Dalam kitab Ta’limul Muta’allim, kitab standar santri yang hampir dibaca di semua pesantren karena berisi tentang tata cara belajar, aturan main yang mesti dipegang oleh santri itu adalah cari tahu lebih dulu profil pesantren dan pengasuh. Apa pasal? Untuk menghindari buruk sangka yang mungkin terjadi ketika tak cocok, tidak sreg. Buktinya banyak terjadi: buruk sangka yang disimpulkan dari pengamatan yang sebentar. Payah bukan? kita menyampaikan banyak hal tentang kekurangan kepada orang hanya berdasar pada sedikit pengalaman? Mondok itu sebentuk proses yang harus dijalani, bukan data pemilihan umum yang harus segera dilaporkan kepada publik dengan akutabilitas yang tinggi.
Beberapa hal yang diperoleh dari ‘mondok’ sehingga ajakan untuk mondok itu dianggap penting adalah soal karakter. Pendidikan karakter berlangsung dengan sendirinya, yaitu dalam interaksi dan komunikasi santri, terutama di asrama, juga dengan kiai dan guru. Ini satu hal yang secara prinsip membedakan santri pondok dan pelajar biasa. Mereka belajar menghadapi pemikiran, perlakuan, pikiran, dan pendapat yang tidak selalu sama dengan pendapat dan keinginannya. Proses ini berlangsung terus-menurus, berubah, tidak saja hanya di saat duduk dengan teman sebangku di sekolah, melainkan juga tahun demi tahun berikutnya dengan kawan yang datang dan pergi.
Kesenjangan sosial akan nyaris tidak kelihatan, sebab anak bupati dan anak petani sama-sama berjalan kaki ke madrasah, bukan yang satu naik motor sport dan lainnya berjalan kaki. Mereka sarapan dengan makanan yang tak jauh berbeda. Hal ini tidak mungkin ditemukan jika anak tersebut tetap diemong ayah-ibunya di rumah.
Di pondok, pelajaran keterampilan dan kemandirian berjalan secara alami. Panci rusak harus diperbaiki sendiri. Kabel mikrofon masjid putus, disolder sendiri. Begitu pun yang terjadi dalam keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi. Kegiatan khitabah, pentas seni, baca puisi, hadrah, teater, dan pementasan-pementasan lain merupakan bagian dari pembelajaran ini. Komunikasi yang banyak gagal dilakukan oleh santri adalah saat menghadapi lawan jenis, karena hal itu memang terlarang. Lucunya, saat mereka keluar dari pondok dan bertemu dengan komunitas yang lebih bebas, di kampus misalnya, acap kali terjadi cultural shock, kagetan.
Kemandirian juga terbentuk pada saat mereka harus melayani diri sendiri, seperti masak dulu sebelum makan dan cuci sendiri perabotan agar bisa dipakai lagi, yang mana hal itu bahkan tak pernah mereka bayangkan andai tetap tinggal seatap dengan orangtua. Ketika sekarang situasi mulai berubah, ketika nasi tinggal beli dan nyuci tinggal kirim ke penatu, lain pula ceritanya. Akan tetapi, di luar itu, masih banyak kegiatan lain yang tetap menuntut santri untuk mandiri.
Di pesantren, pendidikan kedisiplinan tidak dijadikan motto, melainkan diterapkan dalam sistem pengawasan 24 jam. Santri diawasi bahkan hingga pada jam tidurnya. Ini berbeda dengan ketika mereka ada di sekolah yang berkisar 6-9 jam saja, sisanya digantikan pengawasan dari orang tua, itupun jika si anak tidak keluyuran atau orangtuanya tidak pergi pagi dan pulang malam. Toh meskipun sama-sama ada kesempatan bermain, biasanya hari Selasa dan Jumat, namun mereka tetap dibatasi.
Di samping biaya pendidikan murah yang menjadi alasan, satu tujuan lain mondok adalah soal pengabdian. Soal belajar agama sih tidak perlu dibicarakan lagi, sebab pesantren memang tempatnya. Adanya pengabdian atau khidmah inilah yang turut menyebabkan biaya operasional pondok jadi lebih murah. Toh, dengan biaya yang terjangkau oleh kalangan bawah, pesantren tetap mampu berjalan dan berkembang meskipun secara fisik tidak sepesat lembaga pendidikan yang dananya bergantung pada iuran wali dan santunan dari pemerintah.
Kemandirian ekonomi suatu lembaga akan membuatnya berwibawa, mandiri, berdikari. Bagaimana pun harus diakui, BOS, tunjangan, dana hibah dan sejenisnya turut mengubah gaya hidup dan sudut pandang masyarakat dalam memandang pesantren, termasuk sebaliknya; bagaimana orang-orang pesantren dalam memposisikan dirinya.
Paparan ini telah memastikan saya mendukung slogan ‘ayo mondok’. Masih banyak penjelasan yang tidak terjelaskan karena beragamnya model dan karakterisrik kepengasuhan di pesantren Nusantara. Di atas semua itu, harus diakui bahwa pengasramaan seperti di pondok juga diterapkan di lembaga lain, baik di Indonesia maupun di luar. Mereka meyakini bahwa transfer ilmu bisa saja berlangsung di berbagai tempat, tetapi untuk sekaligus membentuk karakter anak didik, cara ini dianggap yang paling berhasil.
Manfaat-manfaat ‘fisikal’ tersebut masih dapat disokong lagi oleh keunggulan lain, seperti konsep khidmah yang juga menjadi salah satu tujuan santri mondok. Keyakinan transendental adalah alasan lain mengapa konsep ini tetap dijaga. Tidak logis jika seseorang rela bekerja tanpa mau dibayar. Wong jadi “Pak Ogah” di perempatan-perempatan kota besar itu dapat bayaran, kok! Di mata orang tertentu, ini adalah sebentuk keluguan korban dogma, bius bernama agama. Nyatanya, dengan menggeser sedikit, pengambilan keputusan khidmah ini sebetulnya dapat dipahami. Santri khidmah itu tetap dapat imbalan, hanya saja kerja jasmaninya ditukar dengan imbalan rohani. Begitu sederhana konsepnya.
Hal yang sama juga berlaku pada konsep ‘barakah’. Keyakinan adanya barakah ilmu, kiai dan pondok tidak dijual di toko mana pun. Meyakini secara sempurna itu tak butuh lagi hujjah ilmiah untuk percaya. Adanya argumen hanyalah pelengkap, bagaikan kecambah di atas rawon. Dengan atau tanpa kecambah pun tidak akan mengusik keyakinan seseorang bahwa yang dihadapinya itu adalah semangkok rawon.
Dengan melihat hal-hal yang sudah lebih dulu dialami pendahulu mereka dalam menjalani kehidupan, khidmah atau barakah pesantren dari zaman santri kelana hingga kini zaman digital, seorang santri telah merasakan sensasi kenikmatan lebih dulu tanpa perlu memastikannya dengan cara melahapnya.
Catatan Penutup
Inilah sedikit catatan pengantar bagi mereka yang ingin mengenal pesantren. Tulisan ini dibuat sebagai sekelumit bahan pertimbangan bagi walisantri yang ingin memondokkan putra-putrinya, atau santri yang ingin mondok, atau juga sebagai pandangan tambahan bagi mereka yang sudah mondok. Jika mengacu pada anggaran dasar UUD 45 yang mengemban amanat ‘mencerdasakan kehidupan bangsa’ (lewat pendidikan), tanpa adanya penyelenggaraan pendidikan (formal dan nonformal sekaligus) oleh pesantren, tak terbayangkan betapa ruwetnya tugas ini jika diemban sendirian oleh pemerintah. Dalam situasi yang tak kunjung stabil seperti sekarang, bagaimana cara mengatasi pendidikan 250 juta rakyatnya?
Harus diingat, pendidikan di pesantren itu tidak sama sekali sempurna. Oleh karena itu, menutup mata dari banyak celah kekurangan karena sibuk menyanjung sistemnya sendiri adalah tindakan tidak sehat karena akan berakibat lupa diri. Apa pun yang dianggap tanpa cacat pastilah pandangan cacat. Kelemahan dalam fasilitas, sarana, manajemen waktu, dan penguatan jaringan alumni adalah satu dari banyak hal yang perlu dibenahi oleh pesantren. Bukan hanya ini, namun masih banyak hal lain yang perlu diperbaiki.
Terakhir, satu hal yang tak boleh dilupakan, bahwa pendidikan ala pesantren memiliki prinsip ‘dukungan spiritual berkelanjutan’: kiai mendoakan santri, santri mendokan kiai, guru mendoakan murid dan murid mendoakan guru. Proses ini tidak berlangsung dari pukul 7 pagi hingga siang atau sore, tidak sebatas dari kelas 1 hingga kelas 3 saja, melainkan sepanjang usia. Itulah keunggulan sejati yang barangkali akan sulit ditemukan dalam konsep pendidikan di luar pesantren.
Di atas itu, sanad keilmuan yang didapat dari ilmu yang diajarkan di pesantren telah mendapat jaminan ketersambungan, sekurang-kurangnya hingga pengarang, bahkan hingga sampai kepada Rasulullah saw. Sanad dan silislah ilmu inilah yang juga menjadi ‘jimat’ pendidikan pesantren. Melalui konsep sanad, kita tentu tak ingin anak generasi kita ramai-ramai berguru agama di Facebook sembari tidur-tiduran, menunggu ceramah dari Twitter sambil buang hajat, atau pula memelototi YouTube sambil menunggu tuntas streaming yang sanadnya hanya bergantung pada jaringan dan rating.
Mobil Fiat, VW kodok
Kadung niat, ayo mondok!
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…