Keagamaan

Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak

Anak-anak Belajar dari Kehidupannya

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

(Puisi Children Learn What They Live karya Dorothy Law Nolte)

 

Popularitas puisi pendidikan anak gubahan Dorothy Law Nolte (1924-2005) di atas tak terbantahkan. Pendidik dan ahli konseling keluarga kelas dunia ini meluncurkannya pada 1954. Bagi wanita Amerika ini, kepribadian anak sangat tergantung pola pendidikan/pergaulan/keteladanan yang didapatnya. Mengukir wajah kepribadian anak, terutama di masa golden age (0-8), karenanya sangat penting dilakukan. Kearifan lokal bangsa ini menyebutkan: “Mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu”.

Benar belaka apa yang disampaikan Dorothy. Kepribadian anak, sangat tergantung “di mana”, “bagaimana” dan “siapa” yang mengelilinginya. Anak seringkali menjadi cermin pantul bagi orang tuanya. al-Waladu sirru abihi, demikian kata mutiara yang populer di pesantren. Anak itu rahasia orang tuanya. Perilaku anak, adalah pantulan perilaku orang tuanya. Kebaikannya, pantulan kebaikan orang tuanya. Keburukannya, pun pantulan keburukan orang tuanya. Kendati tidak mesti demikian, nyatanya secara umum inilah yang terjadi.

 

Radikalisme Anak dan Penyebabnya

Bagaimana dengan “wajah” anak yang radikal? Tentu saja orang tua turut berperan melukisnya, baik secara langsung maupun tidak karena kontrol yang tidak maksimal. Dalam kontek sekarang, pemahaman radikal anak banyak variannya: tindakan terorisme, tawuran,  pelecehan seksual, bullying, pembunuhan atas nama agama, pelanggaran lain terkait norma agama dan sosial/adat istiadat. Faktor pemicunya beragam dan keluarga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Karena itu, membentuk “wajah surga” keluarga sangat penting untuk menghindari potensi-potensi munculnya “wajah neraka” anak.

Ada beberapa survey yang sungguh memprihatinkan terkait perilaku radikal pelajar. Diantaranya hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pimpinan Bambang Pranowo (Guru Besar Sosiologi Islam UIN Jakarta/kini Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten ), pada Oktober 2010 s.d. Januari 2011. Survey pada siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek ini menyimpulkan 50 % siswa setuju tindakan radikal; 25 % siswa dan 21 % guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi; 84,8 % siswa dan 76,2 % guru setuju penerapan Syariat Islam di Indonesia; 52,3 % siswa setuju kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 % membenarkan serangan bom.

Dalam konteks akademik, penelitian ini sudah termakan usia memang, 5 tahun silam. Namun indikasi gerakan radikal di kalangan anak-anak remaja tampaknya terus menguat. Penelitian baru semestinya dilakukan untuk mengukurnya. Survei The Pew Research Center pada 2015 menunjukkan, di negeri Qith’ah min al-Jannah (Serpihan Surga) Indonesia ini, 4 % atau sekitar 10 juta warga Indonesia mendukung ISIS. Sebagian besar pendukung ini justru anak-anak muda. Fakta ini semestinya menjadi lampu merah (atau minimalnya lampu kuning) bagi para orang tua, untuk lebih memedulikan masa depan anak-anaknya yang masih gamang menemukan jati dirinya. Jangan sampai mereka menemukan jati diri dari orang-orang atau media-media yang tidak tepat.

Apa akar radikalisme itu? Banyak teori yang mencoba menjawabnya, tergantung jenis radikalnya. Terkait radikalisme agama misalnya, Khaled Abou al-Fadl (2005) menuturkan akarnya adalah puritanisme, yakni cara pandang keagamaan yang tertutup, absolutis serta tidak menghargai pemikiran atau tafsir keagamaan yang berbeda. Kontekstualitas acap diabaikan dan anti lokalitas lebih dikedepankan. Arief Rahman, saat menjadi pembicara diskusi “Menangkal Radikalisme di Kalangan Generasi Muda dengan Pemantapan 4 Pilar Bangsa” di gedung MPR/DPR Jakarta, Senin (1/10/2012), menyebut radikalisme di kalangan anak muda (siswa) terjadi akibat hilangnya keteladanan di sekolah, rumah, dan masyarakat sekitar. Mereka telah tercerabut dari akar-akar nilai agama, etika, moral dan kemanusiaan.

 

Tiga Model Pola Asuh

Anak ibarat “kertas kosong berwarna putih”. Tiada dosa. Tiada cela. Yang melukis, menggambar dan mewarnai pertama kali adalah orang tuanya; ayah dan bunda. Tak pelak, peran orang tua memberi warna kertas kosong itu begitu penting dan menentukan. Itu sebabnya, Rasulullah Saw mengingatkan, setiap bayi terlahir fitrah (suci/bersih/tak bercela). Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi (HR al-Bukhari, Muslim, dll).

Karena masa depan anak, baik duniawi maupun ukhrawi sangat tergantung pada situasi rumahnya, maka tugas utama orang tua adalah menyelamatkan masa depan mereka (Qs. al-Tahrim: 6). Tugas berat memang, yang karenanya tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan sengaja meninggalkan anaknya dalam kondisi keselamatan dunia-akhiratnya terancam, maka orang tua bertanggungjawab atas efek perilakunya di masyarakat. Semestinya orang tua begitu khawatir membiarkan anak-anaknya dalam keadaan lemah ekonomi (Qs. an-Nisa: 9), agama dan sebagainya.

Selain ditegaskan al-Qur’an dan Hadis, pentingnya peran keluarga membentuk karakter anak juga disampaikan banyak pemikir muslim. Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih (320 H/ 932 M-412 H/1030 M) misalnya, baginya peran lingkungan (keluarga/masyarakat) sangat menentukan model karakter anak. Hidup di lingkungan baik, anak akan baik. Tumbuh di lingkungan bermasalah, anak akan bermasalah. Karena itu, pola asuh orang tua terhadap anaknya penting diperhatikan. Dalam bahasa Sosiologi, hubungan orang tua-anak ini disebut “hubungan dalam” (kebalikan “hubungan dangkal” yang terjadi dengan pihak non-keluarga). Interaksi ini berlangsung terus-menerus tanpa batas, yang karenanya sangat membekas.

Terkait pola asuh (memperlakukan, mendidik, membimbing, mendisiplinkan serta melindungi anak) yang prinsip dasarnya adalah parental control, setidaknya ada tiga model menurut Baumrind (1975). Pertama, demokratis, yang mengedepankan kepentingan anak diiringi pengendalian. Orang tua mendasari sikapnya secara rasional, realistis terhadap dan tidak berharap berlebihan pada kemampuan anak. Mereka membebaskan anaknya memilih dan melakukan tindakan. Misalnya, mengajak wisata anak melalui musyawarah dan mendahulukan kepentingan bersama.  Pola asuh ini menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, mampu mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan kawan, mampu menghadapi stress, mempunyai minat pada hal-hal baru dan kooperatif terhadap orang lain.

Kedua, otoriter, yang cenderung menetapkan standar mutlak yang harus dituruti dan lumrahnya diiringi aneka ancaman. Mereka cenderung memaksa, memerintah dan menghukum anak di kala tidak menunaikan keinginannya. Mereka tidak kenal kompromi dan satu arah dalam berkomunikasi. Misalnya, untuk menentukan tempat wisata, anak wajib sewajib-wajibnya menuruti mereka tanpa banyak bertanya dan tentu saja berarti mengabaikan keinginannya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri dari pergaulan.

Ketiga, permisif, yang longgar dalam pengawasan. Orang tua cenderung tidak peduli bila anak dalam bahaya, sehingga seringkali pola ini (sejujurnya paling) disukai anak. Misalnya, untuk ke tempat wisata, orang tua membiarkan sebebas-bebasnya tanpa kontrol anak mau ke mana dan dengan siapa. Dampaknya, pola asuh ini membuka peluang anak melakukan tindakan “semau gue”. Juga menghasilkan karakteristik anak yang agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

Pertanyaannya: sikap radikal anak lebih potensial muncul dari pola asuh yang mana? Tentu saja akan sulit muncul dari yang pertama. Pelibatan anak dalam segala hal dengan kontrol yang rasional semestinya dikedepankan. Karena itu, pola asuh kedua dan ketigalah yang semestinya wajib diwaspadai. Kontrol yang super ketat akan membuat anak berontak. Kontrol yang super longgar akan membuat anak bebas bergaul dengan siapapun, termasuk dengan pihak-pihak yang membahayakan diri, keluarga dan masyarakat.

 

Mewujudkan Surga di Rumah

Tugas terpenting orang tua adalah membentuk karakter yang tangguh bagi anak-anaknya, sehingga berkepribadian kokoh dan tiada tergoyahkan oleh apapun. Menurut kajian Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional yang tertulis dalam Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, 2010, ada 18 nilai karakter bangsa yang penting dikedepankan, yakni: 1) Relijius; 2) Jujur; 3) Toleransi; 4) Disiplin; 5) Kerja keras; 6) Kreatif; 7)  Mandiri; 8) Demokratis; 9) Rasa Ingin Tahu; 10) Semangat kebangsaan; 11) Cinta tanah air; 12) Menghargai prestasi; 13) Bersahabat/komunikatif; 14) Cinta damai; 15) Gemar membaca; 16) Peduli lingkungan; 17) Peduli sosial; serta  18). Tanggungjawab.

Dengan aneka keterbatasannya, tentu saja orang tua tidak serta-merta mampu mewujudkan 18 karakter itu pada anak-anaknya. Kerja sama dengan berbagai pihak karenanya wajib diselenggarakan, baik dengan sekolah, masyarakat/ormas maupun pemerintah. Namun minimalnya, untuk mengekang laju arus radikalisme anak, seperti disampaikan banyak ahli, mereka perlu memperkenalkan sekaligus memahamkan ilmu pengetahuan secara baik dan benar, meminimalisir kesenjangan sosial-ekonomi, mendorong menjaga persatuan-kesatuan, mendukung aksi perdamaian, berperan aktif melaporkan dan mensosialisasikan radikalisme-terorisme, meningkatkan pemahaman urgensi hidup bersama, menyaring informasi anak  dan sebagainya.

Selain itu, di antara yang penting dilakukan oleh orang tua, adalah: Pertama, mengenalkan urgensi keragaman pada anak, baik keragaman budaya, warna kulit, suku, bahasa, agama dan sebagainya (Qs. al-Hujurat: 13). Kedua, menginjeksikan nilai-nilai penghormatan pada kemanusiaan (Qs. al-Isra: 70), karena seluruh makhluk hakikatnya keluarga Allah Swt. Rasulullah Saw mengingatkan: “al-Khalqu kulluhum ‘iyal Allah wa ahabbuhum ila Allah anfa’uhum li ‘iyalih/Seluruh makhuk adalah keluarga Allah. Dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya”. (HR. al-Baihaqi).

Ketiga, mengenalkan arti penting kemanfaatan bagi sesama. Rasulullah Saw mengingatkan: “Khair al-nas anfa’uhum li al-nas/Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. (HR. Ahmad dan al-Thabrani). Juga, “Man thala umruhu wa hasuna amaluhi/Orang terbaik adalah yang usianya panjang dan amalnya bagus” (HR. al-Tirmidzi).

Keempat, pemahaman untuk melestarikan misi kekekhalifahan di bumi  untuk mengelola bumi (Qs. al-Baqarah: 30) dalam segala lininya, sehingga orientasi anak-anak zaman ini semestinya lebih pada kehidupan yang sejati bukan pada kematian yang mubadzir. Kelima, menanamkan nilai-nilai keteladanan luhur dalam bermasyarakat, termasuk menjadikan Muhammad Saw sebagai idola (Qs. al-Ahzab: 21). Keenam, menamkan kearifan lokal/al-‘urf al-shahih sehingga tidak antipati pada budaya di sekelilingnya.

Ketujuh, pengenalan nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang. Allah Swt berfirman: “Dan, tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Qs. al-Anbiya’: 107). Dan sebagainya tentu saja.

Jika hal-hal di atas bisa ditunaikan, insya Allah upaya orang tua mewujudkan rumah sebagai surga (baiti jannati) akan nyata terlaksana, sehingga anak tidak berfikir mencari “surga lain” di luar rumah. Sejauh anak mengembara, ia akan senantiasa merindukan rumah sebagai surga tempatnya mereguk kebahagiaan. Sebab surga yang diasosiasikan anak di luar rumahnya, bisa jadi justru “neraka” yang sesungguhnya. Wa Allah a’lam.

This post was last modified on 22 Juni 2016 8:37 PM

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

5 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

5 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

5 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

5 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

22 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

22 jam ago