Narasi

Bahasa Lokal dan Kearifannya, Pemersatu dalam Keragaman Nusantara

Bahasa sebagai produk budaya merupakan salah satu penanda peradaban. Tak heran jika kepunahan bahasa berarti kepunahan peradaban manusia sebagai penggunanya. Bahasa etnik memiliki fungsi dan peran yang urgen sama pentingnya dengan bahasa nasional dan bahasa internasional. Bahasa nasional dan bahasa internasional adalah jembatan dalam komunikasi global. Sedangkan bahasa lokal menurut Lukman Hakim (kepala LIPI) memiliki fungsi strategis yaitu sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, wahana komunikasi serta transmisi tradisi lisan yang sarat kearifan lokal.

Mengingat hal tersebut, kehadiran bahasa Indonesia tidak otomatis menghilangkan bahasa etnis. dianutnya Islam oleh hampir seluruh rakyat Indonesia tidak lantas menghilangkan budaya lokal dan menggantinya dengan budaya Arab. Termasuk sistem pemerintahan dan cara hidup rakyatnya. Tidak harus Kurma menjadi makanan pokok menggantikan nasi. Bahasa Inggris tidak semestinya menjadi bahasa pengantar keseharian yang lebih utama dari pada bahasa Indonesia dan bahasa ibu.

Kehadiran dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu tidak dimaksudkan untuk menganulir bahasa daerah. Sebagai jembatan, bahasa Indonesia berperan dalam memperlancar komunikasi antar daerah. Oleh karena itu, Kemampuan berbahasa Indonesia wajib dimiliki oleh bangsa Indonesia dilain sisi mereka juga dituntut untuk mahir berbahasa daerah. Seh ingga kearifan dan khazanah yang terdapat dalam bahasa daerah tetep terjaga dan menjadi identitas bangsa.

Keragaman dan vitalitas Bahasa daerah

Berdasarkan data Ethnologue (Lembaga Bahasa di Dunia) Indonesia memiliki 719 bahasa daerah dan menjadi negara kedua di dunia setelah Papua Nugini dalam hal kepemilikan bahasa etnis. Angka tersebut merupakan jumlah yang sangat fantastis. Yang secara alami turut melahirkan ratusan kebudayaan dan kearifan yang memperkaya Indonesia diluar sumber daya alamnya. Sayangnya, dari 719 bahasa 12 bahasa telah mengalami kepunahan dan diperkirakan 146 bahasa lokal lainnya akan segera menyusul menjadi artefak sejarah .

“Penelantaran bahasa” tersebut menurut National Geographic Indonesia salah satunya disebabkan oleh paradigma bahwa bahasa lokal berstatus inferior. Ketiadaan rasa bangga bahkan minder terhadap bahasa warisan nenek moyang akan semakin menurunkan daya hidup bahasa tersebut. Pandangan bahwa bahasa lokal mutunya lebih rendah dibanding bahasa nasional dan bahasa asing menjadi bahaya terhadap peradaban Indonesia kedepannya.

Penurunan vitalitas bahasa leluhur akan berpengaruh terutama terhadap fungsi strategisnya yaitu sebagai penjaga kearifan lokal. Petuah-petuah mulia yang terkandung dalam kebudayaan akan berhenti diwariskan seiring memudarnya kemampuan berbahasa ibu. Generasi muda pun akan tiba pada satu titik dimana bahasa daerah menjadi asing. Mereka tidak mengenal dan tidak memiliki lokal wisdom daerahnya sehingga nilai-nilai global yang belum lulus uji kelayakan lebih dikuasai dan diakui. Akibatnya jika budaya transnasional yang diterima adalah tradisi yang tidak ramah semisal radikalisme maka persatuan dan martabat Indonesia menjadi taruhannya. Istilah gegar budaya di negri sendiri akan menjadi paradoks yang memilukan.

Pandangan dan realitas yang menempatkan bahasa lokal pada posisi tidak prestise dan terkesan lemah dalam menyuarakan emansipasi menambah daftar panjang tenggelamnya pamor bahasa daerah dewasa ini. Bahasa etnik seolah hanya kebanggaan yang posisinya sebagai anak tiri. Mafhum kiranya jika generasi sekarang lebih senang mengutip bahasa asing daripada bahasa daerah. Merasa lebih diakui ketika menguasai bahasa asing daripada bahasa daerah. Karena kenyataanya di dunia pendidikan dan kerja kemampuan bahasa asing lebih utama. Bahkan untuk mendapatkan beasiswa meskipun di dalam negeri, kemampuan dan tes bahasa Inggris menjadi syarat utama. Sehingga tak banyak yang tahu jika kemahiran bahasa Indonesiapun sejatinya ada standar dan tesnya.

Krisis bahasa lokal semakin nyata dengan menurunnya tingkat kebanggaan terhadap kearifan lokal yang perlahan namun pasti mulai tergerus oleh budaya transnasional yang dianggap lebih bermartabat dan bermanfaat. Penetapan 21 Februari sebagai hari berbahasa ibu internasional oleh PBB menjadi udara segar bagi pengakuan terhadap keberadaan bahasa lokal dan peran pentingnya.  Peranan sebagai pembangun peradaban bangsa diharapkan mampu meningkatkan elektabilitas bahasa lokal sehingga kepunahannya tidak pernah terjadi. Semakin sedikitnya orang yang menggunakan bahasa tersebut dalam keseharian berarti semakin lemah vitalitas bahasa etnik tersebut yang pada akhirnya terancam punah. Ini merupakan lampu merah terhadap peradaban dan persatuan nusantara.

Mempertahankan budaya berbahasa daerah menjadi tugas semua generasi dan semua pihak. Generasi tua berkewajiban untuk mengajarkan dan generasi muda bertanggung jawab untuk melestarikannya. Pemerintah dan lembaga terkait bertugas memberi ruang terhadap bahasa daerah seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 32 ayat 1 yang menegaskan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Artinya keberadaan bahasa menjadi pondasi utama agar pesan budaya tetap lestari dan mampu diturunkan. Hal ini diperkuat dengan ditelurkannya UU No. 24 tahun 2009 pasal 42 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah.

Harapannya, dengan kesadaran kolektif bangsa ini, budaya dan kearifan yang menyertai bahasa tersebut akan terus hidup dan berkembang. Beragam budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung semakin menyadarkan bangsa Indonesia akan kemajemukannya dan menjadi imunitas dalam mempertebal sikap tenggang rasa.  Yang akan memupuk perasaan cinta berbahasa dan perpengetahuan daerah serta bangga menjadi bagian dari keragaman nusantara. Sehingga keberadaan budaya lokal terus hidup dan kehadiran budaya global dapat difilter dan diuji kelayakan dan karamahannya.

Ratna Dewi Fathimah

Penulis merupakan alumnus Prodi Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago