Narasi

Berantas Radikalisme dengan Merevitalisasi Islam Moderat

Penikaman Menko-Polhukam Wiranto oleh dua pelaku yang teridentifikasi sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) membuktikan sel teroris masih ada. Mereka tidak mati dan hanya berkamuflase menjadi sel tidur yang sewaktu-waktu bangun.

Pasca bom bunuh diri di sejumlah gereja di Surabaya tahun lalu, Detasemen Khusus Anti-Teror 88 giat melakukan penyisiran terhadap jaringan teroris. Namun, agaknya aparat keamanan dan intelejen kurang mengantisipasi aksi teror yang menyasar pejabat negara tersebut.

Merespons kejadian ini, presiden Joko Widodo pun memerintahkan aparat keamanan bertindak tegas memburu para teroris. Pernyataan presiden tentu wajib ditindaklanjuti dengan langkah strategis. Publik menanti upaya serius pemerintah memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya.

Selama ini, respons pemerintah terhadap aksi teror cenderung masih bersifat struktural-normatif. Setiap kali aksi teror terjadi, aparat keamanan dengan sigap membongkar jaringan pelaku, menangkap dan memenjarakannya. Cara demikian tentu tidak salah. Sebagai reaksi jangka pendek, penegakan hukum merupakan tindakan tepat.

Namun, harus diakui bahwa respon yang bersifat struktural-normatif ini tidak mampu menganulir ideologi radikalisme-ekstremisme yang menjadi embrio lahirnya terorisme.  Aksi terorisme berlatar agama yang terjadi di Indonesia sejak Bom Bali I pada tahun 2002 bisa dibilang merupakan puncak fenomena keberagamaan konservatif-radikal yang menggejala sejak awal era 1990-an.

Keberagamaan yang bercorak tertutup, intoleran dan anti-pada perbedaan telah menyemai bibit-bibit kebencian pada kelompok lain yang diidentifikasi sebagai musuh. Awalnya, pihak yang diidentifikasi sebagai musuh itu ialah Amerika Serikat dan sekutunya, yang dianggap sebagai musuh besar dunia Islam. Maka, di periode awal kemunculannya, aksi teror nyaris selalu menyasar obyek yang berafiliasi dengan AS dan sekutunya.

Baca juga : Deradikalisasi: Memahami Relasi Thoughtlessness dan Kekerasan

Dalam perkembangannya, obyek sasaran terorisme bergeser ke kelompok minoritas, terutama penganut agama Kristen. Kita tentu ingat serangan bom malam natal di sejumlah gereja di beberapa kota besar di Indonesia pada akhir tahun 2000. Belakangan, serangan teroris juga menyasar pada aparat keamanan, terutama kepolisian. Bagi kelompok teroris, polisi adalah penghambat yang harus dienyahkan. Serangan sporadis namun mematikan berkali-kali terjadi pada aparat kepolisian yang tengah bertugas. Sejumlah anggota polisi pun tercatat menjadi korban kebiadaban terorisme. Kini, teroris mulai mengarahkan serangannya pada pejabat publik. Kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto ini bisa jadi merupakan semacam tradisi baru yang ingin diciptakan oleh teroris.

Struktural-Normatif

Melihat evolusi dan perkembangan jaringan teroris yang dinamis, kita perlu memikirkan ulang strategi melawan terorisme. Respons pemerintah yang cenderung struktural-normatif mau tidak mau harus kita tingkatkan ke strategi yang lebih komprehensif dan bersifat jangka panjang. Pendekatan struktural-normatif terbukti hanya mampu menyelesaikan persoalan terkait terorisme di level permukaan tanpa menyentuh aspek fundamental dan subtansial yang menjadi akar dari terorisme.

John L. Esposito dalam bukunya yang berjudul Unholy War (2001) menyebut bahwa terorisme bukanlah fenomena yang muncul dari ruang hampa dan berdiri sendiri. Terorisme adalah puncak dari akumulasi beragam persoalan mulai dari agama, sosial, politik hingga ekonomi global. Lebih lanjut, Esposito menegaskan bahwa seseorang tidak akan begitu saja menjadi teroris tanpa melalui sejumlah tahapan.

Gejala awal terorisme dapat diidentifikasi dari perilaku keberagamaan yang eksklusif. Eksklusifisme ialah pandangan atau sikap yang mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar dan meganggap kelompok lain salah atau bahkan sesat. Jika dibiarkan, pandangan eksklusifistik ini akan berlanjut ke fase selanjutnya, yakni radikal. Radikalisme cenderung meyakini bahwa dunia berada dalam kondisi serba kacau dan harus diubah dengan cara apa pun, termasuk mengeksploitasi kekerasan.

Radikalisme adalah pintu masuk menuju ekstremisme, yakni pandangan yang meyakini bahwa kekerasan adalah jalan terbaik untuk mewujudkan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Ekstremisme inilah yang menjadi sumbu peledak fenomena radikalisme yang hari ini dianggap sebagai momok bagi tata kehidupan masyarakat modern.

Dalam konteks Indonesia, corak keberagamaan yang eksklusiftik, radikalistik dan ekstremistik ini mendapat ruang geraknya ketika rezim Orde Baru berakhir. Era Reformasi yang menjamin adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi memberikan ruang gerak leluasa bagi kaum konservatif untuk menyebarkan ideologinya. Mereka tidak hanya bergerak di bawah tanah atau sembunyi-sembunyi layaknya dilakukan di era Orde Baru. Lebih dari itu, mereka secara terbuka menjajakan ideologinya melalui beragam cara dan media. Terlebih ketika media sosial menjadi kanal komunikasi utama kita hari ini. Begitu mudahnya pandangan keagamaan yang cenderung radikal dan ekstrim diakses oleh masyarakat awam.

Kembali ke “Khittah”

Pada titik inilah pentingnya kita kembali menggalakkan model dakwah keagamaan bercorak kultural-moderat. Harus diakui, corak dakwah keagamaan yang seperti itu hari ini terbilang langka, lantaran kalah pamor oleh corak dakwah yang menebar sentimen kebencian. Corak Islam moderat yang adaptif pada kultur keindonesiaan pun perlahan-lahan meredup pengaruhnya, tergantikan oleh corak keberislaman yang kaku, galak dan anti-perbedaan.

Pelan namun pasti, sebagian umat Islam Indonesia menjadi softradicalist. Karakteristik softradicalist itu tampak dalam sikap sebagian umat Islam Indonesia yang permisif pada aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Para soft-radicalist ini memang tidak melakukan aksi teror secara langsung, namun mereka memberikan pembenaran atas aksi teror bahkan mengglorifikasi pelakunya layaknya seorang pahlawan.

Corak dakwah kultural-moderat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mengalami semacam kebuntuan lantaran setidaknya dua hal. Pertama, organisasi-organisasi keislaman yang menjadi banteng keislaman kultural-moderat selama ini lebih banyak bermain di isu-isu elitis yang tidak menyentuh persoalan keagamaan di level akar rumput.

Organisasi keislaman arusutama seperti Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah cenderung bermain di isu dan wacana elitis seperti konsep hak asasi manusia, kesetaraan gender dan lain sebagainya. Isu-isu keseharian pun lantas diambil alih oleh kelompok-kelompok konservatif yang secara intens menyasar kalangan muslim urban kelas menengah yang mengalami pertumbuhan pesat dari segi jumlah dalam beberapa tahun belakangan.

Konsekuensinya, narasi keberislaman yang konservatif-radikal cenderung lebih dominan menguasai ruang publik ketimbang narasi keberagamaan yang moderat. Dalam situasi keberagamaan yang serba eksklusif dan anti pada perbedaan itulah sel terorisme berkembang pesat.

Kedua, diakui atau tidak kelompok islam kultural-moderat yang direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah kadung hanyut oleh arus politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. NU dan Muhammadiyah sudah lama dijadikan sebagai semacam kendaraan politik bagi elite yang bertarung dalam kontestasi politik praktis.

Kondisi inilah yang menjadikan kedua ormas Islam tersebut kehilangan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat sipil yang kritis dan independen. Apa yang terjadi kemudian ialah hilangnya fungsi dan peran pemberdayaan sosial dari kedua ormas tersebut. Di saat yang sama, infliltrasi gerakan Islam transnasional yang membawa ideologi khilafah kian tidak terbendung.

Inilah momentum tepat bagi ormas-ormas Islam berhaluan moderat-kultural, utamanya Muhammadiyah dan NU untuk kembali ke khittah awalnya sebagai bagian dari masyarakat sipil. Muhammadiyah dan NU harus meninggalkan arena politik praktis dan kembali menjadi eksponen penting pemberdayaan sosial. Umat Islam Indonesia membutuhkan patron keislaman yang adaptif pada modernitas, ramah pada tradisi dan budaya lokal sekaligus berkomitmen penuh pada NKRI dan Pancasila.

This post was last modified on 18 Oktober 2019 2:28 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

12 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

12 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

12 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

12 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago