia, karena ia adalah sebaik-baik bekal yang akan menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Khusus bagi anak-anak, hal lain yang juga tidak kalah penting dari pendidikan adalah kasih sayang. Karenanya mendapat pendidikan yang disertai dengan kasih sayang adalah sebuah kemewahan bagi siapapun.

Mari kita kembali pada cerita si bapak muda di atas. Si bapak merasa perlu memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Pertanyaannya adalah, pelajaran atau bab apa yang seharusnya diberikan terlebih dahulu? mengingat materi tentang agama ada terlalu banyak, sementara untuk mempelajari semuanya dibutuhkan waktu belajar yang cukup lama.

Saat ini memang kerap ditemukan kekhawatiran pada orang tua tentang pendidikan agama yang baik bagi anak-anak mereka, terutama paska merebaknya kabar tentang berbagai kelompok ekstrimis yang menjinjing nama agama. Tidak jarang pula kita menyaksikan beragam aksi kekerasan yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengaku paham agama.

Hal ini tentu membuat para orang tua gundah. Di satu sisi mereka menyadari pentingnya pendidikan agama bagi anak-anak mereka, namun di sisi lain mereka juga khawatir jika anak-anak mereka malah mendapat pendidikan agama yang melenceng dari semangat perdamaian dan persaudaraan. Akibatnya anak-anak mereka hanya akan mengenal agama dalam kacamata hitam-putih, dosa-pahala, kafir-bukan kafir, dan seterusnya.

Kegundahan dan dilema yang dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan agama terhadap anak-anak mereka akhirnya mengerucut pada sebuah pertanyaan pokok, yaitu bagaimana seharusnya agama diajarkan kepada anak-anak? Apakah anak-anak harus diajarkan tentang ancaman siksa neraka terlebih dahulu? Atau anak-anak diperkenalkan kepada sifat Tuhan yang maha penyayang lagi pengasih?

Sebagai sebuah pengetahuan yang memiliki cakupan sangat luas, pendidikan agama bukan lagi tentang ‘apa’ yang diajarkan, tetapi lebih dari itu, ‘bagaimana’ cara mengajarkan agama (terutama kepada anak-anak) yang dapat membuat anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kesalehan intelektual dan sosial.

Saya lantas bertanya kepada bapak itu, “Berapa tahun atau berapa lama waktu yang anda miliki untuk mendidik anak-anak anda mengenai agama?” atau “Anak anda punya waktu berapa lama untuk belajar mengenai agama?”
Bagi saya, alokasi waktu sangat penting dalam proses belajar agama. Karena dengan alokasi waktu yang jelas, para orang tua dapat membantu anak dalam membuat semacam jadwal belajar sekaligus menentukan metode belajar yang akan mereka tempuh. Jika mereka memiliki waktu yang panjang, maka mereka dapat memilih pendidikan agama berbasis asrama seperti pesantren, misalnya. Namun jika waktu belajar agama yang dimiliki anak-anak tidak banyak, maka bisa dipilih metode lain, seperti pesantren kilat, TPA, TPQ, dan lain-lain.

Sekarang marilah kita berhitung berapa lama alokasi waktu yang dimiliki anak-anak -khususnya yang tinggal di kota-kota besar– untuk belajar agama. Dari 24 jam dalam sehari, berapa jam waktu yang bisa ‘disisihkan’ untuk anak-anak belajar agama? Termasuk berapa jam pula waktu yang bisa dialokasikan orang tua untuk mendidik atau menemani anak-anak belajar agama?

Setelah alokasi waktu diketahui, maka hal selanjutnya yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah menentukan urutan tema yang akan disampaikan kepada anak. Hal ini penting, karena seperti ‘kecurigaan’ KH. Mustofa Bisri terhadap para pengagum kekerasan, mereka yang memiliki pandangan radikal (ekstrimis) terhadap agama; gemar mengkafirkan orang lain, tidak segan melakukan kekerasan terhadap yang berbeda pandangan, kemungkinan adalah orang-orang yang belajar agamanya baru sampai pada bab perang saja (belum tuntas). Sementara bab yang berisi ajaran untuk menghargai sesama dan toleransi belum sempat mereka pelajari.

Oleh karenanya penting bagi orang tua untuk mengetahui tema-tema apa saja yang akan diajarkan ke anak, termasuk –sekali lagi—membuat urutan dari kompilasi tema yang akan disampaikan ke anak. Jangan sampai anak-anak mengenal agama sebatas perintah untuk perang tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran untuk menghargai perbedaan dan mengasihi sesama.

Hal ini berarti bahwa setiap anak akan memiliki model dan pendekatan yang berbeda-beda dalam mempelajari agama, tergantung pada alokasi waktu yang mereka miliki. Sebagai perbandingan, jaman dahulu orang tua cenderung ‘membebaskan’ waktu anak-anak mereka untuk belajar selain agama, sehingga waktu mereka hanya difokuskan untuk belajar agama.

Maka tidak jarang dari para orang tua tersebut mengirim anak mereka untuk belajar agama untuk periode waktu yang lama. Di pesantren misalnya, banyak santri yang belajar agama hingga puluhan tahun. Sehingga mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempelajari agama dari berbagai aspek. Bagaimana dengan masa sekarang? Tidak sedikit dari anak-anak yang telah menjadi pribadi yang ‘sibuk’. Hari-hari mereka dipenuhi dengan berbagai kegiatan yang nyaris tidak memungkinkan mereka untuk hanya fokus belajar agama.

Jika kondisinya demikian, saya menyarankan untuk memulai belajar agama dari sisi etika, bukan ritual. Yakni tentang nilai-nilai utama dan semangat dari ajaran agama tersebut. Tema ini menyangkut juga alasan dan tujuan agama turun ke dunia; mengapa ada agama? Bagaimana seting sosial ketika agama pertama kali turun? Apa yang ingin dicapai oleh agama?

Memahami agama dari segi etika sangat penting bagi anak-anak, karena sebagai pemula mereka akan diajarkan tentang semangat dan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam agama. dengan mengenalkan sisi-sisi baik dan indah dari agama, anak-anak akan dengan sendirinya tertarik untuk belajar agama; mereka akan belajar karena suka, bukan karena dipaksa.

Setelah mereka belajar agama dari sisi etika, maka ‘level’ pembelajaran dapat ditingkatkan pada tema ritual. Mengapa baru mengajarkan ritual setelah belajar etika? Bukankah mengajarkan ritual sangat penting? Tentu, ritual agama memang sangat penting, namun bagi anak-anak, cara mengajari ritual keagamaan cukup diberikan melalui contoh nyata saja terlebih dahulu. Seperti membiasakan anak menyaksikan orang tuanya beribadah, sambil sesekali mengajak mereka untuk melakukan hal yang sama. Namun perlu diingat, pelajaran tentang ritual -termasuk rukun wudhu, rukun sholat, najis, dll (bagi muslim)—sebaiknya diberikan setelah anak-anak selesai mempelajari etika.

Karena jika anak-anak terlebih dahulu diajari tentang “Begini sholat yang benar”, “Begini wudlu yang benar” sebelum mereka belajar tentang etika, dikhawatirkan anak-anak akan memiliki pemahaman agama yang kaku. Sehingga ketika mereka menyaksikan orang lain beribadah tidak sama dengan “Begini sholat yang benar” versi orang tuanya, anak tersebut sangat mungkin untuk langsung mencap orang tersebut sebagai orang yang ‘berbeda’.

Namun jika anak-anak terlebih dahulu diajari tentang agama dari sisi etika, mereka akan memiliki kesadaran pada perbedaan. Sehingga mereka tidak akan mudah mencap orang lain ‘berbeda’ hanya karena beberapa perbedaan kecil dalam tata cara ritualnya.

Oleh karenanya anak-anak harus memiliki ilmu agama yang tidak hanya fokus pada urusan ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial. Karenanya, tahapan belajar agama (islam) yang baik menurut saya adalah diawali dengan belajar tentang nilai-nilai dibalik alasan mengapa Islam itu ada, kemudian belajar tentang sejarahnya, lalu belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan urusan sosial, seperti; bagaimana adab kepada tetangga, bagaimana hak muslim terhadap muslim yang lain, bagaimana cara seorang muslim menghargai umat beragama yang lain. Fase ini diharapkan dapat membuat anak-anak mengerti “Oh iya, Islam ternyata diturunkan untuk membawa kabar gembira tentang kasih Tuhan”, “Oh iya, ternyata Islam diturunkan agar manusia memiliki akhlak yang mulia”, dan seterusnya.

Setelah fase ini selesai, baru kemudian anak-anak diajak belajar tentang tema-tema fikih, menyangkut hal-hal yang sifatnya ritual, yaknti tentang tuntunan sholat yang benar, puasa yang benar, zakat yang benar, dan seterusnya.
Jikapun ternyata –karena suatu hal—anak-anak harus berhenti sementara dari belajar agama sebelum sempat belajar tema ritual, paling tidak mereka telah memiliki bekal pengetahuan tentang nilai-nilai utama dan semangat agama. sehingga kelak, ketika mereka memiliki kesempatan untuk meneruskan belajar agama, mereka telah menjadi seseorang yang tidak kaku dalam memahami agama. hal ini tentu berbeda dengan anak yang mempelajari agama dari sisi ritual terlebih dahulu, ketika –karena suatu hal—mereka harus berhenti sementara dari belajar agama sebelum sempat belajar etika, maka mereka hanya akan memahami agama sebatas pelaksanaan ritual. Sehingga dikhawatirkan mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang eksklusif dan terlalu menganggungkan ibadah ritual saja. Tulisan ini bukan sama sekali bermaksud menggampangkan pendidikan Islam.

Bagaimanapun, idealnya belajar Islam adalah dalam waktu yg panjang. Belajar Islam harus menjadi priorits. Bersabar dengan proses belajar yg lama (tuluzzaman) adalah saran dari para ulama juga tuntunan Rasulullah.Semoga si bapak, yang sedari tadi berdiri mendengar penjelasan saya, dan kita semua dapat selalu mengamalkan dan mengajarkan agama yang menjunjung tinggi perdamaian dan cinta kasih. Semoga!

This post was last modified on 17 April 2015 5:33 PM

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

View Comments

Recent Posts

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

21 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

2 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

2 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

2 hari ago

Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Membangun Sekolah yang Damai dari Intoleransi, Bullying dan Kekerasan

Hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati pada tanggal 2 Mei 2024 menjadi momentum penting untuk…

2 hari ago

Role Model Pendidikan Karakter Anti-Kekerasan Ala Pesantren

Al-Qur’an merupakan firman Allah azza wa jalla yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang…

2 hari ago