Radikalisme pada dasarnya adalah perkara yang tak sekedar dapat dilihat dari satu sisi belaka. Dari kurun waktu 2017-an hingga pergantian tahun 2023, fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan intoleran, radikal, dan teroristik, ternyata tak sekedar berhubungan dengan masalah ekonomi atau politik (pendekatan ekonomi-politik): mobilisasi massa Islam menjelang pilpres 2019 yang seolah hanya seperti karnaval pelecehan akal sehat, peristiwa bom Surabaya pada tahun 2018 yang dilakukan oleh golongan kelas menengah, aksi-aksi lonewolf terrorism yang seperti halnya aksi-aksi premanisme dengan parang dan guntingnya, dsb., menyingkapkan bahwa diperlukan pendekatan lain yang seturut dengan agenda baru di tahun 2023: menciptakan peradaban yang bebas dari intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Seusai peristiwa bom Surabaya, saya pun mulai berkonsentrasi untuk mendekati fenomena-fenomena intoleransi, radikalisme, dan terorisme, dengan kacamata psikologi pribumi atau anatomi jiwa yang sudah dipetakan oleh para leluhur bangsa Nusantara (Petaka Melankolia: Perihal Kenusantaraan, Kebhinekaan, Radikalisme dan Terorisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021). Dalam kancah ilmu kejiwaan modern, yang selama ini berkiblat ke Barat, sudah lama para leluhur bangsa Nusantara itu mendapat perhatian dunia internasional. Setidaknya, di samping Ki Ageng Suryamentaram, publik psikologi internasional mengenal yang namanya dr. Soemantri Hardjoprakoso.
Berkaca dari lakon wayang Semar Mbangun Kayangan, pribadi manusia ternyata adalah kunci atas keadaaan jagat yang ia tinggali. Maka, saking pentingnya manusia, dalam budaya Jawa terdapat kearifan bahwa ilmu apapun pada akhirnya adalah “ngelmu kamanungsan.” Sesanti “Hamemayu Hayuning Bawana,” yang menyiratkan agenda membangun peradaban, adalah diturunkan dari keyakinan semacam itu, bahwa jagat gedhe (dunia) adalah cerminan dari jagat cilik (manusia) dan begitu pula sebaliknya.
Anatomi jiwa manusia itu, dalam khazanah budaya Jawa, terdapat dalam konsep tentang sedulur papat lima pancer. Pada dasarnya konsep sedulur papat lima pancer adalah perabot-perabot manusia untuk hidup. Tanpa perabot-perabot itu tentu saja manusia tak dapat hidup atau tak dapat lengkap dalam menjadi seorang manusia. Seluruh pergerakan manusia, baik fisik maupun pikiran, tergerak oleh adanya empat daya ini. Orang Jawa menyebut keempat sedulur ini sebagai Amarah, Aluamah, Supiyah, dan Mutmainah. Ketika keempat sedulur ini dapat berfungsi secara seimbang, maka di situlah keselamatan diandaikan dapat tercapai.
Orang yang cenderung dominan diri Mutmainah-nya seumpamanya, meskipun diri semacam ini dianggap baik, akan terasa pincang kehidupannya. Ia akan semuci-suci atau sok suci yang saking sucinya bisa saja kehidupannya akan terkesan serba berkekurangan karena menganggap diri Amarah, Aluamah, dan Supiyah hanya berkaitan semata dengan marah, tamak, dan syahwat. Padahal ketiga sudulur atau diri itu juga berkaitan dengan bagaimana manusia mencari pangan dan bebas dari himpitan.
Namun, ketika yang dominan dalam kehidupan seorang manusia adalah sedulur Amarah ataupun Aluamah-nya, maka intoleransi dan radikalitaslah yang akan menjadi output-nya. Karena karakteristik utama diri Amarah dan Aluamah adalah kecenderungan perilaku intoleran dan radikal. Secara kejiwaan mereka akan cenderung labil dan bingung. Dapat dibuktikan bahwa orang-orang yang intoleran sudah pasti kejiwaan dan kehidupannya didominasi oleh sedulur Amarah. Sementara para radikalis dan teroris sudah pasti dominan sedulur Aluamah-nya. Bukankah fenomena bom bunuh diri yang dilakukan oleh para radikalis dan teroris adalah sebentuk aksi wis wani wirang atau mencela dirinya sendiri yang merupakan karakteristik utama dari diri Aluamah?
Dengan demikian, membangun paradaban yang bebas dari intoleransi, radikalisme, dan terorisme, adalah juga sebuah upaya dalam membangun diri sendiri. Dan di sinilah pendekatan psikologi pribumi atau psikologi budaya menemukan ruangnya. Dengan merujuk pada konsep bahwa muara dari semua ilmu adalah “ngelmu kamanungsan,” maka mendekati fenomena radikalisme dan terorisme seumpamanya, mestilah juga berhilir dan bermuara pada manusia. Sudah lama pendekatan hukum, ekonomi, politik, dan agama, dipakai dalam mendekati masalah radikalisme dan terorisme, namun berbagai peristiwa yang berhubungan dengan radikalisme dan terorisme selalu saja menunjukkkan fakta-fakta yang mengelak dari rumus-rumus hukum, ekonomi, politik, dan agama. Ungkapan Jawa bahwa manusia tak dapat diukur (janma tan kena kinira) ternyata menyingkapkan bahwa di samping pendekatan-pendekatan tersebut, terdapat pendekatan yang langsung menyentuh problem manusia yang paling mendasar: kamanungsan atau kemanusiaan itu sendiri. Di sinilah anatomi jiwa yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa Nusantara atau fakta bahwa jiwa ternyata juga memiliki anatomi yang selalu terkait erat dengan dunia yang melingkupinya dapat memberikan kontribusi dalam membangun dunia yang otomatis juga membangun diri sendiri.
This post was last modified on 3 Januari 2023 4:32 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…