Budaya

Anak, Terorisme dan Budaya Kekerasan

Dalam sebuah hadist yang cukup populer dinyatakan : “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” Hadist ini menyiratkan beragam makna. Salah satunya adalah tanggungjawab pendidikan orang tua. Jika dikatakan bahwa setiap anak adalah suci, maka sesungguhnya yang menentukan karakter, mental, prinsip dan pilihan pandangan hidup adalah orang tua. Di sinilah sebenarnya posisi penting pendidikan di dalam keluarga.

Namun, istilah “kedua orang tua” dalam hadist tersebut dapat kita lebarkan pada spektrum yang lebih luas yakni lingkungan sosial. Keluarga merupakan unit sosial yang paling kecil dalam sistem sosial. Anak yang masih suci, lugu, dan belum ternodai dengan kotoran sosial, sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial berperan penting dalam membentuk seorang anak entah ia kelak menjadi baik atau buruk. Nah, hadist ini secara luas ingin menegaskan pentingnya lingkungan sosial yang kondusif bagi terbentuknya karakter anak yang baik.

Saya kira penegasan ini menjadi sangat penting mengingat lingkungan sosial kita saat ini sangat rawan membentuk karakter dan mentalitas anak ke arah yang tidak baik. Lingkungan sosial tempat bermain anak tidak hanya dapat dicapai di ruang nyata, tetapi juga dapat dirambah di ruang maya (internet). Di sinilah persoalan menjadi sangat kompleks.  Anak selalu menerapkan insting imitasi dan identifikasi terhadap kenyataan sosial baru yang mereka saksikan. Baik dan buruknya peristiwa sosial yang mereka tangkap akan direkam, ditiru dan selanjutnya mengindentifikasi diri sebagai bagian dari praktek sosial tersebut.

Sungguh sangat disayangkan apabila berbagai peristiwa yang mereka rekam justru banyak bernuansa kekerasan. Sejak kecil file dan data di otak mereka sudah dipenuhi dan ditanami secara subur praktek kekerasan. Hal ini menjadi lebih mengkhawatirkan apabila sejak dini anak memang secara sengaja sudah dijejali dengan doktrin kekerasan dan intoleransi.

Beberapa waktu yang lalu ketika kita melihat rekaman video anak yang dilatih perang oleh kelompok ISIS. Saya tidak ingin menghebohkan video ini sehingga menambah ulasan dan pembicaraan yang panjang lebar tentang ISIS. Namun, hal terpenting yang harus disikapi adalah upaya menghentikan eksploitasi anak dalam praktek kekerasan, apalagi terorisme.

Jika terorisme di sini kita maknai sebagai ancaman, sesungguhnya ancaman nyata dari terorisme tidak hanya pada aksi brutal yang mematikan, tetapi justru paham dan ideologinya yang dapat mematikan akal sehat kita. Melibatkan anak dalam praktek ideologisasi dan indoktrinasi terorisme sesungguhnya upaya mematikan akal sehat anak sejak dini. Implikasinya apa yang dapat mereka rekam dalam kehidupannya hanyalah perang, permusuhan, kekerasan dan impian menang dengan cara kekerasan.

Untuk kali kedua saya ingin menegaskan tidak ingin membahas video anak ISIS tersebut karena justru akan memberi lapangan luas bagi ketenaran mereka. Sesuatu yang lebih penting untuk menjadi bahan refleksi bersama bahwa masih ada di lingkungan sosial kita yang secara langsung mendidik anak kita dengan budaya kekerasan dan terorisme.

Jika dalam video ISIS tersebut menunjukkan indoktrinasi langsung terhadap anak untuk berbuat kekerasan, maka sejatinya kita harus meninggalkan indoktrinasi pada anak-anak kita yang secara tidak langsung menanamkan benih kekerasan. Menanamkan intoleransi, membingkai pola keberagamaan antara “kita dan mereka” dan menabur heroisme beragama dengan melecehkan agama lain merupakan praktek budaya kekerasan yang masih kerap ditemui di tingkat pendidikan agama usia dini.

Saya kira praktek pendidikan agama dengan pola seperti itu harus segera ditinggalkan. Berilah kesan indah tentang agama bagi anak. Berilah kesan dan citra Islam yang ramah, rahmat dan merahmati semesta alam bagi anak. Abstraksikan dalam otak mereka bahwa agama adalah pembawa kedamaian, bukan perusakan peradaban. Mari ciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi anak-anak kita agar mereka berhasil menjadi umat beragama yang sebenarnya.

Saya ingin menutup ulasan ini bahwa sejak dini anak tidak perlu diajarkan “membela agama” apalagi dengan cara pembelaan fisik. Tugas anak sejak dini adalah mempertebal ilmu agama yang dapat mereka gunakan untuk membela agama mereka dengan ilmu.

 

 

 

 

 

This post was last modified on 23 Mei 2016 10:10 AM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Share
Published by
Abdul Malik

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago