Narasi

Ayo Bergerak, Jangan Hanya Bergerak-gerak!

Banyak dari kita (pemimpin, tokoh, masyarakat-red) yang masih sekedar bergerak-gerak saja. Jargon perubahan (kerja-kerja dan lainnya) hanya terealisasi di level mengenaskan (hanya menjadi sebuah teriakan, wacana, bahan diskusi dan bergerak-gerak di tempat saja).

Tokoh bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan juga tokoh agama seperti M. Natsir, KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Asy’ari dan lainnya adalah sosok yang tidak hanya pandai menggerak-gerakkan mulut (pandai berbicara). Lebih dari itu, adalah mempunyai gerakan konkret.

Misalnya KH Wahab Hasbullah ketika memimpin rapat PBNU, sebagaimana dikutip dari nu.or.id , menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:

Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…

Dalam tempo singkat, seruan ulama ini direspons dan menjadi gerakan yang terorganisir di dalam masyarakat untuk mengusir penjajahan di Surabaya kala itu. Bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa gerakan-gerakan yang tumbuh kala itu adalah buah dari kepemimpinan para tokoh bangsa dan agama. Mereka sadar dan terencana bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih dengan cara bergerak-gerak saja, melainkan harus mengambil gerakan sistematis dan terencana. Maka dari itulah, mendiang Bung Karno dalam beberapa pidato dalam perinagatan HUT RI mengucapkan: “Merdeka hanyalah sebuah jembatan, Walaupun jembatan emas.., di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa.., satu ke dunia sama ratap sama tangis!”

Bergerak untuk Indonesia Damai

Menjaga kemerdekaan dan perdamaian bukanlah amanat undang-undang dasar semata, melainkan adalah tugas dan kewajiban mutlak bagi setiap kepala yang ada dan hidup di rumah Indonesia tercinta. Namun, sekali lagi, kewajiban itu jika masih dalam tataran wacana dan angan-angan tidaklah menjadi solusi. Yakin!

Barangkali sebuah “modifikasi” hadis Nabi diperlukan dalam konteks ini. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengerjakannya. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat; ingin saya katakan bahwa: sebaik-baik orang Indonesia adalah yang mempelajari sejarah, cita-cita, ideologi, dan yang mengajarkan serta mengejawantahkan semuanya itu dalam perbuatan nyata.

Salah satu cita-cita Indonesia di masa dahulu, sekarang, akan datang dan selamanya adalah merawat perdamaian. Perdamaian menjadi penting karena ia adalah muara dari terwujudkan Indonesia yang aman, nyaman, tenteram dan sejahtera.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dijadikan sebagai gerakan semesta untuk menjaga perdamaian yang sudah kita rasakan agar tetap langgeng dan semakin baik. Pertama, menjunjung tinggi pilar negara Indonesia. NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika harus dijadikan sebagai sesuatu yang sudah selesai. Tidak ada pertentangan sedikitpun. Taraf selanjutnya adalah bagaimana pilar-pilar tersebut dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari serta menjaga gerakan secara bersama.

Kedua, memper-erat tali persaudaraan. Persaudaraan yang kuat akan melahirkan energi besar, kerena di dalam persaudaraan itu tercipta kerjsama dan sinergi yang luar biasa. Maka, sifat-sifat dan laku yang dapat merusak jalinan indah itu harus disingkirkan, seperti primordialisme dan etnosentrisme secara berlebihan serta intoleran.

Ketiga, selalu menebarkan perdamaian. Filsuf Baruch Spinoza (1632-1677) pernah berujar: “Perdamaian bukanlah berarti ketidakhadiran peperangan semata; Namun, ia adalah sebuah nilai-setonggak karakter kebaikan, kepercayaan, dan keadilan sejati.” Ucap salam adalah salah satu wujud bahwa kita mendambakan perdamaian dan kelembutan. Maka, jagalah sikap dan ucapan kita untuk tidak mengatakan, nyinyirkan orang, memfitnah, adu domba, dan lain sebagainya.

Gerakan-gerakan itu harus benar-benar menjadi roh dalam menjalani hidup di dunia ini. Jangan hanya bergerak-gerak tidak jelas. Saatnya kita bergerak, mewujudkan perdamaian Indonesia. Dari Indonesia untuk perdamaian dunia.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

23 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

23 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

23 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago