Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang sesungguhnya sedang terjadi di media sosial. Banjir yang mewujud pada luapan hoaks dan kebencian. Berbagai berita palsu tersebar di media sosial. Yang paling viral adalah narasi korban banjir Aceh yang mencapai 400 orang. Padahal, faktanya sampai saat ini jumlah korban mencapai 38 orang.
Belum lagi narasi kebencian yang diarahkan pada pemerintah pusat yang dianggap lambat dan tidak serius menangani banjir Sumatera dan Aceh. Pemerintah pusat dianggap pilih kasih lantaran bencana terjadi di luar Pulau Jawa. Kebencian terus diproduksi oleh akun-akun di media sosial dengan tujuan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara atau pemerintah.
Bencana alam memang rawan dijadikan alat untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Situasi bencana yang penuh kesedian dan ketidakpastian membuat psikologi massa menjadi tidak stabil.
Publik mudah digiring dengan opini yang menakut-nakuti. Masyarakat mudah dimobilisasi dengan narasi tendensius. Dalam situasi bencana psikologi masyarakat memang rentan diinfiltrasi oleh berita palsu dan kebencian.
Maka, bencana alam kerap kali berujung pada bencana sosial. Di lapangan misalnya saat ini diberitakan terjadi sejumlah aksi penjarahan toko atau minimarket. Juga perampasan truk yang membawa bahan makanan.
Kejadian itu terjadi karena massa panik dan dilingkupi oleh kekhawatiran akan keberlangsungan hidup mereka. Aksi penjarahan atau perampasan muatan truk tentu tidak terjadi atas inisiatif individu, melainkan massa dalam jumlah banyak.
Aksi penjarahan dan perampasan di jalanan adalah manifestasi dari psikologi massa yang tidak stabil di tengah bencana yang mendatangkan penderitaan dan kecemasan.
Maka, mitigasi bencana alam di zaman digital ini tidak hanya soal penangangan korban di lapangan. Melainkan juga mitigasi di dunia maya terutama di media sosial. Narasi negatif tentang bencana alam, apalagi yang mengarah pada hoaks dan kebencian harus dibendung. Sebaliknya, berita tentang bencana alam harus berorientasi pada sikap empati dan kemanusiaan, termasuk berpihak pada kepentingan para korban.
Pemberitaan tentang bencana alam idealnya tidak dibumbui oleh opini dan narasi menyesatkan, mengadu domba, dan mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Di titik ini, media massa berperan penting menjernihkan kekeruhan informasi dengan menyuguhkan berita yang faktual dan empatik.
Di saat yang sama, para tokoh publik dan influencer idealnya juga tidak menyebar narasi hoaks dan kejadian di media sosial. Sebaliknya, mereka harus mengabarkan informasi yang memberikan harapan dan mendukung bagi terciptanya solidaritas sosial warga.
Jangan sampai, bencana alam berujung pada gejolak sosial politik hanya karena ulah segelintir kalangan yang mempolitisasi dan meradikalisasi peristiwa banjir. Bangsa ini bukan pertama kalinya menghadapai bencana alam.
Dan, selama itu pula kita selalu berhasil melewati fase ujian. Memang tantangan bencana alam di zaman digital semakin kompleks. Bencana di dunia nyata selalu diikuti dengan gejolak di dunia maya.
Mengutip analisis drone emprit, aplikasi pemantau percakapan digital di media online maupun media sosial, menunjukkan bahwa perbincangan tentang bencana banjir di Sumatera dan Aceh masih didominasi narasi negatif. Ismail Fahmi, peneliti Drone Emprit, dalam rilisnya di akun media sosialnyan menjelaskan bahwa perbincangan netizen di medsos terkait banjir di Sumatera dan Aceh cenderung negatif.
Sentimen publik terhadap pemerintah diwarnai oleh ketidakpercayaan. Negara dianggap lamban menangani bencana. Narasi itu diamplifikasi oleh akun-akun tertentu dan disebarluaskan secara masif oleh netizen.
Fenomena ini bisa menjadi celah bagi kelompok radikal untuk mendelegitimasi negera dan pemerintahan yang sah. Ada beragam kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kelompok radikal untuk mengeksploitasi momen bencana. Pertama, narasi yang menggiring persepsi publik bahwa bencana adalah azab Allah karena muslim Indonesia tidak berislam secara kaffah.
Islam kaffah yang dimaksud kaum radikal tentu adalah penerapan sistem khilafah dan syariah secara menyeluruh dalam semua aspek kehidupan bernegara. Kedua, narasi yang menggiring persepsi publik bahwa pemerintahan yang menganut sistem demokrasi adalah penyebab utama terjadinya bencana. Demokrasi dianggap sebagai penyebab kerusakan lingkungan dan alam.
Ketiga, narasi yang menggiring persepsi publik bahwa negara tidak hadir atau terkesan lamban menangani dampak bencana. Narasi ini bertujuan mendelegitimasi negara dan pemerintah. Jika dibiarkan, narasi ini akan melemahkan kepercayaan rakyat pada pemimpinnya.
Di tengah kondisi darurat akibat bencana, yang dibutuhkan adalah solidaritas kemanusiaan. Kehendak untuk mengambinghitamkan pihak tertentu idealnya ditahan. Fokus utama saat ini adalah evakuasi korban, dan rekonstruksi serta rehabilitasi. Hoaks dan kebencian hanya akan memperkeruh suasana dan membuat penanganan bencana terhambat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…
Banjir di Sumatera dan Aceh adalah bukti bagaimana pendekatan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan yang…
Di tengah serangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul satu…
Pernahkah Anda merenung sejenak di tengah keheningan malam? Ada sebuah ironi besar yang luput dari…
Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…
Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…