Categories: Kebangsaan

Belajar Bela Negara Dari Anak-Anak

Minggu ini saya dikejutkan oleh e-mail-e-mail ekspresi cinta tanah air dari murid-murid level SMP yang saya ajar. Anak-anak usia 12-14 tahun itu semuanya menyatakan setuju akan program bela negara yang dicanangkan pemerintah. Walaupun populasi mereka kecil, kisaran 10 anak, tetapi mereka representasi untuk suara anak-anak. Melalui email itu mereka mengatakan setuju atas program bela negara. Fakta persetujuan mereka seakan membalik pandangan saya -sebagai orang dewasa- yang berpikir bahwa anak-anak tidak pernah berpikir soal bangsa.

Anak-anak belia tersebut menyampaikan argumennya dengan bahasa yang berbeda-beda, intinya mereka setuju bahwa seharusnya pemerintah membuat program memupuk cinta tanah air dan bela negara bagi setiap warga Indonesia. Dari beberapa email yang masuk, saya menyimpulkan dua hal utama yang membuat mereka berpikir program bela negara sebagai sebuah keharusan. Pertama adalah karena anak-anak muda saat ini tampak tidak “macho” dan cengeng, sementara yang kedua karena negara butuh peran serta anak muda dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompetitif.

Sungguh fakta yang mengejutkan bagi saya karena ternyata mereka mengakui dan prihatin atas kecengengan sebagaian kalangan mereka sendiri. Selain itu ternyata mereka juga menyadari bahwa bangsa ini memanggil mereka untuk memberikan kontribusi. Dua fakta yang sangat positif, keduanya mewakili push factor dan pull factor. Dalam e-mail singkat itu mereka mengusulkan beberapa kegiatan, yang mana dengan kegitan tersebut mereka yakin jiwa nasionalisme akan tumbuh subur pada diri anak muda. Mereka menggaris bawahi bahwa pemerintah harus mengembangkan program bela tanah air itu pada tiga ranah, yaitu; fisik, mental dan ilmu pengetahuan.

Khusus pada Ilmu pengetahuan, menurut saya seharusnya masuk dalam ranah mental, akan tetapi itulah usulan mereka dan saya hanya menceritakannya. Pada ranah fisik mereka mengusulkan adanya pelatihan militer, Paskibraka, dan kunjungan ke tempat-tempat bersejarah. Sementara pada ranah mental mereka mengusulkan agar anak-anak muda belajar lebih banyak tentang Indonesia dan menjadi duta bagi Indonesia di manapun berada, termasuk menjadi duta bagi tempat-tempat bersejarah.

Ranah terakhir yang mereka sebutkan adalah ranah edukasi, pada ranah ini para pengirim email merekomendasikan agar jiwa bela tanah air selalu ada pada jiwa pendidikan nasional. Surat-surat elektronik itu adalah rekaman diskusi di kelas pelajaran humaniora. Mereka hanya punya waktu kurang lebih 40 menit untuk menulisnya. Dengan demikian email yang saya terima adalah respon spontan dari mereka.

Pada diskusi di kelas itu saya memberikan prolog tentang wacana pemerintah melalui Kementerian Pertahanan yang akan merencanakan sebuah program yang bertajuk Bela negara. Sebelumnya saya menduga anak-anak kota yang sehari-hari akrab dengan gadget itu akan berteriak “huuuuuuuu” sambil mencibir, ternyata saya salah. Dengan bahasa yang agak berlebihan saya mengartikan pandangan anak-anak mengenai bela negara ini sebagai oase di padang tandus. Pada saat anak muda banyak yang tidak lagi percaya pada orang tua dan menganggap mereka korup serta tidak mengajarkan patriotism, dan disaat orang tua hanya menganggap anak-anak hanya pandai meminta dan tidak mandiri, ternyata ada pandangan yang sama tentang bela negara.

Gab perbedaan usia antara orang dewasa dan anak-anak (dalam kasus ini) ternyata tidak membawa perbedaan pandangan soal cinta tanah air dan bela negara. dua kutub, tua dan muda ternyata sepakat bahwa cina tanah air dan bela negara adalah ruh dari bangsa ini. Tunggu apa lagi, segera bertindak.

Selamat mencintai NKRI dan membela tanah air tercinta ini…

This post was last modified on 21 Oktober 2015 8:38 PM

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

1 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago