Narasi

Benarkah Islamisme Sumbu Untuk Terorisme?

Merebaknya aksi terorisme kerap dibenturkan dengan ajaran dan orang-orang yang mengaku Islam. Kebanyakan mengira bahwa Islam adalah sumber dari terorisme, terutama terorisme yang terjadi belakangan ini. Meski hal ini tentu tidak mengenakkan, namun di lapangan memang ada banyak orang yang mengira bahwa terorisme benar-benar bagian dari Islam, termasuk dari orang Islam sendiri yang mengakui hal itu. Yakni orang-orang yang mengira bahwa kekerasan dapat digunakan untuk menyenangkan tuhan, dan bahwa membunuhi orang-orang kafir merupakan perintah suci agama yang harus terus dilakukan di sepanjang masa.

Badrus Samsul Fata bahkan membeberkan fakta yang lebih tidak mengenakkan lagi, melalui tulisannya “Arah Baru pesantren di Indonesia” (2014), ia menulis bahwa tidak sedikit dari pelaku teror yang ada di Indonesia adalah orang-orang yang berasal dari kalangan pesantren. Baik pesantren yang terkait langsung dengan Jemaah Islamiyah (JI) seperti Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Al-Muttaqien dan Darusy Syahadah di Jawa Tengah, maupun pesantren yang tidak terkait dengan Jamaah Islamiyah (JI), seperti Pondok Pesantren Al-Manar (pesantrennya Abdullah Sunata) dan Pondok Pesantren Al Hikmah, yang salah satu pengajarnya adalah Aman Abdurrahman, pemimpinan Jamaah Tauhid wal Jihad.

Fakta-fakta ini semakin mengeraskan anggapan bahwa Islam –suka atau tidak— memiliki kaitan dengan terorisme dan berbagai ajaran-ajaran kekerasan lainnya. Terlebih dengan dilemparkannya prediksi clash of civilization ala Samuel Huntington yang menempatkan Islam sebagai entitas tersendiri yang akan tumbuh menjadi musuh Barat, pandangan tentang Islam sebagai agama yang permisif (jika malah tidak suportif) terhadap kekerasan semakin sulit dielakkan.

Meski begitu, mengira bahwa Islam mendukung kekerasan hanya karena ‘trend kekinian’ yang menunjukkan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan ‘kebetulan’ beragam Islam jelas tidak bisa diterima oleh akal sehat. Dalam konteks ini, Islam –sebagaimana diminta oleh Bassam Tibi—harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Setidaknya, Islam harus dilihat dari dua sisi; Islam sebagai keyakinan (agama) dan Islam sebagai ideologi politik (Islamisme), (Bassam Tibi, 1998: 197-201).

Baginya, Islam yang digunakan sebagai pembenaran untuk kepentingan politik (islamisme) justru bertentangan dengan nilai-nilai utama yang ada dalam agama Islam itu sendiri. Karenanya, Islamisme bukan saja tidak sesuai dengan Islam, tetapi bahkan bertentangan dengan seluruh sendi-sendi utama agama ini yang mementingkan kebaikan dan perbaikan.

Sebagai ideologi politik, alih-alih digunakan sebagai pedoman dan tuntunan untuk memperbaiki diri, Islam justru dikerdilkan hanya sebagai identitas pembeda yang difungsikan untuk membedakan diri; mana yang (dianggap) Islam dan mana yang bukan. Di lapangan, baju-baju ini terejawantahkan dalam bentuk kelompok, perkumpulan, atau pun gerakan-gerakan Islamis yang tentu saja, merasa paling Islam.

Meminjam istilah alm. Abdurrahman Wahid, Islam adalah “Hutan Belantara”; dari jauh tampak seragam dan satu warna (hijau semua), namun jika dilihat lebih dekat, ternyata hutan belantara ini memiliki banyak pohon yang berbeda-beda. Laiknya hutan belantara, Islam tidak dapat dilihat hanya berdasarkan satu jenis pohon saja. Membatasi pandangan terhadap Islam hanya berdasarkan kelakuan sekelompok penggila kekerasan sama halnya dengan membenturkan mata hanya pada satu tumbuhan untuk menilai hutan belantara secara keseluruhan.

Kembali ke pertanyaan awal, benarkah Islamisme sumbu untuk terorisme? Bisa iya, bisa pula tidak. Iya, karena setiap agama memiliki pengalaman kekerasan. Seperti ditulis secara apik oleh Karen Armstrong dalam Field of Blood: Religion and the History of Violence, (2014) semua agama pernah melakukan kekerasan, meski ia juga memastikan bahwa tidak ada satupun dari kekerasan itu yang memiliki keterkaitan langsung dengan tokoh sentral dalam agama tersebut. Terorisme dalam Islam misalnya, disebutnya tidak terkait sama sekali dengan Nabi Muhammad.

Baginya, terorisme yang mencuat dalam tubuh umat Islam tidak terlepas dari tiga hal; Barat, konflik Timur Tengah dan nalar agama. Barat disebutnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pecahnya konflik di Timur Tengah. Mereka (Barat) memaksakan sistem demokrasi yang selalu dibarengi dengan penindasan kolonial ke masyarakat Timur Tengah. Masyarakat yang menderita akibat penjajahan akhirnya menggunakan nalar agama untuk menemukan pembenaran atas berbagai kekerasan yang mereka lakukan, meski pembenaran untuk kekerasan tersebut tidak pernah menemukan sandaran kuatnya dalam agama.

Jawaban untuk pertanyaan di atas bisa juga tidak, simply karena terorisme tidak punya agama. Tidak ada satupun nilai dasar yang dilakukan dengan baik dan benar oleh teroris. Agama memerintahkan untuk bersyukur dan berjuang hidup, teroris malah ‘berjuang’ untuk mati. Agama meminta agar manusia membuat dan mencintai keindahan, teroris justru membuat kerusakan. Di tangannya, agama hanya digunakan sebagai alat dagang.

Akhirnya, tanpa menggunakan embel-embel agama sekalipun, kekerasan sudah barang tentu berlawanan dengan akal sehat. Karenanya, segala hal yang mengarah pada kekerasan harus ditinggalkan, meski itu disebut-sebut sebagai perintah dari tuhan.

Sumber Bacaan:

Abdurrahman Wahid, 2000, “Round Table: Dialogue Among Civilizations”, http://www.unesco.org/dialogue/en/wahid.htm

Badrus Samsul Fata, 2014, “Arah Baru Pesantren di Indonesia: Fundamentalisme, Modernisme dan Moderatisme,” dalam. Jurnal Esensia, Vol 15, No 1.

Bassam Tibi, 1998, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, (Berkeley: University of California Press)

Karen Armstrong, 2014, Fields of Blood: Religion and the History of Violence. (London: The Bodley Head).

 

This post was last modified on 8 Februari 2017 12:49 PM

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

10 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

10 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

10 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago