Narasi

Belajar dari Perang Shiffin: Bagaimana Sektarianisme Menjadi Akar Pertumpahan Darah dalam Islam!

Jika kita kuliti, paham sektarianisme dalam sejarah Islam bermula pada peristiwa yang dikenal dengan perang Shiffin itu. Perang saudara sesama umat Islam ini melibatkan dua kelompok, yakni antara kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Adapun faktor utama dari konflik ini bukan agama, tetapi gejolak kepentingan politik berbasis sektarian yang dibungkus oleh agama.

Paham sektarianisme selalu melegitimasi dalil-dalil agama untuk menghakimi kelompok/golongan di luar kelompoknya kafir, sesat dan perlu diperangi. Sebagaimana dalam sejarahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjabat sebagai Gubernur Syam itu menganggap kekhalifahan Sayyidina Ali itu buruk dan diklaim melanggar, tak sesuai, serta dianggap bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Jadi harus diperangi.

Peperangan antar kelompok Sayydina Ali dengan Muawiyah itu terjadi dan telah memakan banyak korban. Hingga, pasukan Muawiyah itu semakin melemah (hampir kalah) dan di situlah Muawiyah meminta tangan kanannya yang bernama Amr bin Al’As itu meminta perdamaian dengan mengangkat Al-Qur’an  dengan ujung tombak sebagai simbol perundingan damai. Sehingga, pasukan dari kelompok Sayyidina Ali dari golongan Qurra’ (Ahlul Qur’an) itu meminta agar Sayyidina Ali menerima permintaan damai (Arbitrase)  itu.

Mengapa kita Harus Meninggalkan Paham Sektarianisme?

Gejala sektarianisme itu menjadi akar dari pertumpahan darah dan penyebab kehancuran dalam Islam yang harus kita tinggalkan. Sebab, paham sektarianisme membuat kita menjadi benci atas kelompok lain demi tujuan politik. Sektarianisme tak lebih dari sebuah penyakit hati, iri dan dengki. Sebagaimana, kesadaran saling mengklaim kelompoknya yang paling baik, layak, paling benar dan paling “superior” atas kelompok lain itu seperti “virus” yang tak akan pernah hilang.

Jika kita ambil contoh, bukti bahwa penyakit sektarianisme itu selalu menjadi akar pertumpahan darah sesama umat Islam atau bahkan dengan umat agama lain. Hal ini terlihat dalam peristiwa yang dikenal dengan (Tahkim) perundingan dalam perang Shiffin itu. Bagaimana, utusan dari kelompok Muawiyah justru melanggar kesepakatan yang seharusnya melengserkan (Sayyidina Ali dan Muawiyah). Amr Ibn Al-‘As mengumumkan kepada masyarakat, bahwa hanya menjatuhkan Sayyidina Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah. Keputusan sepihak ini dianggap sebagai kesepakatan dari hasil perundingan yang telah disetujui bersama.

Dari awalnya sebagai Gubernur, lalu memberontak, hingga Muawiyah naik sebagai Khalifah. Begitu-pun dari pihak Sayyidina Ali, menolak turun dari jabatannya sebagai khalifah dan terus berupaya memperjuangkannya. Klaim-klaim primordial sektarianisme, bahwa kelompoknya merasa paling layak menjadi pemimpin dan berkuasa terus melahirkan perpecahan dan bahkan pertumpahan darah antar umat Islam itu sendiri.

Peristiwa perang saudara antar kelompok Muawiayh dan Sayyidina Ali menjadi cikal-bakal lahirnya sekte-sekte dalam Islam. Terkadang, mereka-mereka ini kerap “cenderung” dengan kesadaran “sektarian” yang destruktif atas kelompok lain dan terus diwarisi sampai detik ini. Yakni lahirnya kelompok Murjiah, yakni kelompok/sekte pendukung Mu’awiyah. Lahirnya Khawarij, kelompok yang menyatakan keluar dari kelompok Ali karena tidak setuju dengan keputusan memilih Arbitrase saat perang dengan Muawiyah. Juga kelompok Syi’ah, yang berada pada pihak Sayyidina Ali.

Dalam kehidupan kita saat ini, yang keliru bukan karena kita berada dalam kelompok yang berbeda-beda. Tetapi, kekeliruan terbesar ketika kita menyikapi kelompok lain secara destruktif dan bersifat superior atas kelompok lain. Sebab, paham sektarianisme adalah kesadaran yang akut yang dapat membutakan hati nurani dan kesadaran kita sebagai sesama manusia. Tak peduli itu teman, saudara atau bahkan masih dalam taraf nasab sekalipun. Paham sektarianisme membuat kita menjadi bebal, menghalalkan segala cara, bahwa kelompoknya dianggap paling baik, paling benar dan paling berhak berkuasa.

Islam tak pernah memerintahkan untuk berperang saling menjatuhkan kelompok lain. Tetapi Islam memerintahkan untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan satu-sama lain, seperti dalam konteks kepentingan beragama-bernegara (Qs. Al-Baqarah:148). Oleh sebab itu, kita harus belajar dari kisah perang Shiffin itu. Bagaimana kesadaran sektarianisme menjadi akar dari pertumpahan darah. Nilai-nilai kemanusiaan terbengkalai demi hasrat/gejolak kepentingan politik-kekuasaan berbasis primordial. Perang dan kecamuk konflik menjadi satu kendala penting dalam sepanjang sejarah, bagaimana peradaban bangsa dan agama mengalami kemunduran yang signifikan. Maka berpikirlah tentang itu.

Saiful Bahri

Recent Posts

Kebhinekaan, Kejawen, dan Konsep “Kawula-Allah”

Terdapat sebuah kisah tentang seorang muslim yang justru seperti menemukan hakikat Islam dengan jalur kebudayaan…

9 jam ago

Peran Sentral Ulama dan Umara dalam Memfilter Paham Radikal di Indonesia

Dalam membicarakan peran ulama dan umara sebenarnya keduanya memiliki peran yang hampir sama dan sangat…

9 jam ago

Timbang-timbang Urgensi Pemulangan Hambali

Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mewacanakan pemulangan…

9 jam ago

Tokoh Agama Sebagai Cultural Broker; Menegosiasikan Identitas Keislaman dan Keindonesiaan

Antropolog Clifford Geertz menyebut bahwa ulama di Indonesia memiliki peran sebagai cultural broker. Istilah ini…

1 hari ago

Meluruskan Pemahaman Qs. Al-Kafirun:6 dalam Mereduksi Paham Sektarianisme

Sektarianisme itu tak pernah berakar pada kebenaran agama. Banyak umat Islam yang masih terjebak ke…

1 hari ago

Arogansi Sektarian dan Peluang Disintegrasi Umat di Indonesia

Sejumlah konflik yang terjadi di Timur Tengah beberapa tahun belakangan ini sepertinya kian  menegaskan  bahwa…

1 hari ago