Sejak rencana kepulangan teroris pelintas batas (Foreign Terrorist Fighters/FTF) eks WNI mencuat, polemik tentang status mereka berkembang cepat. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk tidak memulangkan eks WNI pendukung Negara Islam di Irak dan Syuriah (NIIS) tersebut.
Alasan pemerintah menolak pemulangan mereka sebab beberapa alasan. Pertama, mejamin rasa aman dan nyaman 267 juta warga Negara Indonesia. Kedua, banyak Negara tidak memulangkan FTF (Foreign Terrorist Fighters). Ketiga, potensi ancaman baru bagi masyarakat Indonesia. Keempat, mereka pergi ke Irak dan Suriah atas inisiatif sendiri. Kelima, mereka menolak Indonesia dan memusnahkan identitas diri seperti paspor.
Berdasarkan data terbaru, ada sekitar 689 eks WNI yang ikut dalam NIIS. Data dari Habibi Center (2020) menyebutkan ada sekitar 553 orang pengungsi, 47 orang tahanan, perempuan dan anak-anak 200 orang yang berada di kamp pengungsian.
Trauma Ancaman Terorisme
Keputusan pemerintah tak memulangkan eks WNI anggota NIIS dinilai masuk akal di tengah trauma publik terhadap ancaman terorisme. Berdasarkan responden Jejak Pendapat Kompas (2020) menyebutkan, mayoritas publik tidak menghendaki eks WNI anggota NIIS dipulangkan ke Indonesia. Ada 61,5 persen publik tidak setuju anggota NIIS eks WNI dipulangkan. Sebanyak 36,5 persen responden beralasan pemulangan mereka berpotensi membahayakan kemanan nasional. Responden yang menolak dengan alasan mantan pejuang NIIS ini berpotensi mempromosikan ideology kekerasan, khususnya kepada generasi muda sebanyak 28,7 persen.
Baca Juga : Toleransi Resiprokal Pancasila dan Agama
Resistensi yang kuat ini dilandasi alasan keamanan nasional, ideologis dan status kewarganegaraan. Hal yang paling dikhawatirkan terkait pemulangan mereka adalah ideology yang ditanamkan NIIS. Karakter NIIS yang menebar kebencian dan teror kepada musuh-musuhnya diyakini berpengaruh kuat kepada para pengikutnya meskipun sudah keluar. Eks NIIS ini juga memiliki kemampuan mengajarkan cara-cara kekerasan yang mereka pelajari ke generasi muda.
Selain itu, secara hokum mereka juga sudah kehilangan kewarganegaraan sebagai WNI. Itu berdasakan UU No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan (UU 12/2006) dan PP No 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh kembali Kewarganegaraan RI.
Mengurangi potensi terorisme lebih menonjol sebagai alasan meski sisi kemanusiaan tak bisa ditanggalkan. Sebab itu, pemerintah akan mengupayakan pemulangan bagi anak-anak usia 10 tahun ke bawah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanan, Mahfud MD (Kompas, 2020) menyatakan, pemerintah tetap membuka opsi pemulangan bagi anak-anak eks WNI yang diduga bergabung dengan NIIS.
Anak-anak eks WNI ini hanya mengikuti orangtuanya yang bergabung dengan NIIS. Mereka tak punya pilihan untuk tidak mengikuti orangtuanya. Walaupun sedikit banyak mereka sudah terkontaminasi radikalisme selama di Suriah.
Merubah Ancaman Menjadi Harapan
Jika pemerintah berniat untuk memulangkan anak-anak eks WNI usia di bawah 10 tahun tentu diperlukan langkah strategis dalam rehabilitasi. Pemerintah harus segera menyiapkan program deradikalisasi kepada anak-anak yang dianggap sudah terpapar ideology teroris sebagai upaya rehabilitasi.
Pengamat Terorisme dari UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan (2020) mengatakan, program deradikalisasi harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk memastikan anak-anak itu terbebas dari ideologi yang dianut para teroris. Itu harus dilakukan pemerintah dengan serius dan kontinu.
Anak-anak lebih mudah diberi pemahaman karena pengalaman mereka masih terbatas. Ini berbeda dengan orangtua mereka yang sudah mendapatkan indokrinasi maupun pengalaman. Pemerintah perlu membuat program rehabilitasi guna menjamin tak ada benih-benih radikal dalam diri anak-anak tersebut.
Apabila anak-anak yang dipulangkan di bawah 10 tahun, maka mereka membutuhkan keluarga ‘baru’. Mereka harus mendapatkan cinta dan kasih sayang yang utuh dan menyeluruh. Mereka masih perlu mendapatkan pemahaman dan arahan yang benar dan tepat terkait keislaman dan kebangsaan. Hindari mereka dari intimidasi dan bullying secara sosial, karena itu akan membekas dalam pikiran bawah sadar mereka. Jangan sampai mereka masih membawa dendam dan kekerasan dalam pikiran dan hatinya. Mereka perlu mendapatkan pendidikan tentang nilai-nilai Pancasila agar ideologi bangsanya tumbuh kembali. Mereka juga perlu mendapatkan pendidikan agama yang inklusif dan moderat. Nilai-nilai keislaman yang ramah yang diajarkan para kiai Nusantara perlu ditanamkan dalam sanubari mereka. Kita tidak mengetahui nasib mereka kelak akan menjadi apa, tapi kita perlu merubah ancaman itu menjadi sebuah harapan.
This post was last modified on 19 Februari 2020 3:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…