Narasi

Awas Propaganda Khilafah: Bencana Tidak Ada Hubungannya Dengan Khilafah

Gempa dengan kekuatan magnitudo 5,3 mengguncang Garut pada Sabtu 12 November 2022. Gempa tersebut setidaknya menewaskan 318 orang dan ribuan rumah rusak parah. Terdapat korban yang mengalami luka-luka sebanyak 7.729 orang, terdiri dari 595 luka berat dan 7.134 luka ringan. Datang berbondong-bondong bantuan untuk meringankan luka korban. Namun ada pula yang memanfaatkan momen ini sebagai ajang menyerukan narasi khilafah.

Menurut kelompok khilafah, bencana yang terjadi di Garut merupakan hukuman dari Allah swt atas bangsa yang tidak mau menerapkan sistem khilafah. Seperti halnya kisah umat terdahulu yang terkena azab karena tidak menjalankan ajaran Nabi ataupun Rasul. Khilafah adalah sistem mutlak yang harus diterapkan sepanjang zaman oleh setiap negara. Sistem khilafah dianggap sebagai warisan Rasul serta para shahabatnya untuk memperoleh kehidupan yang makmur dalam suatu negara.

Historitas khilafah dalam Islam dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan yang ideal. Khilafah mampu menyelesaikan kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan permasalahan kebangsaan lainnya. Akan tetapi adopsi sistem khilafah yang sembarangan, justru dimanfaatkan oleh beberapa kelompok sebagai kendaraan untuk mencapai tujuannya. Apalagi hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia dengan kultur agamis, kelompok pengusung khilafah semakin mendapatkan angin segar.

Dalam kasus bencana, kelompok khilafah menyebarkan narasi tersebut dalam bentuk tulisan. Melalui kolom media, mereka menjelaskan tentang bagaimana sistem khilfah mampu menyelesaikan persoalan kebencanaan yang sedang terjadi. Kemudian narasi yang sama juga disematkan dalam pemberian bantuan. Prosesi penyerahan bantuan tidak lupa diiringi oleh pencitraan dan menciptakan doktrin dasar di masyarakat bahwa khilafah adalah sistem yang baik dan harus dilaksanakan.

Membantah Narasi Khilafah

“Terkadang berpikir mistis lebih disenangi dibandingkan berpikir kritis,” ucap Dr. Fahruddin Faiz tempo hari. Perkaataan tersebut secara tidak langsung mengkritik kebiasaan yang malas berpikir tentang asal mula kejadian secara logis. Lebih senang menalarkan segala sesuatunya secara mistis karena tidak perlu mencari data ataupun memikirkan secara mendalam.

Corak pemikiran tersebut diterapkan pada khilafah yang dijadikan solusi terhadap kebencanaan. Pemikiran khilafah dalam konteks kebencanaan hanya didasarkan faktor historis tanpa memperhatikan penerapan dan adaptasinya di zaman sekarang. Secara membabi buta mereka meneriakkan khilafah sebagai solusi tanpa adanya bukti yang kuat. Maka tidak heran jika penyelesaian terhadap narasi khilafah disuarakan dalam bentuk kekerasan, kerusuhan, dan hal lain yang berpotensi menimbulkan ketakutan.

Melihat kenyataan itu, dapat diketahui jika khilafah sebagai solusi atas kebencanaan merupakan narasi yang lemah diwujudkan. Yang ada malahan narasi khilafah yang sengaja dimanfaatkan sebagai tunggangan untuk mencapai berbagai kepentingan mereka. Dengan mengganti sistem pemerintahan, berarti program kebangsaan kedepannya dapat digerakkan ke arah yang menguntungkan kelompok mereka. Oleh karena itu, penting kiranya untuk membantah narasi khilafah dalam semua propaganda yang dilakukan. Termasuk propaganda dalam kebencanaan, khilafah harus ditolak secara tegas.

Narasi bencana diturunkan sebab hukuman yang diberikan Allah karena bangsa Indonesia tidak mau menerapkan khilafah hanyalah siasat politik belaka. Karena jika dilihat lebih rinci, justru masyarakat Indonesia sudah Islami dari kualitas hidupnya. Mayarakat Indonesia mampu membangun jamaah yang sekian banyaknya hanya untuk menyiarkan agama Islam. Terlebih Islam menjadi mayoritas agama di Indonesia.

Indonesia sudah dianggap Islami yang berasal dari ajaran ulama-ulama terdahulu yang menyebarkan Islam di Nusantara. Bahkan ajaran-ajaran Islam sudah lebih dikenal, sebelum Islam disebarkan di bumi Nusantara. Para pendakwah seperti Walisongo menyempurnakan pemahaman tersebut menjadi agama Islam yang dikenal seperti sekarang.

Maka akan sangat rancu jika Indonesia dibilang negara yang tidak Islami, negara yang anti-Islam atau seruan serupa dengan itu. Akan sangat masuk akal jika seruan semacam itu dibuntuti oleh kepentingan yang dibawa oleh penyebarnya, seperti kekuasaan, kemewahan, dan harta berlimpah. Oleh karena itu, masyarakat jangan sampai menjadi korban dan termakan oleh propaganda yang menguntungkan kelompok berkepentingan. Masyarakat Indonesia harus menjadi sosok yang cerdas dan kritis terhadap segala problematika yang terjadi. Tidak mudah terhasut, apalagi oleh narasi yang berpotensi menggeser nasionalisme dan kedaulatan Indonesia sebagai negara Pancasila.

This post was last modified on 28 November 2022 2:14 PM

Nur Faizi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

16 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago