Narasi

Beda Pilihan, Tetap Toleran; Bagaimana Mewujudkan Pemilu Tanpa Segregasi dan Polarisasi?

Pemilu dan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari lagi. Masa kampanye pun tampaknya tengah menemui titik didihnya. Hal ini bisa dilihat dari sengitnya perdebatan para elite politik dan masyarakat di ruang publik digital kita. Tidak jarang, perdebatan yang dilatari oleh dukungan atau afiliasi politik ke calon tertentu itu memantik saling serang opini berbalut kebencian dan permusuhan.

Sebenernya, harus diakui bahwa Pilpres tahun 2024 ini cenderung lebih adem dan kondusif ketimbang Pilpres tahun 2014 dan 2019 lalu. Asumsi itu bisa dilihat dari sejumlah indikator.

Antara lain, pertama jumlah sebaran hoaks dan ujaran kebencian yang harus diakui telah menurun drastis ketimbang pada Pilpres 2014 dan 2019.

Kedua, tidak ada lagi model komunikasi politik yang bertendensi menghina seperti istilah cebong dan kampret yang populer pada Pilpres 2014 dan 2019.

Ketiga, minimnya narasi politisi identitas dan politisasi agama dalam kampanye Pilpres. Masing-masing kandidat tampaknya punya strategi kampanye yang efektif tanpa harus menjadikan isu sentiman identitas sebagai komoditasnya.

Potensi Ancaman Pemilu 2024

Meski demikian, bukan berarti Pemilu dan Pilpres kali ini steril dari risiko. Sejak awal, ada anasir yang menginginkan pesta demokrasi ini gagal. Meraka berencana melancarkan aksi teror pada momen Pemilu dan Pilpres untuk menimbulkan kekacauan sipil. Beruntung, rencana aksi teror itu berhasil diendus dan lantas digagalkan aparat kepolisian.

Namun, upaya mereka mengacaukan Pemilu dan Pilpres nyatanya tidak berhenti. Belakangan mereka hadir dengan narasi boikot Pemilu atau seruan golput sebagai bentuk penolakan pada sistem demokrasi. Narasi itu terus bergabung di media sosial dan kebanyakan diamplifikasi oleh akun-akun yang selama ini menjadi buzzer kelompok radikal.

Uniknya, di tengah hiruk pikuk boikot Pemilu dan seruan golput itu, muncul pernyataan mengejutkan dari Abu Bakar Baasyir. Ia yang merupakan pentolan Jamaah Islamiyyah dan mantan napi terosisme itu  menyatakan bahwa demokrasi adalah mekanisme untuk memilih pemimpin yang sah dalam Islam. Ia juga membolehkan umat Islam atau jemaahnya untuk memberikan hak suara dalam Pemilu atau Pilpres. Bahkan, ia sendiri mendeklarasikan dukungannya pada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sebagai warganegara, tentu Baasyir punya hak untuk mendukung siapa pun calon presiden dan wakil presiden. Soal siapa yang dia pilih itu tentu hal prerogatif yang tidak bisa diintervensi. Namun, yang patut dipersoalkan adalah narasi dukungannya pada Paslon tertentu yang menurutnya paling memahami Islam dan paling bisa memperjuangkan umat Islam.

Pemilih Cerdas Kunci Pemilu Damai

Narasi yang demikian ini, jika tidak disikapi bijaksana tentu berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat.  Bukan tidak mungkin, narasi dukungan Baasyir ibu menjadi pintu masuk bagi bangkitnya narasi politik identitas dan politisasi agama yang marak terjadi pada dua Pilpres sebelumnya.

Di titik ini, penting kiranya kita mewujudkan Pemilu damai dan kondusif tanpa adanya segregasi apalagi polarisasi. Lantas, bagaimana caranya?

Satu hal yang krusial adalah kira wajib membangun rasionalitas pemilih yakni pemilih yang memberikan hak suaranya berdasar pada pertimbangan akal (rasio) bukan pada sentimen emosional. Memilih secara rasional artinya memberikan hak suara kita pada kandidat dengan pertimbangan visi-misi, kompetensi, integritas, dan rekam jejak di masa lalu.

Sedangkan memilih secara emosional mewujud dalam tindakan memberikan hak suara berdasar pada sentimen preferensi pribadi yang tidak rasional. Misalnya memilih karena kesamaan identitas kesukuan, etnis, atau keagamaan.

Pemilih cerdas yang rasional dan kritis adalah kunci mewujudkan pemilu damai dan steril dari segregasi dan polarisasi. Pemilih cerdas didirikan oleh dua karakter, yakni rasional dan kritis.

Rasional dalam artian memilih calon pemimpin dengan pertimbangan akal sehat. Yakni berdasar kredibilitas dan integritas paslon. Kritis dalam artian mempu mengenali propaganda politik yang menjurus pada kampanye hitam untuk keuntungan elektoral pihak tertentu.

Pemilih yang cerdas tidak akan mudah dimobilisasi suaranya dengan sentimen identitas kesukuan atau keagamaan. Pemilih cerdas juga tidak mempan diprovokasi dan dibenturkan oleh isu perbedaan politik. Pemilih cerdas akan cenderung menganggap individu atau kelompok yang berbeda pilihan politik bukan sebagai musuh yang harus dilawan.

This post was last modified on 22 Januari 2024 1:43 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago