Saat ini bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat. Perubahan geopolitik membuat persaingan global kian sengit. Perang fisik antarnegara memang tidak lagi terjadi secara masif layaknya di era Perang Dunia ke I maupun II. Namun, medan persaingan global saat ini terjadi dalam konteks ideologi. Seruan Daniel Bell tentang kematian ideologi (the end of ideology) tampaknya tidak terbukti benar. Faktanya, di era abad ke-21 kecamuk perang ideologi masih mewarnai percaturan global.
Dalam lanskap mutakhir, dominasi Amerika Serikat sebagai penguasa dunia agaknya mulai luntur sejak dua dekade terakhir. Fareed Zakaria dalam bukun The Post American World berargumen bahwa peradaban AS tidak mengalami kemunduran dalam satu abad terakhir. Kemajuan dalam berbagai bidang tetap diraih oleh AS. Namun, di saat yang sama peradaban lain justru menunjukkan capaian yang lebih dahsyat ketimbang apa yang diraih oleh AS. Kekuatan baru dunia terus bermunculan dari kawasan Timur, terutama Tiongkok.
Dinamika geopolitik global itu tentunya berpengaruh pada Indonesia. Dua dekade sejak Reformasi bergulir, beragam tantangan menghadang bangsa Indonesia. Salah satunya penetrasi ideologi transnasional yang kerap bertentangan dengan prinsip Pancasila. Jika dipetakan, ideologi transnasional itu dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya tiga paham, yakni komunisme, liberalisme dan islamisme. Dalam catatan sejarah, ideologi komunisme pernah secara terbuka melakukan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan sosialisme. Pemberontakan itu lantas melahirkan tragedi kemanusiaan paling kelam sepanjang sejarah berdirinya Indonesia. Fakta sejarah itu menunjukkan bahwa ancaman dari kelompok konservatif-kiri yakni sosialisme-komunisme tidak bisa dipandang sebelah mata.
Selain sosialisme-komunisme, tantangan paling nyata yang dihadapi bangsa Indonesia ialah liberalisme. Meski tidak berpretensi mengganti ideologi Pancasila, liberalisme bertendensi mengganti sistem ekonomi, sosial dan politik yang selama ini diejawantahkan dari nilai Pancasila. Penetrasi liberalisme ini tampak jelas mengemuka selama dua dekade terakhir. Nilai Pancasila di ranah ekonomi, sosial dan politik mulai digeser oleh paham liberalisme.
Di ranah ekonomi, ekonomi Pancasila yang berlandaskan pada kerakyatan dan gotong-royong mulai digeser oleh sistem pasar bebas yang dikendalikan oleh segelintir elite. Akses terhadap sumber ekonomi pun dikuasai oleh kaum kapitalis. Konsekuensinya, pemerataan kesejahteraan ekonomi yang menjadi amanat konstitusi pun terbaikan. Di saat yang sama, kemandirian ekonomi nasional pun kian tersandera oleh kepentingan asing.
Baca Juga : Pancasila dan Semangat Gotong Royong
Di ranah politik, demokrasi Pancasila yang berdasar musyawarah-mufakat mulai tergantikan oleh demokrasi liberal yang bertumpu pada asas tirani mayoritas. Mekanisme musyawarah-mufakat digantikan oleh model voting alias pemilihan langsung berdasar one man one vote. Fatalnya, model demokrasi liberal itu kerap diwarnai oleh politik transaksional seperti jual beli suara atau politik uang. Di titik ini, harus diakui bahwa liberalisme adalah ancaman serius dan nyata ketimbang sosialisme-komunisme yang telah mengalami kebangkrutan global pasca berakhirnya Uni Soviet.
Selain sosialisme-komunisme dan liberalisme, tantangan lain yang dihadapi bangsa Indonesia datang dari gerakan islamisme. Secara sederhana, islamisme dapat dipahami sebagai sebuah gerakan keislaman yang lebih berorientasi pada aspek ideologis-politis ketimbang aspek spiritual-teologisnya. Ideologi islamisme direpresentasikan oleh kelompok radikal-ekstrem dalam Islam yang getol mempropagandakan berdirinya negara Islam (daulah Islamiyyah) berdasar sistem khilafah. Ideologi islamisme-khilafahisme ini diusung oleh sejumlah organisasi keislaman seperti Jamaah Islamiyyah, Hizbut Tahrir dan ISIS (Bassam Tibi: 2016).
Di Indonesia, penetrasi ideologi islamisme-khilfahisme mulai marak di era Reformasi. Keterbukaan ruang publik dan kebebasan berpendapat dimanfaatkan oleh kelompok Islam konservatif untuk mengembangkan ideologi islamisme dan khilafahisme di Indonesia. Nyaris selama dua dekade kelompok Islam konservatif memanfaatkan iklim Reformasi untuk membangun gerakan, menyusun jejaring hingga merancang strategi. Hasilnya seperti kita lihat, ideologi islamisme dan khilafahisme sudah demikian merasuk ke nyaris semua kelompok dan lapisan masyarakat.
Pancasila, Tameng NKRI dari Ideologi Transnasional
Salah satu benteng bangsa Indonesia dalam menangkal Ideologi transnasional ialah Pancasila. Pancasila disusun oleh para pendiri bangsa dengan menggabungkan ideologi-ideologi besar dunia, yakni theisme (sila pertama), humanisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat) dan sosialisme (sila kelima). Pancasila sebagai dasar, falsafah sekaligus ideologi negara yang dirumuskan dari warisan Nusantara sekaligus pemikiran besar dunia itu diharapkan bisa menjadi benteng bagi penetrasi ideologi transnasional. Namun, tentunya Pancasila tidak akan mampu secara efektif menangkal ideologi transnasional jika masih dipahami secara normatif.
Di sinilah letak pentinya revitalisasi Pancasila. Yudi Latif dalam buku Revolusi Pancasila menjelaskan bahwa revitalisasi Pancasila ialah upaya menjadikan Pancasila sebagai sebuah kerja nyata, bukan retorika atau wacana belaka. Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi untuk mengimplementasikan Pancasila dalam kebijakan dan kerja nyata.
Lebih lanjut, Yudi Latif menegaskan bahwa revitalisasi Pancasila diperlukan untuk mewujudkan konsep negara kekeluargaan dan negara keadilan. Negara kekeluargaan ialah konsep negara yang mengatasi paham perseorangan atau golongan. Dalam ungkapan Sukarno, Indonesia ialah negara “semua buat semua, satu buat semua, dan semua buat satu”. Artinya, Indonesia tidak didirikan untuk satu kelompok (suku, agama atau ras) atau golongan status sosial tertentu (kaya-miskin) saja.
Sedangkan negara keadilan mengandung arti bahwa peran negara bukan hanya sebagai “penjaga malam”, melainkan memainkan peran aktif dalam usaha menyelenggarakan keadilan dan kesejahteraan sosial, melalui penguasaan, regulasi, fasilitas, dan penyediaan akses pada kesejahteraan yang mencakup kebutuhan dasar seperti papan, pangan, pendidikan dan kesehatan. Perpaduan antara negara kekeluargaan dan negara keadilan itu dijabarkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Latif: 2012). Jika variabel keadilan dan kesejahteraan itu belum terwujud, ancaman ideologis transnasional baik dari kiri (komunisme), kanan (islamisme-khilafahisme) maupun tengah (liberalisme) akan tetap ada di negeri ini.
Kuntowijoyo berpendapat, revitalisasi Pancasila dapat dilakukan dengan memperdalam pemahaman, penghayatan dan pengalaman sila-sila dalam Pancasila. Pancasila harus dihayati, dipahami dan diamalkan oleh seluruh kelompok masyarakat dalam segala lini dan lapisan kehidupan. Dalam konteks ini, yang diperlukan menurut Kuntowijoyo ialah ‘radikalisasi Pancasila’, yakni pengakaran ide-ide Pancasila yang akan membuatnya tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana pemerintah bertindak dan masyarakat bersikap. Dalam tafsiran Kuntowijoyo, radikalisasi Pancasila termanifestasikan setidaknya ke dalam enam hal. Pertama, mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara. Kedua, mengembangkan Pancasila sebagai ilmu. Ketiga, mengusahakan agar Pancasila memiliki konsistensi dengan produk perundangan, koherensi antarsila dan korespondensi dengan realitas sosial. Keempat, Pancasila harus menjadi pelayan horisontal, artinya menjadi pelayan masyarakat. Kelima, Pancasila harus menjadi rujukan etis dalam melakukan kritik terhadap negara. Terakhir, Pancasila harus diamalkan melalui proses pendidikan, kebudayaan dan keagamaan. Dengan adanya proses ‘radikalisasi’, Pancasila diharapkan akan mampu beroperasional dalam praksis tindakan, tidak lagi mengawang-awang layaknya sebuah pemikiran filosofis yang abstrak.
This post was last modified on 8 Juni 2020 2:05 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…