Memasuki bulan kedua peperangan di Jalur Gaza, Israel masih terus menggempur wilayah itu melalui serangan udara dan darat. Bahkan, ketika ratusan bahkan ribuan warga sipil Palestina menjadi korban atas serangan brutal Tel Aviv di Gaza. Menurut klaim Israel, pihaknya akan terus menghantam wilayah itu dengan rudalnya, sampai milisi Hamas tidak dapat berkuasa lagi di Palestina.
Sebulan terakhir ini, Jalur Gaza mengalami hari paling mematikan dalam 15 tahun terakhir setelah serangan Hamas direspon oleh Israel dengan serangan udara yang membunuh ribuan warga Palestina. Tak hanya itu, Israel telah mengumumkan “pengepungan total” terhadap Gaza, memutus pasokan air, makanan dan listrik ketika militan Hamas mengancam akan mulai membunuh sandera sipil jika pengeboman terhadap wilayah tersebut terus berlanjut tanpa peringatan sebelumnya.
Tragedi tersebut memang hanya menampilkan Hamas berhadapan dengan Israel, karena serangan ke Israel yang tak terduga pada Sabtu (7/10/23) oleh Hamas. Namun di sisi lain, ada satu kelompok yang juga vocal melakukan perlawanan nyata terhadap agresi zionis, mereka adalah Jihad Islam Palestina atau Palestinian Islamic Jihad (PIJ). Sebagai organisasi perlawanan terhadap Israel, nama Jihad Islam Palestina tidak bisa diabaikan. Kelompok ini kerap membuat Israel ketar-ketir dengan berbagai serangannya yang tidak terduga.
Jihad Islam Palestina; Organisasi Militer Terbesar Kedua di Gaza
Jihad Islam Palestina, yang juga dikenal sebagai Harakāt al-Jihād al-Islāmī fī Filasṭīn, didirikan pada awal tahun 1980-an sebagai kelompok Islam bersenjata yang beroperasi di wilayah Gaza dan Tepi Barat. Kelompok yang dibentuk oleh dua aktivis Palestina bekas anggota Ikhwanul Muslimin, Dr. Fathi Abdul Aziz Shaqaqi dan seorang ulama Syeikh Abdul Aziz Awda, ini berambisi memperjuangkan kemerdekaan Palestina dari pendudukan Israel melalui perang suci (jihad).
Jika sayap militer Hamas adalah Brigade Izzuddin al-Qassam, maka sayap militer organisasi Jihad Islam Palestina adalah Brigade Al-Quds dengan Al-Atta sebagai komandannya. Brigade Al-Quds acap kali berada di balik serangan roket ke Israel atas perintah Al-Atta.
Di awal pembentukannya, kelompok ini mendapatkan pelatihan dari Hizbullah di Lebanon. Jihad Islam dituding berada di balik berbagai kasus pengeboman bunuh diri di Israel. Salah satunya pada 1989 di dalam bus kota Tel Aviv yang menewaskan 16 warga sipil.
Meskipun berpaham Islam Sunni, organisasi ini sempat disebut mendapatkan dukungan dari Iran yang Syiah. Jihad Islam dilaporkan mendapatkan bantuan dana, pelatihan, dan senjata dari Iran untuk melawan Israel. Namun, belakangan hubungan Jihad Islam dan Iran merenggang. Menurut harian berbahasa Arab yang berbasis di Inggris, Asharq al-Aqsat, sejak Mei 2015 Iran menghentikan pendanaan karena Jihad Islam bersikap netral soal intervensi Arab Saudi ke Yaman. Iran berharap Jihad Islam mengecam Saudi yang menyerang milisi Houthi di Yaman.
Meski demikian, penarikan bantuan finansial ini tampak tidak berpengaruh karena dalam beberapa tahun terakhir Jihad Islam berhasil mengembangkan senjata mereka sendiri hingga ke tahap yang hampir sama dengan Hamas. Di antaranya adalah roket jarak-jauh yang bisa mencapai pusat kota Tel Aviv. Hingga saat ini, Jihad Islam Palestina tidak termasuk dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) di Indonesia. Namun dalam konteks global, Jihad Islam Palestina ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Israel, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa.
Memperuncing Perpecahan di Jalur Gaza
Jihad Islam Palestina kerap bekerja sama dengan Hamas dalam menyerang Israel. Hal itu karena keduanya berangkat dari akar ideologi yang sama yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir. Namun berbeda dengan Hamas, Jihad Islam kerap tidak mematuhi kesepakatan gencatan senjata dengan Israel. Track record ini, dan keterkaitannya dengan Hamas, membuat negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, Uni Eropa, Selandia, Baru, dan Jepang, memasukannya ke dalam daftar organisasi teroris dunia.
Karakter Jihad Islam Palestina yang lebih brutal ini barangkali dipicu dendam kesumat pada 2019 lalu ketika pasukan pertahanan Israel membunuh petinggi mereka, Bahaa Abu Al-Atta dalam sebuah serangan di Gaza. Meski PIJ dan Hamas sama-sama menyimpan dendam atas pembunuhan Al-Atta, PIJ tampak tidak bisa menahan diri karena melibatkan pemimpin agung mereka.
Hal inilah yang kadang melahirkan tensi di antara kedua kelompok tersebut. Hubungan keduanya seringkali tegang, terutama ketika Hamas menekan Jihad Islam Palestina untuk menghentikan serangan atau pembalasan terhadap Israel ketika berada di bawah gencatan senajata. Jihad Islam sering bertindak secara independen dari Hamas dan berfokus terutama pada konfrontasi militer.
Mengutip Media Indonesia, hubungan ini kadang-kadang menarik Hamas ke dalam pertempuran yang diprovokasi Jihad Islam. Begitupun sebaliknya. Terkadang, Hamas juga hanya menyaksikan saat Jihad Islam Palestina beradu rudal dengan tentara Israel. Namun pada kesempatan lain, PIJ bahkan tidak terlibat dalam pertempuran antara Hamas dengan Israel. Dalam pertempuan empat hari terakhir ini misalnya, suara Jihad Islam Palestina nyaris tidak terdengar. Berita konflik Palestina dipenuhi dengan agresi Hamas dan serangan balik Israel.
Jangan-jangan, perpecahan ini bisa mempengaruhi upaya diplomasi internasioal terhadap konflik Israel-Palestina. Di Indonesia, misalnya, diplomasi untuk konflik Israel-Palestina telah menjadi bagian penting dari kebijakan luar negeri Indonesia selama beberapa dekade. Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mendukung perjuangan Palestina untuk kemerdekaan dan perdamaian dengan Israel. Namun demikian, meski juga berstatus sebagai negara anggota aktif Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia nyatanya banyak mengalami kegagalan dan tidak selalu mencapai tujuan yang diinginkan dalam memperomosikan solusi damai untuk konflik Israel-Palestina. Salah satu sebabnya adalah persoalan yang kompleks dan dinamika politik yang rumit dalam konflik tersebut terutama dalam ranah regional karena dikotomi politik Hamas dan Jihad Islam Palestina.
Perpecahan ini adalah salah satu aspek penting dalam konflik Israel-Palestina yang kompleks. Meskipun keduanya memiliki pandangan yang serupa dalam menolak legitimasi Israel, perbedaan dalam pendekatan terhadap perundingan dan dukungan regional telah menciptakan perpecahan yang terus berlanjut dalam perjuangan Palestina. Hal ini justru menjadi ujian tersendiri bagi masa depan Palestina, khususnya perjuangan di Jalur Gaza, di luar perjuangan mereka memerdekakan Palestina.
This post was last modified on 8 November 2023 1:41 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…