Kran kebebasan mengemukakan pendapat di muka publik telah dibuka selebar-lebarnya. Banyak pihak mengemukakan bahwa hal ini terjadi sejak era reformasi digulirkan, yang sebelumnya kran itu ditutup dan dimatikan. Salah satu kran yang turut dihidupkan di antaranya ialah kebebasan mengemukakan pendapat menggunakan media massa, baik berupa media cetak atau pun non-cetak (online).
Namun dari kedua media tersebut, saat ini yang seringkali menjadi bahan pembahasan ialah kebebasan mengemukakan pendapat melalui media yang kedua, yakni media online atau internet. Perlu diakui, kehadiran internet di tengah-tengah masyarakat begitu berarti. Ia mampu menopang sebagian besar kebutuhan kehidupan. sebagaimana dikatakan oleh Jakob Oetama (2000), media baru baru tersebut mampu mengatasi ruang dan waktu. Ia mampu menghubungkan milyaran manusia tanpa batas.
Selaras dengan perkembangan teknologi komunikasi yang nampaknya sudah mencapai puncanya seperti sekarang ini, setiap orang sudah sangat mudah mengakses internet, baik dalam hp, smartphone, notebook, laptop maupun PC sebagai media. Karena itu, media itu kini semakin diminati manusia masa kini.
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internent Indonesia (APJII) mengemukakan bahwa pada tahun 2016, jumlah netizen, yang merupakan singkatan dari Internet Citizen atau Citizen of the Net (Warga Internet), Indonesia adalah 132,4 juta jiwa atau 51,1% dari total penduduk Indonesia.
Pengguna facebook saja misalnya, Indonesia menempati peringkat keempat setelah India (195,16 juta pengguna), AS (191,3 juta), dan Brasil (90,11 juta). Dari 132,7 juta jiwa netizen Indonesia, sebagian besar aktivitas mereka berbagi informasi (129,3 juta pelaku), diikuti aktivitas berdagang (123,5 juta pelaku), dan siosialisasi kebijakan pemerintah (119,9 juta pelaku). (Media Indonesia, 08/02/2017)
Ditambah lagi bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh undang-undang, setiap orang kini semakin mudah untuk melakukan pertukaran arus informasi. Setiap individu mudah sekali untuk menyalurkan aspirasinya, dengan sesuka hatinya, entah itu bersifat konstruktif maupun destruktif bagi kehidupan kita.
Jurnalisme “Perang”
Dalam konteks jurnalisme, saat ini setiap orang dengan mudah dapat memproduksi, mengakses, menerima, dan/atau menyebar luaskan suatu berita. Kalau dahulu kita beranggapan bahwa, jika berbicara soal berita, yang memproduksinya ialah pihak-pihak yang secara khusus menjadi atau berprofesi wartawan. Tapi kini hal itu sudah tidak berlaku lagi. Sebab, setiap orang, sebagaimana yang saat ini sedang terjadi, sudah bisa melakukannya. Meskipun itu dilakukan tanpa dilandasi ketetapan profesi kewartawanan yang sesungguhnya.
Kebesasan seperti ini, nyatanya, di samping memberi kebaikan, bersamanya juga melekat segudang kemadlaratan. Misalnya saja ialah maraknya berita hoax. Selain berita hoax, media online juga menjadi ladang kejahatan penipuan, hujatan, penebar kebencian (hate speech), radikalisme atau terorisme, dan lainnya. Inilah yang bisa kita sebut sebagai “jurnalisme perang”, karena mengampanyekan suatu hal yang dapat berpotensi kerusuhan, peperangan, bukan kedamaian.
Agaknya kebebasan inilah yang telah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melancarkan kepentingan-kepentingan mereka. Tentu saja yang berseberangan dengan kepentingan umum. Potensi yang demikian ini sangatlah besar. Banyak penelitian ilmiah yang berkesimpulan bahwa media massa, khususnya media online, menjadi ladang yang sangat empuk untuk dijadikan sebagai alat propaganda.
Dalam kaitannya dengan radikalisme misalnya, penelitian Najahan Musyafa’ (2015) berjudul: “Konstruksi Radikalisme di Media Online,” Najahan menyatakan bahwa media massa terutama media online (internet) terbukti menjadi sarana yang begitu strategis dalam penyebaran radikalisme.
Hal yang demikian sudah tentu sangat berbahaya. Sebagaimana dikemukakan Walter Lippmann (Hamad, 2004: 25), fungsi media massa termasuk media modern (situs) ialah pembentukan makna. Interpretasi media massa terhadap berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakannya. Informasi di media akan diserap oleh pembaca, yang kemudian akan mempengaruhi pola fikir, pola sikap, dan pola laku mereka. Jika informasi yang terserap adalah suatu informasi yang memuat unsur radikal, maka penyerapan informasi itu akan mengarah kepada tindakan radikalisme.
Hal senada juga diungkapkan oleh Abu Rokhmad (2012) yang menjelaskan bahwa masyarakat yang telah mengkonsumsi suatu pemikiran atau ideologi tertentu, apalagi yang sifatnya radikal, berpotensi untuk berfikir, bersikap dan bertindak radikal. Berideologi radikal (radikalisme) dan tumbuh reaktif menjadi radikal (radikalisasi) adalah modal awal seseorang menjadi pelaku teror (teroris) atau orang yang berpaham teror (terorisme). Tidak ada teror tanpa radikalisme
Tugas Bersama
Bisa jadi inilah yang dimaksud oleh Haris Sumadiria (2016) bahwa kita telah menikmati atau justru babak belur akibat serangkaian uji coba pascareformasi. Tentu saja hal-hal yang demikian harus kita antisipasi sedini mungkin, agar tidak terjadi sesyatu yang tidak kita harapkan. Bisa dibayangkan, jika dari sekian banyak pengguna internet hanya satu yang memproduksi berita hoax atau radikalisme, kemudian yang lainnya turut menyebarluaskannya, betapa banyak orang-orang yang akan terkontaminasi.
Oleh karena itu, tidak saja radikalisme, tetapi juga situs-situs internet bermuatan di media online perlu mendapatkan perhatian serius dari pemangku kebijakan. Sekali lagi, agar tidak melahirkan implikasi-implikasi negatif yang tidak diinginkan. Sebab jurnalisme perang adalah ancaman nyata bagi bangsa kita.
Sejak tahun 2010 Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kemenkominfo) telah melakukan pemblokiran terhadap 814.594 situs yang bermuatan negatif. Beberapa waktu lalu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga merekomendasikan Kemenkominfo untuk memblokir sejumlah situs serupa. Namun untuk mengantisipasi itu, kita bisa hanya mengandalkan lembaga pemerintah saja. Dalam hal ini ialah misal Kemenkominfo. BNPT, atau lainnya, meskipun salah satu tugas pokoknya ialah terkait hal ini.
Lebih dari itu, yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah, bahwa mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah memeluk Islam, dan mayoritasnya juga bernaung pada organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan, NU dan Muhammadiyah, misalnya. Ataupun yang lainnya.
Maka sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa organisasi-organisasi tersebut dapat melakukan antisipasi sedemikian rupa, terutama melalui pendekatan secara kultural. Setidaknya, mereka dapat menghimbau agar umat Islam tidak terprovokasi dengan situs-situs yang provokaktif, di samping menguatkan akidahnya. Serta yang tak kalah penting ialah kita senantiasa berusaha menjadi konsumen media yang cerdas. Wallahu’alam bi al-shawab
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments