Keagamaan

Belajar Jihad yang Sejati dari Para Santri

Makna jihad dalam Islam selama ini seringkali disalahpahami dan dicederai oleh tindakan kontroversial yang mengatasnamakan agama. Jihad, sebagai salah satu konsep sentral dalam ajaran Islam, telah bermetamorfosis menjadi lambang konflik dan kekerasan. Namun, di sisi lain, peringatan Hari Santri adalah momen yang sangat berharga untuk merenungkan dan meresapi kembali salah satu makna sejati jihad, yang justru merupakan bukti perlawanan terhadap kekerasan dan tindakan radikal.

Jihad, dalam konteks sejati, tidak sekadar perang (qital) melawan musuh. Jihad mengandung makna yang lebih mendalam, sebuah perjuangan, sebuah usaha sungguh-sungguh dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Al-Quran, kitab suci umat Islam, menjelaskan jihad dalam Surah Al-Hajj (22:78) dengan kata-kata yang sangat mencerminkan esensi sejati jihad:

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah, dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Iaitu kamu harus mengikuti) agama bapa kamu Ibrahim. (Allah telah menamakan kamu sekali-kali) orang-orang Islam sebelum dan dalam (Al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atasmu, dan kamu sekali-kali menjadi saksi atas manusia. Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpegang teguhlah kamu kepada Allah. Dialah pelindungmu. Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Ayat ini dengan jelas menggarisbawahi bahwa jihad yang sejati adalah perjuangan untuk mempertahankan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Dalam arti ini, jihad adalah semesta perjuangan spiritual, moral, dan sosial yang mencakup kesadaran, pendidikan, dan amal.

Pentingnya memahami makna jihad yang sejati menjadi semakin nyata dalam konteks peringatan resolusi jihad yang diumumkan pada tahun 1945, ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Resolusi ini memperingati sejarah dan momentum bagaimana penerapan salah satu bentuk jihad dilakukan dengan tepat. Perang terjadi ketika umat dan kawasan tersebut terancam oleh serangan yang dapat merusak keamanan.

Resolusi jihad tahun 1945 menggarisbawahi bahwa implementasi jihad dalam arti perang adalah untuk mempertahankan wilayah Indonesia yang saat itu terjajah. Ini mencerminkan jihad perang yang benar, yaitu perjuangan fisik yang dilakukan dalam rangka melindungi diri, agama, harta, dan negara.

Namun, seiring berjalannya waktu dan kondisi berubah, penting untuk mengangkat kembali resolusi jihad ini dalam konteks yang lebih luas. Jihad yang lebih sejati bukan lagi hanya perang fisik, tetapi perang moral, spiritual, dan intelektual. Indonesia, yang terdiri dari beragam etnis, agama, dan keyakinan, harus dijaga sebagai wilayah yang aman dan damai bagi semua warganya dengan jihad yang memiliki makna yang lebih luas. Implementasi jihad dalam arti ini adalah untuk melindungi umat Islam dan umat lain yang berada dalam wilayah ini.

Pendekatan Rasulullah dalam melindungi Madinah adalah contoh nyata bagaimana perang yang benar, jihad, harus dilakukan. Madinah saat itu adalah tempat tinggal bagi berbagai kelompok, termasuk Muslim, Yahudi, dan Nasrani. Rasulullah memastikan keamanan dan perlindungan untuk semua warga Madinah, tanpa memandang agama mereka. Ini adalah perjuangan yang lebih luas, perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, bukan perjuangan untuk menciptakan kerusakan dan kekacauan.

Sayangnya, beberapa kelompok telah menyimpangkan makna jihad dengan mengklaim serangan kekerasan, serangan bom bunuh diri, dan pembangkangan terhadap pemerintah sebagai bentuk jihad. Ini adalah pemahaman yang keliru dan berbahaya tentang jihad. Jihad yang sejati adalah perjuangan yang bermakna dan dilakukan dengan cara yang sah dan tertib. Jihad adalah upaya untuk memperjuangkan kebaikan, keadilan, dan perdamaian, bukan untuk menciptakan kerusakan dan kekacauan.

Dalam era yang penuh tantangan ini, di mana terorisme dan radikalisme masih merupakan ancaman nyata, penting untuk memahami dan mempraktikkan jihad yang sejati. Hari Santri adalah waktu yang tepat untuk merenungkan kembali makna jihad dan bagaimana kita, sebagai umat Islam, dapat menjalankannya dengan benar. Jihad sejati adalah jihad untuk kebaikan, keadilan, dan perdamaian, dan kita semua memiliki peran dalam menjaga makna jihad ini tetap hidup dalam ajaran Islam yang benar. Semoga hari Santri menjadi momentum untuk merayakan jihad sejati dan menghidupkannya dalam tindakan kita sehari-hari.

This post was last modified on 27 Oktober 2023 3:19 PM

Rufi Taurisia

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago