Narasi

Antropologi Kurban dan Spirit Kebangsaan di Tengah Pandemi

Memahami ibadah kurban dirasa perlu banyak pendekatan, diantaranya ialah pendekatan antropologi. Dalam pendekatan ini, lebih khusus antropologi agama kurban merupakan ibadah yang sarat makna. Ibadah kurban tak hanya mampu meningkatkan level spiritualitas kita semata, akan tetapi sekaligus juga memupuk sensitivitas sosial kemanusiaan antar sesama. Bahkan, Muhbib Abdul Wahab (2017) menegaskan bahwa sejatinya kurban merupakan ibadah multidimensi baik dimensi mental spiritual, sosial, edukasional, historical, maupun kultural.

Apabila kita lacak historisitasnya, perintah kurban ini sudah ada sejak Nabi Adam. Quraish Shihab (2002) dalam Tafsir Al-Misbah, menyebutkan bahwa kurban pertama kali terjadi di muka bumi ini adalah kurban yang diselenggarakan oleh dua putera Nabi Adam (Habil dan Qabil) kepada Allah SWT.

Selanjutnya, secara formalistik menurut Quraish Shihab, sejarah ibadah kurban bermula dari Nabi Ibrahim As. Yakni, tatkala ia bermimpi disuruh Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail As, seorang putra yang sangat dicintainya (Q.S Ash-Shaffat, 37: 102-110). Singkat alkisah, dari persitiwa kenabian Ibrahim As inilah ibadah kurban muncul dan menjadi tradisi umat Islam hingga saat ini.

Ibadah kurban bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Artinya, Allah SWT akan menilai ibadah ini sebagai wujud ketakwaan hamba kepada-Nya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS Al Hajj, 22: 37).

Baca Juga : Semangat Kurban: Tidak Mengorbankan Manusia atas Nama Agama

Dimensi selanjutnya dari ibadah kurban ialah sosial kemanusiaan, yang mana kurban mengajarkan kita untuk peka dan peduli terhadap sesama. Apalagi, di tengah wabah Covid-19 ini, kurban merupakan jembatan sensitivitas sosial yang sangat penting. Disamping itu, kurban juga bisa menjadi sarana untuk membentuk kepribadian yang penuh toleransi, media menebar kasih sayang, dan jauh dari keegoisan diri, serta menyembelih berbagai sifat kebinatangan.

Solidaritas kebangsaan kita juga semakin kukuh. Kurban telah mengajarkan kepada kita semua untuk peduli terhadap sesama tanpa memandang SARA. Pun demikian relasi yang baik akan terjalin antara yang kaya dan miskin. Apalagi, pandemi Covid-19 ini telah menghantam berbagai sendi kehidupan yang berimbas pada krisis multidimensional. Pelaksanaan ibadah kurban itu akan mengikis sikap egois dan kikir serta krisis spiritual lainnya.

Berkaitan dengan krisis spiritualitas, Joe Holland (1988) memberikan penjelasan menarik. Esensi dari krisis spiritualitas dalam pandangan Holland adalah ketika energi-energi kreatif manusia sebagai anugerah Tuhan yang membuatnya menjadi “co-creator” dalam proses penciptaan dan pemeliharaan semesta sedang disesatkan menuju kehancuran. Dalam hal ini, krisis yang marak terjadi adalah keegoisan diri di tengah gelombang pandemi Covid-19. Dan rasanya, Idul Kurban adalah momentum yang tepat untuk mengikis itu semua.

Oleh karenanya, sudah sepatutnya melalui momentum kurban ini berbagai krisis spiritualitas, termasuk imbas karena pandemi kita kikis habis. Spiritualitas ternyata tidak harus selalu berkaitan dengan Tuhan. Tetapi juga bagaimana sikap dan perilaku kita terhadap sesama. Oleh karena itu, melalui momentum kurban ini, kita sadar bahwa peningkatan spiritualitas dan sensitivitas kemanusiaan adalah dimensi yang penting dan utama. Menelusuri dan menjalani kehidupan spiritual dan sosial tentu dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah. Usaha ini tidak mungkin ditempuh secara instan, tetapi harus terus menerus dilakukan sepanjang hidup baik berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan (hablu minallahi)maupun dengan sesama makhluk-Nya (hablu minannas). Selain itu, kita juga harus membersihkan jiwa dari segenap orientasi nafsu keduniaan. Artinya, esensi dari ibadah kurban sejatinya kesucian hati, kebangkitan jiwa, peningkatan spiritualitas, penguatan sensitivitas kemanusiaan, dan spirit kebangsaan, termasuk dalam spirit kebangsaan menghadapi gelombang pandemi Covid-19 dan persoalan bangsa lainnya.

This post was last modified on 28 Juli 2020 1:08 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

23 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

23 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

23 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

23 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago