Narasi

Akhlakul Karimah Sebagai Fondasi “Civic Islam”

Salah satu kelemahan mendasar umat muslim khususnya di Indonesia adalah gemar berpikir serba instan. Dalam menghadapi berbagai tantangan dan problem kehidupan baik itu masalah ekonomi, politik, sosial hingga budaya, sebagian besar umat muslim kerap tidak mau berpikir analitis-argumentatif. Konsekuensinya, umat muslim kerap berpikir simplistis.

Misalnya saja terkait persoalan lemahnya ekonomi, maraknya kasus korupsi dan banyaknya penyimpangan moral. Sebagian besar umat muslim Indonesia kerap beranggapan bahwa hal itu merupakan bukti kegagalan pemerintah dan sistem demokrasi. Dan, sebagai solusinya, mereka secara tergesa-gesa menawarkan konsep negara Islam dengan penerapan syariah yang dipercaya dapat menyelesaikan semua problem tersebut.

Mereka beranggapan bahwa jalan satu-satunnya meraih (kembali) kejayaan Islam adalah dengan mendirikan kekhalifahan Islam dan menerapkan hukum Islam secara komprehensif (kaffah). Retorika dan logika berpikir yang demikian ini belakangan ini makin nyaring terdengar di mimbar-mimbar ceramah keagamaan.

Pertanyaanya, benarkan logika dan retorika tersebut? Apakah solusi bagi segala problem ekonomi, politik dan sosial di negeri ini adalah dengan mendirikan negara Islam dan menerapkan hukum Islam secara kaffah? Tulisan sederhana ini ingin mengulas dan menjawab pertanyaan tersebut.

Anomali Khilafah

Memang harus diakui bahwa selama ini sebagian besar umat muslim kerap terburu-buru menilai bahwa baik-buruknya sistem pemerintahan dan politik merupakan variabel penentu baik-buruknya kehidupan masyarakat. Mereka beranggapan seolah-olah sistem politik tertentu dapat menjadi solusi bagi semua problem sosial, politik, ekonomi, agama dan budaya. Dalam konteks Islam, sistem pemerintahan dan politik yang dimaksud ialah sistem khilafah islamiyyah.

Baca Juga : Islam Kaffah, Khilafah dan Akhlakul Karimah

Namun, sebagian besar umat Islam seolah lupa bahwa sistem khilafah islamiyyah itu mengandung banyak resiko. Salah satunya ialah hilangnya kebebasan berekspresi warganegara. Sebagaimana kita tahu, khilafah islamiyyah tidak mengakomodasi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Dalam sistem khilafah, heterogenitas budaya di masyarakat diringkus ke dalam satu keputusan tunggal, dimana khalifah (raja) memiliki keputusan mutlak. Ini artinya, mekanisme musyawarah (syura) tidak akan berjalan efektif dan pemerintahan akan berkembang ke arah otoritarianisme.

Kondisi inilah yang terjadi di sejumlah negara Islam yang menerapkan sistem khilafah, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Dari luar, negara-negara tersebut tampak aman, sejahtera dan nyaris tidak ada masalah. Rakyat bisa hidup sejahtera karena penghasilan negara dari sumber daya alam (terutama minyak bumi) sanggup memberikan berbagai macam subsidi. Ini artinya, kesejahteraan yang mereka dapatkan semata karena kekayaan alam, bukan karena sistem politik atau pemerintahan.

Namun, jangan lupa bahwa dari dalam mereka didera berbagai macam persoalan. Arab Saudi misalnya, dikenal sebagai negara yang tidak menghargai perbedaan pendapat dan tidak adaptif pada hak-hak perempuan. Dari sisi ekonomi, mereka juga mulai merasakan dampak dari menipisnya cadangan sumber daya alam. Bisa dipastikan, dalam beberapa puluh tahun ke depan, cadangan minyak bumi Arab Saudi akan habis dan memaksa mereka mencari sumber-sumber pendapatan lain.

Kondisi inilah yang membuat Arab Saudi melakukan reformasi sosial-politik besar-besaran. Mereka mulai membuka diri terhadap budaya luar, dan berupaya sekuat tenaga menghapus praktik keberislaman yang konservatif-radikal. Hal ini dibuktikan dengan dipenjarakannya ribuan ulama yang terindikasi radikal. Hal yang sama bisa dipastikan akan terjadi pula pada Brunei Darussalam. Semua hanya tentang waktu. Ketika cadangan minyak bumi mereka habis, pada mau tidak mau mereka harus membuka diri, mereformasi sistem sosial-politik dan sepenuhnya adaptif pada nilai-nilai modernitas. Termasuk salah satunya adalah menerapkan demokrasi.

