Keagamaan

BEREBUT MAKNA FI SABILILLAH

(Polemik Menzakati Mujahidin dan Keluarganya, bagian 1)

Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam. Selama satu bulan penuh seluruh umat Islam berpuasa menahan hawa nafsu di siang hari, serta menahan lapar dan dahaga. Kegiatan ibadah marak di mana-mana, begitu pula kegiatan membangun solidaritas sosial.

Fenomena semisal gotong royong memberikan ta’jil dan buka bersama secara bergantian di masjid-masjid, bakti sosial, santunan kepada fakir miskin dan anak jalanan muncul di bulan suci, bulan alquran turun dan diwahyukan kepada Muhammad.

Pada bulan ini pula, seluruh umat Islam tanpa kecuali, diwajibkan untuk melaksanakan perintah berzakat. Zakat fitrah namanya. Bayangkan, sebut saja, jika kita memiliki 100 juta umat Islam di Indonesia (meskipun kenyataannya lebih) lalu mereka berzakat semua sekira 2,5 Kilogram beras (setara 25.000 jika taksiran perkilo beras, yang bagus 10.000), maka jumlah zakat fitrah umat Islam di Indonesia setara 2,5 Trilyun rupiah! Sungguh angka yang fantastis.

Zakat fitrah di atas disalurkan baik melalui amil-amil zakat tradisional, semisal kyai, ustadz di pesantren, masjid, mushalla, maupun amil-amil non tradisional, misalnya lembaga amil zakat semacam LazisNU, LazisMu dan lain-lain. Tujuan zakat ini adalah sebagai bentuk penyucian diri, membangun solidaritas sosial antar sesama umat Islam, dan sebagai rasa syukur telah melaksanakan ibadah puasa selama Ramadhan.

Adapun para mustahiq (orang yang berhak menerima) zakat ini ada 8 kelompok, sebagaimana tertera dalam firman Allah “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah (fi sabilillah) dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60)

Ada satu bagian menarik dalam mustahiq zakat ini, yakni mustahiq zakat fi sabilillah.  Ini yang menjadi inti persoalan yang paling penting untuk dikupas di tulisan ini. Beberapa tahun ini telah beredar di dunia maya mengenai penggalangan zakat untuk keluarga korban mujahidin, baik mujahidin yang telah meninggal maupun yang saat ini dipenjara.

Untuk kasus ini, lembaga-lembaga zakat mencoba untuk mengambil simpati para simpatisan zakat dengan kategori fi sabilillah bagi para mujahin yang saya sebutkan di atas. Saya mencoba membahasnya perlahan-lahan.

Pada konteks para imam mazhab seperti imam Syafi’I, Maliki, dan Abu Hanifah, mereka bertiga menyebutkan bahwa kelompok fi sabilillah ini adalah orang-orang yang ada di peperangan membela agama Allah (Islam). Secara lebih luas, pengarang Fathul Mu’in (hlm. 53) menyatakan bahwa Fi Sabilillah adalah orang yang berjihad (perang) karena Allah walaupun ia orang kaya. Orang seperti ini berhak diberi nafkah, pakaian, dan berikut keluarganya, ongkos pulang pergi, serta biaya peralatan perang.

Sementara itu pemikir kontemporer Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fiqh Zakatnya menyatakan bahwa yang termasuk kelompok fi sabilillah di antaranya adalah: membangun pusat-pusat dakwah yang menunjang program dakwah Islam, menerbitkan tulisan tentang Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya, biaya pendidikan sekolah Islam, biaya pendidikan seorang calon kader dakwah yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.

Pada titik ini kemudian makna fi sabilillah diperebutkan. Antara kelompok yang memegang pada kata berjihad seperti para imam 3 dengan pemikir kontemporer yang ada pada saat ini. Yang pertama berpegang pada makna jihad konvensional, yakni bersifat fisik diri, perang, dan mengangkat senjata, sementara yang kedua berpegang pada transformasi nilai-nilai jihad, yakni membangun pondasi agama dengan menyiapkan kader dakwah, yang tentu saja wujud konkretnya bisa beragam, bisa guru TPA, membangun fasilitas pendidikan, mengkover SPP siswa, dst.

Dapat dipahami bahwa para imam Mazhab adalah mereka yang hidup di masa-masa Abbasiyah. Sebuah masa dimana perang fisik dan penyebaran dan perluasan agama Islam ke berbagai penjuru terjadi secara massif. Sementara pada saat ini ketika perang fisik sudah tidak menjadi tren lagi, maka terjadilah peralihan makna fi sabilillah. Hal ini sama dengan transformasi makna jihad pada waktu dulu dimaknai sebagai perang fisik di medan perang menjadi ikhtiar sungguh sungguh untuk mencapai sesuatu (badlul juhdi). Sehingga makna yang muncul mengenai fi sabilillah ini adalah makna yang ditawarkan oleh Yusuf Qaradawi di atas….

Bersambung..

This post was last modified on 29 Juni 2016 3:06 PM

Saifuddin Zuhri Qudsy

Staf Pengajar Prodi Ilmu Hadis, Fak. Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago