Narasi

Bencana Bukan Hukuman

Rasa duka yang medalam kepada korban dan para penyintas bencana gempa 21 November di Cianjur sangat pantas untuk diutamakan hadir. Sebuah bencana alam kembali menghampiri negeri ini di tengah-tengah banyaknya persoalan sosial dan ekonomi yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama semua pihak. Dalam situasi yang sebenarnya tengah diliputi keprihatinan dan kedukaan ini, masih juga terdapat pihak yang malah seperti ingin menunggangi situasi yang ada. Hal yang paling santer hadir dan menyakitkan hati adalah argumen mengenai bencana yang terjadi merupakan sebentuk hukuman untuk negeri ini. Padahal mungkin argumen tersebut sengaja dihadirkan dengan tujuan untuk mempolitisasi keadaan agar dapat dikapitalisasi pihak yang memiliki kepentingan pragmatis. Untuk itu, rasanya penting untuk sejenak melihat kembali bagaimana ruang-ruang agama sejatinya mampu menghadirkan posisi tawar untuk tidak melulu terjebak pada argumen bahwa bencana yang hadir merupakan sebentuk hukuman dari Sang Maha Kuasa kepada manusia.

Sebelum itu, menarik untuk sedikit mengamati adakah kemungkinan melihat bencana sebagai suatu hukuman? Untuk menjawab itu, setidaknya temuan Smith dan Petley dapat menjadi rujukan dalam memahami. Kedua akademisi tersebut dalam Environmental Hazards; Assessing Risk and Reducing Disaster cetakan yang ke- 5, melihat bencana melalui tiga kategori penyebab. Yang pertama bencana alam, yang kedua adalah akibat teknologi dan yang terakhir adalah akibat manusia sendiri (Smith dan Petley, 2009). Untuk yang pertama contohnya dapat dilihat dalam bentuk letusan gunung berapi, banjir atau pun gempa bumi. Untuk kategori yang kedua hadir dalam wujud kecelakaan berkendara, kecelakaan kerja dan lain sebagainya. Sedangkan bencana akibat dari ulah manusia yang mungkin bisa didefinisikan sebagai hukuman malah justru tidak mencontohkan jenis bencana yang selama ini ada. Dalam kategori bencana yang ketiga memperlihatkan bagaimana kerakusan manusia berdampak pada hidupnya di kemudian hari. Perwujudannya hadir dalam perubahan iklim, bencana akibat deforestasi, dan lain sebagainya.

Jelas, bencana alam yang selama ini terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang lahir akibat dari kesalahan manusia. Kontur topografis Indonesia yang berada di wilayah ring of fire-lah yang menjadikan hal tersebut hadir. Namun konyolnya, kedangkalan pemaknaan yang hadir lantaran absen-nya rasionalisme dalam benak manusia menjadikan opini yang sesungguhnya berjarak antara fakta dan argumennya cenderung lebih disenangi. Terlebih lagi bila hal tersebut coba untuk dikaitkan dengan agama. Bila sejumlah argumen yang menyatakan bahwa selama ini bencana yang terjadi di Indonesia adalah sebuah hukuman dari sang pencipta kepada bangsa ini coba untuk diperiksa, maka jelas tampak adanya proses lompatan pemaknaan. Yang hadir sesungguhnya adalah ketiadaan hubungan dalam gagasan tersebut. Namun sialnya, gagasan sesat fikir yang merendahkan kemampuan berfikir manusia tersebut-lah yang lebih diminati.  

Agama dalam Kebencanaan

Entah mengapa narasi yang lebih banyak mengemuka tatkala mengulas kebencanaan dari sisi agama maka yang dominan hadir belakangan ini salah satunya adalah bagaimana hal terseut dikaitkan dengan hukuman. Seolah hal tersebut lebih penting ketimbang sejumlah diskursus fungsi agama lainnya yang sebenarnya jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seperti telah banyak dipahami, agama memiliki sejumlah fungsi yang beberapa diantaranya memberikan sumbangsih banyak hal dalam kehidupan manusia. Misalnya Clarke, Fanany dan Kenny menyatakan bahwa agama dapat berfungsi membantu perbaikan psikososial individu maupun komunitas pasca bencana(Clarke dkk, 2010). Wujud nyatanya dapat berupa penurunan kecemasan dan membangun harapan. Ada pula Chan, Rhodez dan Perez menyatakan bahwa agama dapat meningkatkan keseluruhan kebahagiaan, ketangguhan dan berkontribusi pada pemulihan (Chan, Rhodes dan Perez, 2012). Ketangguhan yang dimaksud pada bagian ini berorientasi tetap pada sisi psikososial individu, di mana pemulihan kesehatan mental penyintas adalah bagian dari prioritas sembari pemulihan fisik hadir lebih awal.

Fungsi agama lainnya yang kerap (sengaja) dilewatkan adalah sebagai fungsi sosial di mana agama dapat menjadi pondasi berbagi kepada sesama. Bagi Adeney-Risakota, agama dalam kebencanaan dapat menghadirkan insentif guna menghubungkan mereka (penyintas) dengan yang lain dalam hal penyediaan bantuan kepada penyintas tersebut (Adeney-Risakota, 2009). Chan, Rhodez dan Perez bahkan secara eksplistit menerangkan bahwa agama menghadirkan upaya berupa dukungan jaringan sosial serta penyediaan kesempatan kepada pihak yang ingin terlibat dalam kesukarelawanan (Chan, Rhodes dan Perez, 2012)

Lalu yang tidak kalah penting adalah bagaimana relasi agama dengan lingkungan. Untuk yang aspek yang ketiga ini, bahkan pembahasannya bukan lagi berhenti pada bagaimana agama menjadi pondasi berelasi dengan penciptaan lingkungan yang baik. Sejumlah diskursus bahkan telah jauh berkembang hingga membahas bagaimana sejumlah endemi, pandemi dan penyakit tertentu mampu dilihat dari aspek agama dalam realitas sosialnya.

Agama berusaha untuk tidak hanya mampu membaca tanda-tanda zaman, melainkan juga hadir dan terlibat dalam setiap aspek kehidupan bahkan tragedi manusia. Sehingga bila opini mengenai agama dalam konteks kebencanaan hanya berhenti pada narasi hukuman kepada manusia, maka patut dipertanyakan apa sebenarnya motif dari narasi tersebut.

This post was last modified on 1 Desember 2022 2:43 PM

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

10 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

10 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

11 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

11 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago