Radikalisme dan terorisme adalah musuh bersama dunia dan bangsa Indonesia. Ia tidak mengenal agama, suku, ras, dan lainnya. Hampir semua oknum pelakunya pernah dan berpotensi berasal dari beragam identitas tersebut. Terorisme bahkan semakin meluas cakupan modus operandinya.
Heterogenitas di atas memberikan konsekuensi logis bahwa upaya pemberantasan terorisme membutuhkan sinergi semua aspek dan pihak. Kerjasama lintas negara dan multi sektor dibutuhkan guna pencegahan dan pemberantannya.
Riset Kementerian Kemananan Dalam Negeri Amerika Serikat dan pusat teknologi Universitas Maryland menyebutkan bahwa sekitar 60 persen serangan teror selama 10 tahun terakhir, terjadi di negara dan wilayah-wilayah berpopulasi mayoritas Muslim dan nyaris lebih dari tiga perempat korbannya adalah warga Muslim.
Serangan teror terjadi di 92 negara, dimana lebih dari 55 persen kasusnya terjadi di Irak, Afghanistan, Pakistan, India dan Nigeria. Juga disebutkan bahwa lebih dari 74 persen seluruh angka kematian itu adalah akibat serangan teror yang terjadi di lima negara Irak, Afghanistan, Nigeria, Suriah dan Pakistan. Pada tahun-tahun tersebut jumlah korban serangan teror di Irak mencapai 6.932 orang, 5.292 orang di Afghanistan, 4.886 warga Nigeria 2.748 orang di Suriah dan 1.081 warga di Pakistan.
Rapat Internasional Penanggulangan Terorisme (IMCT) yang dilaksanakan di Bali pada 2016 menghasilkan temuan bahwa terdapat tren ancaman teroris yang baru muncul, yakni aktivitas teroris lintas batas dan foreign terrorist fighter.
Pemerintah telah komitmen menanggulangi dengan bijak melalui pendekatan soft power dan hard power. Pendekatan hard melalui Polri dengan melakukan penegakan hukum secara transparan. Upaya ini didukung informasi dari pihak intelijen dan TNI. Pendekatan soft adalah berupa program deradikalisasi, yang merupakan kerja sama pemerintah RI dengan berbagai lembaga keagamaan.
Seluruh komponen penting memahami terlebih dahulu hal mendasar terkait terorisme. Hal ini untuk cepat mengerti indikasi dan fenomena di lingkungannya. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7. Pertama, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Kedua, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Jika mengendus suatu indikasi perbuatan seperti di atas, maka siapapun penting memberikan informasi kepada pihak terkait. Selain itu pihak intelegen mestinya lebih peka dan memprioritaskan pencegahan terjadinya tindak terorisme.
Pencegahan mesti diutamakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, maupun informal. Pendekatan keagamaan penting dilakukan agar tidak mudah meyakini ajakan yang tidak berdasarkan agama. Penguatan aspek spiritual dan teologis menjadi benteng fundamental bagi masuknya paham radikalisme dan terorisme.
Roadmap penanggulangan terorisme mesti disiapkan secara sistematis. Profesionalisme dan proporsionalitas mesti dikedepankan. Stigma pelaku dan potensi terorisme hanya tertuju pada agama tertentu mesti diminimalisasi.
Kerjasama penangunggalan secara internasional mesti dikuatkan. Namun, mesti atas dasar independensi masing-masing negara. Celah adanya intervensi dan keluarnya data-data rahasia negara ke luar negeri mesti ditutup rapat.
Institusi pemerintah telah memadai dalam upaya penangunggalan terorisme. Ada Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Teorisme (BNPT). Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Sedangkan BNPT merupakan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penanggulangan terorisme.
Sinergi semua pihak di atas mesti dalam kerangka sama yaitu penanggulangan terorisme secara profesional dan proporsional. Indonesia mesti terdepan dan menjadi teladan dalam upaya ini.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…