Narasi

Baiat Hanan Attaki dan Urgensi Dakwah Moderasi Digital

Dibaitnya Ustad Hanan Attaki masuk ke organisasi Nahdlatul Ulama oleh Kiai Haji Marzuki Mustamar seketika menjadi perbincangan publik. Mengingat sebelumnya Hanan Attaki dianggap sebagai salah satu pendakwah milenial yang masuk kategori radikal. Pendiri gerakan pemuda hijrah ini mengucapkan baiat “login” ke NU pada acara halal bihalal 1444 H Keluarga Besar Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek di Kota Malang.

Setidaknya ada lima isi baiat yang diucapkan oleh Ustad Hanan Attaki. Pertama, ia menyatakan dengan bersumpah bahwa dirinya adalah benar-benar seorang Muslim, Mukmin dhohiron wa bathinan. Kedua, menyatakan baiat dirinya mengikuti ajaran Ulama, Habaib, Kiai, dari kalangan ahlussunnah wal jamaah.

Kemudian yang ketiga, dia mengikrarkan diri untuk mengikuti jamiyah dan ajaran Nahdlatul Ulama. Keempat, menyatakan diri menerima sistem bernegara, berbangsa, NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dengan bimbingan para Ulama, Habaib dari ahlusunnah wal jamaah. Terakhir, menyatakan siap membela Islam, siap mati membela ahlussunnah wal jamaah dan siap mati membela dan memperjuangkan NU dan NKRI.

Bagi NU, hal ini merupakan kondisi yang patut disyukuri, di tengah menggeliatnya gerakan hijrah yang sangat potensial menyuburkan agenda gerakan radikal, maka dengan baiatnya Ustad Hanan Attaki telah memberikan angin segar bagi dakwah moderat di ruang digital. Mengingat Hanan Attaki menjadi salah satu Da’i populer dengan pengikut 9.5 juta followers di Instagram.

Menurut Gus Nadirsyah Hossen, selaku Rois Syuriah PCINU Australia-New Zealand bahwa proses baiat yang dilakukan Ustad Hanan Attaki sebagai bentuk proses menuju manusia yang lebih baik. Ustad Milenial yang selama ini banyak membimbing generasi muda untuk hijrah menuju Islam ini justru merasakan kehampaan diri. Dirinya merasa membutuhkan seseorang pembimbing yang bisa memberikan jawaban akan apa yang dicarinya selama ini.      

Dakwah Moderasi di Ranah Digital

Proses baiat yang dilakukan oleh Ustad Hanan Attaki ini bukan sebagai upaya untuk memasukkan dirinya ke Islam ala ahlusunnah wal jamaah an sich. Tapi ini sebagai wujud penegasan diri serta komitmen untuk bersama-sama berjuang berdakwah melalui organisasi Nahdlatul Ulama. Yang mana NU selama ini menjadi salah satu organisasi yang terus konsisten dalam mengarusutamakan dakwah moderat di masyarakat.

Selain itu, NU terbukti menjadi garda terdepan dalam melawan infiltrasi ideologi ekstrem yang selama ini berupaya merongrong NKRI. Di saat menguatnya kelompok wahhabi-salafi, HTI dan FPI, NU senantiasa menjadi counter attack narasi yang mereka suarakan di ruang digital. Melalui media NU Online, Islami.co, Alif.id, Sangkhalifah.co, dan berbagai platform media keislaman ala NU lainnya, komunitas NU senantiasa menjaga negeri ini dari berbagai potensi narasi perpecahan yang bisa terjadi kapan saja.

Dengan masuknya Ustad Hanan Attaki ke komunitas Nahdlatul Ulama, menjadi berkah tersendiri bagi NU, mengingat kepopuleran tokoh-tokoh pendakwah di kalangan NU masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan founder gerakan hijrah ini. Ia selama ini menjadi role of model dalam berislam oleh generasi milenial muslim perkotaan. Dakwahnya di media digital sangat menarik dan berpengaruh bagi kalangan Muslim milenial.  

Pada gilirannya dakwah moderat harus memiliki kuantitas yang lebih banyak daripada dakwah radikal. Maka da’i milenial seperti Hanan Attaki tentu semakin dibutuhkan posisinya, khususnya di NU dan publik digital. Peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hew Wai Weng (2015), dalam tulisannya tentang dakwah digital di Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa keberhasilan dakwah da’i milenial, harus meliputi setidaknya tiga aspek: estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif (seperti forum tanya-jawab), dan strategi marketing yang mumpuni.

Menurutnya, dari tiga aspek di atas, tidak ada indikator kualitas agar dakwah bisa diterima oleh milenial. Boleh jadi secara kualitas, konten dakwah digital yang trending saat ini sangat jauh dibandingkan kelompok moderat. Tetapi secara estetika visual, strategi komunikasi dan marketing, dakwah milenial ala kelompok radikal lebih unggul sehingga jauh lebih menarik kalangan milenial. Inilah salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Ustad Hanan Attaki.

Akhirnya, kedepan dibutuhkan da’i milenial seperti Ustad Hanan Attaki muncul dari kelompok moderat untuk semakin banyak memproduksi narasi moderasi di ruang digital. Sehingga nantinya mampu menggeser jauh narasi radikal yang masih menggelayut bebas di media digital.

This post was last modified on 16 Mei 2023 2:55 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

23 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

23 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

23 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

23 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago