Narasi

Ancaman Baru Kelompok Teroris

Gerakan teroris kembali mengancam di Indonesia. Indikasinya dapat dilihat dari  perisitwa ledakan bom panci sekaligus penyerangan di kantor Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung. Pada Senin kemarin (27/2), awalnya terjadi ledakan di Taman Pandawa yang berada tidak jauh dari kantor kelurahan. Ledakan ini ditenggarai sebagai bom panci. Beberapa saat kemudian, pelaku masuk ke dalam kantor kelurahan dan membuat panik seluruh pegawainya. Negosiasi yang dilakukan terhadap pelaku agar menyerah ternyata tidak ditanggapi. Pelaku bahkan menantang aparat dan mengancam siapa saja yang mendekat dengan benda tajam dan senjata api. Akhirnya aparat kepolisian melumpuhkan terduga teroris ini yang akhirnya merenggang nyawa dalam perjalanan ke rumah sakit akibat muntahan peluru. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam kejadian kali ini.

Terduga teroris di Kota Bandung ini disebut termasuk dalam barisan Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Kelompok ini merupakan salah satu pendukung gerakan ISIS. Jika kita gulirkan memori kebelakang, JAD sudah kerap melakukan aksi-aksi terorisnya di Indonesia. Salah satu yang terus kita ingat adalah serangan Bom Thamrin di awal tahun 2016. Beberapa pentolan teroris yang memiliki keterikatan erat dengan JAD adalah Bahrun Naim dan Santoso (tewas dalam operasi Tinombala). Meskipun gerak-gerik kelompok ini terus diawasi dan diperketat, ternyata mereka masih bisa melakukan tindakan teror di masyarakat. Artinya ideologi mereka pahami tidak mudah untuk diluruhkan hingga terus mendorong aksi-aksi lainnya.

Hal yang kembali terbaca pada peristiwa di Bandung kemarin adalah fenomena lone-wolf yang terus bermunculan di Indonesia. Jeffrey D. Simon, penulis Lone Wolf Terrorism: Understanding The Growing Threat, menyatakan ada beberapa hal yang membuat lone wolf terorisme begitu berbahaya. Pertama,  tidak ada proses pembuatan keputusan dalam kelompok hingga tindakan yang dilakukannya bisa begitu kreatif dan spontan. Hal ini menyebabkan banyak aksi-aksi teror yang baru seperti bom mobil, bom pesawat, pembajakan, dsb. Kedua,  mereka tidak peduli dengan konsekuensi politik akibat aksi yang mereka lakukan. Kebijakan apapun yang terjadi tidak masuk dalam perhitungan mereka. Ketiga, mereka sangat sulit untuk diidentifikasi karena tidak ada komunikasi yang dilakukan.

Meskipun kelompok teroris terus-menerus melancarkan ancamannya, tetapi kita patut bersyukur masyarakat sudah semakin kebal untuk menghadapinya. Ini adalah modal yang sangat baik sebab memberi pesan kepada para teroris bahwa masyarakat tidak takut untuk menghadapinya. Peristiwa di Bandung kemarin cukup memberi gambaran. Ramai diberitakan, bahwa terduga teroris yang baru saja meledakan diri di lapangan langsung dikejar oleh anak-anak sekolah yang kebetulan berada di lokasi. Hingga akhirnya pelaku panik dan berlari hingga masuk ke dalam kantor kelurahan. Keberanian seperti ini merupakan hal yang positif dan perlu ditingkatkan di masyarakat. Artinya siapapun memiliki tanggung jawab untuk menjaga wilayahnya sekaligus melawan setiap bentuk terorisme. Aparat keamanan dan masyarakat harus bersinergi agar kelompok teroris tidak leluasa bergerak.

Hal yang penting, perlawanan terhadap kelompok teroris tidak hanya dilakukan saat terjadi teror. Tetapi upaya pencegahan sebelum kejadian pun penting dilakukan. Termasuk mengawasi aktivitas tetangga kanan-kiri yang mencurigakan, mewaspadai orang-orang baru di wilayahnya, melaporkan jika ada gerakan-gerakan yang mengancam keamananan, membangun komunikasi dengan tetangga yang tertutup, dan sebagainya. Dengan begitu, jika ada kelompok teroris yang menyusup di wilayah kita, maka mereka tidak akan bebas bergerak karena sudah ada kontrol yang ketat dari masyarakat.

Selain membatasi ruang gerak fisik, hal yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan perlawanan pikiran terhadap ideologi kelompok teror. Sebab pikiran para pelaku teror biasanya sudah ditanamkan ajaran-ajaran yang salah hingga membenci kelompok lain. Semua yang tidak sepaham dengannya dianggap musuh dan boleh untuk diserang. Pemahaman seperti ini biasanya didapatkan dari para ideolog kelompok teroris. Tampaknya memang sulit untuk merubah pikiran para ideolog yang menjadi pentolan teroris. Tetapi untuk para pengikutnya, masih ada kesempatan untuk diarahkan agar tidak begitu saja percaya dengan doktrin sesat yang dijejalkan kepada mereka. Oleh karena itu, kita harus tanpa henti mempromosikan ajaran hidup rukun dan damai di masyarakat. Ketidaksepakatan harus dibawa dalam kerangka dialog yang konstruktif, bukan dengan cara teror yang destruktif.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

17 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

19 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

19 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

19 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago