Keagamaan

Asmaul Husna Cinta; Menafsirkan Konsep Mahabbah dalam Konteks Nusantara

Di dalam Islam, Tuhan (Allah) memiliki 99 nama untuk merepresentasikan sifat-sifat-Nya. Itulah yang disebut Asmaul Husna. 99 nama Allah itu merupakan manifestasi dari keagungan Allah. Umat Islam biasanya melantunkannya sebagai kidung doa dalam beberapa kesempatan. Seperti dzikir sehabis shalat atau puji-pujian sebelum shalat berjamaah, khususnya dalam tradisi NU.

Belakangan, terjadi semacam penyelewengan Asmaul Husna. Nama-nama Allah yang seharusnya dilantunkan dalam momen sakral dan penuh khidmat, kerapkali digunakan sebagai validasi kebencian dan kekerasan. Salah satu yang paling sering disalahgunakan adalah Asmaul Husna Al Kabir yang bermakna Tuhan Maha Besar.

Ungkapan Allah Maha Besar (Allahu Akbar) belakangan ini populer di kalangan muslim konservatif dan digunakan sebagai bagian dari praktik intimidasi, bahkan kekerasan terhadap kelompok non-muslim. Teriakan Allahu Akbar misalnya, selalu terdengar para aksi-aksi persekusi kelompok Islam konservatif ke kelompok minoritas non-muslim.

Pekikan Allahu Akbar juga hampir pasti ada dalam momen-momen aksi teror dan kekerasan yang dilakukan kaum ekstremis. Seolah-olah, kalimat Allahu Akbar adalah alat untuk membenarkan tindakan teror dan kekerasan. Seolah-olah, dengan pekikan Allahu Akbar, tindakan kekerasan dan teror yang sebenarnya dilarang Islam itu menjadi tampak suci dan mulia.

Tidak hanya itu, kalimat Allahu Akbar juga menjadi jargon populer para pendakwah beraliran keras. Para pendakwah yang gemar mengumbar kebencian pada pemerintah dan kelompok yang berbeda kerap memakai kalimat Allahu Akbar untuk membakar emosi dan sentimen umat. Alhasil, sakralitas kalimat Allahu Akbar pun mengalami distorsi.

Padahal, hakikat Asmaul Husna sebagaimana dijelaskan oleh mufassir Quraish Shihab adalah untuk membantu umat Islam mengenal Allah dan sifatnya sekaligus bagaimana mengamalkannya dalam kehidupan.

Distorsi makna Asmaul Husna tentu patut dikhawatirkan. Ketika nama Tuhan dipakai untuk memvalidasi teror dan kekerasan, maka sama saja kita tengah mendegradasi kesucian Allah. Jika kita melihat komposisi Asmaul Husna, terlihat jelas bahwa Allah itu adalah dzat yang condong pada sifat welas asih dan penuh cinta. Setidaknya ada 14 Asmaul Husna yang relevan dengan asumsi tersebut.

Antara lain, Al Wadud (Maha Penyayang), Al ‘Afuwu (Maha Memaafkan), Al Barru (Maha Baik), Al Ra’ufu (Maha Pengasih), Al Mu’minu (Pemberi Keamanan), Al Halimu (Maha Penyantun), Al Wasi’u (Maha Lapang), Al Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), Al Syakur (Maha Penerima Syukur), Al Wahhab (Maha Pemberi), Al Latif (Maha Halus), Al Rafii’u (Maha Tinggi), Al Rahman (Maha Pengasih), dan Al Rahim (Maha Penyanyang).

Dua belas Asmaul Husna itu secara garis besar menggambarkan Allah sebagai dzat yang penuh cinta dan welas asih. Dalam konteks Nusantara, Asmaul Husna bukan sekedar nama atau sifat Allah. Asmaul Husna telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi yang berakar pada Islam Nusantara. Misalnya, kesenian kaligrafi, tembang, puisi, atau seni pertunjukan yang mengambil inspirasi dari nama-nama Asmaul Husna. Tidak hanya itu, Asmaul Husna juga menjadi salah satu variabel yang membentuk karakter masyarakat Nusantara.

Asmaul Husna didendangkan para orang tua untuk meninabobokan bayi. Asma-asma Allah itu pun merasuk ke alam bawah sadar sang anak. Lantunan Asmaul Husna juga hadir sebagai pembuka pelajaran TPA saban sore atau malam. Di kalangan orang dewasa, Asmaul Husna hadir dalam acara-acara keagamaan.

Dalam konteks Nusantara, Asmaul Husna menjadi salah satu media untuk menginternalisasi konsep cinta keilahian. Yakni cinta yang melampaui segala batasan identitas, latar belakang, dan status sosial. Sebagai Tuhan yang Maha Pemberi Cinta, Allah memberikan kasih sayangnya pada semua makhluk, tidak peduli apa agama, suku, etnis, warna kulit, dan jenis kelaminnya.

Asmaul Husna dalam maknanya yang condong pada cinta dan kasih sayang inilah yang patut kita resonansikan dan amplifikasikan hari ini. Jangan sampai, nama-nama Allah yang mulia dibajak oleh pihak tertentu untuk memvalidasi perilaku destruktif mereka. Menjadi ironis jika asma Allah yang agung, mulia, dan penuh cinta dipelintir maknanya oleh kaum radikal-teroris.

Dalam tafsiran mereka, Allah dipersepsikan sebagai sosok yang mudah marah, gampang tersinggung, bahkan bengis atau kejam. Allah digambarkan sebagai dzat yang membolehkan kekerasan dan peperangan sebagai jalan mewujudkan kepentingan. Di tangan kaum radikal-teroris, sifat-sifat Allah yang penuh cinta menjadi kabur.

Arkian, dalam konteks Nusantara puncak tertinggi spiritualitas seorang muslim bukanlah sekadar hafal Alquran atau hadist, berkali-kali ke tanah suci, apalagi sekadar mengadaptasi budaya Arab atau Timur Tengah. Puncak spiritualitas muslim Nusantara adalah menghadirkan mahabbah dalam hatinya. Mahabbah adalah kondisi ketika manusia hanya memiliki rasa cinta dan tidak menyisakan sedikit pun kebencian dalam hatinya.

Ketika seorang muslim sampai pad level mahabbah, maka segala perilakunya hanya dilandasi oleh cinta. Relasi vertikal-transendentalnya pada Tuhan dilandasi spirit cinta. Demikian juga, relasi horisontal-sosial terhadap sesama manusia dan makhluk Allah pun akan dilandasi oleh rasa cinta. Tidak ada tersisa rasa takut, khawatir, dan benci dalam hatinya.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Tepo Seliro: Mengeja Cinta dengan Kearifan Budaya

Di tengah gejolak global yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan sentimen sektarian yang semakin keras,…

1 menit ago

Strategi Mendekatkan Ajaran Agama Cinta dengan Generasi Muda

Di tengah pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi, generasi muda saat ini hidup dalam era yang…

3 menit ago

Radikalisasi di Balik Meja Kerja: Menjaga Birokrasi dari Ideologi Ekstrem

Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) di Banda Aceh oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror…

1 hari ago

Fathu Makkah; Seni Mencintai Saat Ada Ribuan Alasan untuk Membenci

Menurut sebagian Muslim, Fathu Makkah dilihat sebagai upaya hegemoni ofensif oleh umat Islam di daerah…

1 hari ago

Kidung Cinta Walisongo untuk Generasi Muda

Walisongo adalah tokoh-tokoh besar yang tidak hanya dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa, tetapi…

1 hari ago

Agama Cinta; Paradigma Baru Religiusitas di Era Post-Sekulerisme

Di awal bangkitnya era modern, muncul ramalan bahwa agama akan mulai ditinggalkan oleh manusia. Salah…

2 hari ago