Konteks Indonesia

Lalu bagaimana dengan konteks Indonesia? Kita sebenarnya cukup beruntung. Meski berpenduduk mayoritas muslim, kita tidak lantas menjadi negara Islam dengan hukum Islam sebagai sumber dan dasar hukum positif. Di awal berdirinya Republik Indonesia, memang sempat terjadi tarik-menarik kepentingan antara kubu islamis dengan kubu nasionalis. Kubu nasionalis menghendaki Indonesia menjadi negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan negara. Sedangkan kubu islamis menghendaki Indonesia menjadi negara Islam (daulah islamiyyah).

Pertentangan itu pun selesai dengan diambilnya jalan tengah, yakni Indonesia tidak mengambil bentuk sebagai negara sekuler, namun menjadi negara yang berdasar Pancasila. Pancasila merupakan jalan tengah yang mengakomodasi kepentingan pihak nasionalis dan islamis. Namun, kini setelah 20 tahun lebih era Reformasi berjalan, kita dihadapkan pada munculnya fenomena keberagamaan yang bercorak konservatif-radikal.

Ciri menonjol dari kaum konservatif-radikal ialah sikap dan perilaku keberagamaannya yang kerapkali bertentangan dengan realitas kebinekaan dan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila. Mereka mempropagandakan gerakan islam ideologis-politis untuk melawan pemerintahan yang sah. Mereka menuduh sistem politik dan pemerintahan yang diterapkan di Indonesia saat ini tidak sesuai dengan Islam, dan merupakan sumber segala persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum dan agama.

Dalam praktinya, praktik keberagamaan bercorak konservatif-radikal itu lantas menimbulkan sejumlah persoalan mulai dari maraknya intoleransi atas nama agama sampai terancamnya eksistensi NKRI dan Pancasila. Mencermati sengkarut persoalan itu, relevan kiranya kita mereaktualisasi kembali nilai-nilai akhlakul karimah yang dikonstruksikan Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar hubungan sosial, baik terhadap sesama muslim mapun dengan komunitas non-muslim. Hal ini ditunjukkan Nabi Muhammad ketika beliau menjadi pemimpin di Madinah. Melalui perjanjian Piagam Madinah, Nabi Muhammad membangun satu relasi sosial yang damai dan setara dengan umat Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam dan komunitas lainnya.

Piagam Madinah adalah sebuah konsensus bersama yang berisi kewajiban saling menghargai, menghormati dan melindungi antar berbagai komunitas yang berdiam di Madinah. Konsensus bersama itu tidak hanya berdasar pada prinsip keberagamaan, namun juga mengacu pada ikatan kebangsaan. Piagam Madinah tidak diragukan merupakan cerminan akhlakul karimah Nabi Muhammad. Beliau lebih mengedepankan kerukunan dan kebersamaan ketimbang memaksakan kehendak atas kebenaran Islam.

Konsep akhlkul karimah inilah yang idealnya dikembangkan oleh umat muslim Indonesia hari ini. Kita sepatutnya sadar bahwa di atas kebenaran agama yang kita yakini ada kepentingan untuk merawat pengalaman kemajemukan, dan menjunjung tinggi multikulturalisme. Kita sepatutnya menjadikan Islam sebagai perekat sosial, alih-alih sebagai pemicu perpecahan.

Akhlakul Karimah yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad itulah yang seharusnya kita jadikan modal dan pondasi untuk mengembangkan civic Islam di Indonesia. Secara definitif, civic Islam dapat diartikan sebagai satu paradigma keagamaan yang berbasis pada spirit kebangsaan. Paradigma civic Islam bertumpu pada setidaknya tiga nilai yakni tasamuh (toleransi), tawasuth (moderasi), tawazun (keberimbangan) dan ta’adul (keberadilan).

Agenda Civic Islam ialah mewujudkan praktik keberislaman yang berkeadaban. Dalam artian adaptif terhadap nilai-nilai modernitas, ramah pada aspek-aspek tradisionalitas sekaligus ramah pada perbedaan pendapat dan budaya. Civic Islam menghendaki praktik keberislaman yang inklusif, dan mampu menjadi perekat di tengah heterogenitas bangsa. Dalam konteks inilah civic Islam diharapkan mampu menjadi gerakan Islam berbasis prinsip kewargaan (citizenship) yang mengejawantahkan konsep rahmatan lil alamin. Dengan meneladani akhlakul karimah Rasulullah sebagai fondasi civic Islam, kita optimis Islam di Indonesia akan meraih kejayaannya tanpa harus menerapkan khilafah yang mengancam heterogenitas dan ikatan kebangsaan kita.

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago