Media adalah jendela dunia, begitu orang bijak mengatakan. Jendela adalah bagian dari rumah yang memberi akses kepada penghuninya untuk dapat melihat dunia di sekitarnya. Melalui jendela penghuni rumah bisa mendapatkan udara yang lebih sejuk dan pemandangan yang lebih menyegarkan, sehingga rumahpun menjadi lebih sehat.
Begitulah jika jendela dipasang di tempat yang benar, dengan ukuran yang benar dan dibuka pada saat yang tepat pula. Karena di sisi lain jendela yang terbuka juga dapat membawa aroma tidak sedap masuk ke dalam ruangan, atau pandangan yang tidak menyenangkan manakala jendela dibuka pada saat yang kurang tepat. Demikian juga media yang kita konsumsi sehari-hari. Media dengan segala aneka informasinya dapat memberikan dampak yang besar pada cara pandang dan sikap dalam menghadapi persoalan sosial.
Diceritakan, Maman Maulana (bukan nama sebenarnya), seorang saintis computer telah melakukan peretasan terhadap sistem perbankan dan melakukan kejahatan pengalihan dana dari satu rekening ke rekening lain setelah membaca sebuah media. Ia merasa bahwa tindakan criminal peretasan yang Ia lakukan adalah amal ibadah yang bisa membawanya ke surga. Ulah Maman membobol bank itu terjadi karena naifnya cara salah satu media dalam mengemas berita, sehingga maman menelan begitu saja informasi yang ditampilkan tanpa pernah memikirkan benar salahnya. Akibat tidak teliti ketika menggunakan ‘jendela’ bernama media, Maman yang sebelumnya hanyalah seorang lelaki pendiam kini telah berubah menjadi kriminal yang otaknya penuh dengan kebencian.
Pertanyaanya adalah, media seperti apa yang dibaca oleh Maman Maulana. Belakangan diketahui bahwa Maman membaca sebuah media yang “apatis” dengan situasi lokal bangsa Indonesia. Media yang dibacanya adalah media yang selalu membahas situasi luar negeri. Dari media itu pula Maman membaca berita politik, ekonomi, keamanan bahkan sosial dan politik, namun sayang, media yang dibacanya didominasi oleh berita luar negeri.
Dominasi berita “asing” ini lambat laun mengasingkan Maman dari negerinya sendiri. Ia memang tinggal di Indonesia, namun imajinasinya selalu melayang jauh ke negara-negara yang entah ada di pojok bumi bagian mana. Maman bahkan sudah lupa pada indonesia, negeri yang telah merawat dan membesarkannya.
Belajar dari kisah di atas, sebagai pembaca kita harus kritis dan menempatkan media sebagai alat yang tidak bebas kepentingan. Untuk konteks saat ini, rasanya sangat sulit untuk menemukan media yang benar-benar netral dan jujur, kerapkali, media justru dijadikan corong dari sebuah misi tertentu. Pemilihan nama, topik dan model penyajian sebuah media mencerminkan pesan yang “dipasarkan” oleh sebuah media. Media yang didominasi berita asing tentu harus dicurigai sebagai media yang menyuarakan kepentingan asing. Media yang menyuarakan kekerasan, walaupun namanya berlabel agama tertentu, patut dicurigai sebagai bagian dari agen kelompok kekerasan.
Begitulah media, Ia selalu menantang pembacanya untuk bersikap kritis agar tidak termakan tipu dayanya.Kontra-wacana adalah salah satu sikap yang disarankan dalam membaca sebuah media. Agar kita tidak menjadi korban media seperti Maman, maka selayaknya kita selalu bertanya “mengapa media ini memuat topik tertentu dengan pilihan gaya dan kasus tertentu?”. Dengan berpikir kritis dan selalu mempertanyakan muatan media, pembaca akan imun dari tipu daya media. Semoga kita sentiasa menjadi orang yang berhati-hati dan selamat dari muslihat media.
This post was last modified on 18 September 2015 3:30 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…