Sebagai Dzat yang memiliki hak prerogatif tertinggi di jagat raya ini, Allah Swt sesungguhnya sangat bisa dan bahkan sangat mudah memaksa hamba-hamba-Nya untuk beriman tanpa kecuali (Qs. Yunus: 99). Tak sulit juga bagi-Nya, jika benar-benar ingin, menjadikan seluruh umat manusia satu golongan (Qs. al-Maidah: 48).
Tak sampai di situ, lagi-lagi jika Allah Swt berkeinginan menjadikan semua manusia menerima petunjuk ilahiah, maka kun fayakun-Nya akan dengan sangat mudah mewujudkannya (Qs. al-An’am: 35). Namun nyatanya Allah Swt ingin keragaman, untuk tujuan menguji dan menantang semuanya berlomba-lomba dalam kebaikan (Qs. al-Maidah: 48). Ya, berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran, karena kebenaran datang dari-Nya, sedang kebaikan (bisa) dari manusia.
Karenanya, pemaksaan atas keberimanan seseorang itu bertentangan dengan kehendak-Nya. Allah Swt jelas-jelas melarang pemaksaan beragama (Qs. al-Baqarah: 256). Allah Swt ingin manusia beragama penuh ketulusan berlandaskan kemurnian hati dan akalnya. Makanya Ia menyindir keras orang-orang yang hendak memaksakan keyakinannya: “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus: 99). Padahal, hanya Allah yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk dan siapa yang sesat (Qs. al-Nahl: 125)
Allah Swt ingin memberikan keleluasaan bagi hamba-hamba-Nya. Toh yang beriman telah disiapkan tempat terbaik dan yang ingkar juga telah disediakan tempat yang setimpal.
Merespon ayat larangan pemaksaan beragama di atas, Fakhr al-Din al-Razi menyatakan; Innahu ta’ala ma bana amr al-iman ‘ala al-ijbar wa al-qasr wa innama banahu ‘ala al-tamakkun wa al-ikhtiyar (Allah Swt tidak membangun keimanan di atas pemaksaan, melainkan menegakkannya di atas kekokohan dan kebebasan memilih). Baginya, pemaksaan hanya akan menghasilkan keberagamaan yang rapuh dan mudah goyah; dan ini bukanlah sejatinya keberagamaan (Mafatih al-Ghaib: 1981, VII/15).
Menurut al-Razi, pemaksaan dalam beragama itu buthlan (batal). Mufassir papan atas ini lantas mengutip beberapa ayat pendukung. Misalnya; “Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Qs. al-Kahf: 29). Juga disitirnya ayat lain yang telah disebutkan di atas, Qs. Yunus: 99.
Ayat-ayat ini menunjukkan, sesungguhnya Allah Swt menoleransi dan bahkan cenderung membiarkan sebebas-bebasnya kehendak manusia untuk beriman atau ingkar ini. Tentu saja, Allah Swt bangga dan mencintai yang taat pada-Nya, namun juga menorelansi yang ingkar pada-Nya, dengan aneka konsekuensi yang akan diterimanya. Diimani, Allah tidak untung dan diingkari, Allah tidak rugi. Toh kebenaran dan kesesatan sudah begitu nyata (Qs. al-Baqarah: 256).
Apa hikmah yang sepatutnya dipetik dari ayat-ayat kebebasan beriman dan kafir ini? Cara pandang al-Razi kiranya patut dicatat. Pertama, ayat di atas menunjukkan, kemunculan perbuatan tanpa niat/kehendak/keinginan dan ajakan adalah mustahil (anna shudur al-fi’l ‘an al-fa’il bi dun al-qashd wa al-da’i muhal). Biarkan masing-masing orang meniatkan perbuatannya untuk apa dan siapa. Konsekuensi logisnya telah ada pada masing-masing perbuatan ini.
Kedua, ayat-ayat ini menunjukkan, Allah Swt tidak mendapatkan manfaat apapun dari keimanan seorang mukmin dan tidak mendapat madharat apapun dari kekafiran seorang kafir. Sesuai Qs. al-Isra’:7, manfaat keimanan sejatinya kembali pada pelakunya dan mafsadat kekafiran juga kembali pada pelakunya (Mafatih al-Ghaib: XXI/121).
al-Razi ingin menyampaikan model “kebebasan yang berkonsekuensi”. Silahkan beriman bagi yang ingin, dengan konsekusnsi keindahan dan kenikmatan sesuai janji-Nya. Juga silahkan kufur bagi yang ingin, dengan konsekuensi kesengsaraan bagi pelakunya, sebagaima ancaman-Nya.
Dengan bekal al-qashd dan al-ikhtiyar-nya, seorang hamba mestinya mampu memilih yang terbaik bagi dirinya, karena dampak perbuatan apapun (baik dan buruk) akan kembali pada dirinya. Inilah makna kebebasan yang dipahami al-Razi dan memang semestinya demikian.
Berdasarkan Qs: Yunus: 99, al-Razi membenarkan bahwa dalam realitasnya penduduk bumi tidak seluruhnya beriman dan juga tidak seluruhnya ingkar. Ini tak lain karena kehendak Allah Swt semata. Bagi al-Razi, ini menunjukkan bahwa annahu ta’ala ma arada iman al-kull (sesungguhnya Allah tidak menginginkan keimanan seluruh makhluk). Mengutip komentar al-Jubai dan al-Qadhi Abd al-Jabbar, al-Razi menuliskan, Allah Swt tidak menjadikan seluruh umat manusia beriman karena keimanan yang dipaksakan tidak akan mendatangkan manfaat apapun bagi seorang hamba (Mafatih al-Ghaib: XVII/173).
Hal-hal yang dijelaskan di atas mengisyaratkan sifat kelonggaran Allah Swt menerima siapapun hamba-hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang ingkar. Jika Allah Swt, satu-satunya Dzat yang patut disembah dan kuasa memaksa saja begitu longgarnya menerima perbedaan: “Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus: 99).
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…