Kebosanan masyarakat dalam menghadapi wabah dan pandemi yang tidak kunjung selesai diterpa dengan hadirnya gelombang penyebaran virus covid-19 dengan ragam varian yang bermunculan. Kebijakan PPKM Darurat yang diambil pemerintah pun bagi segelintir orang bukan dianggap sebagai pembatasan sementara, tetapi seolah pelarangan selamanya. Khusus beribadah, misalnya, penutupan rumah ibadah dan larangan berkerumun dalam rangka ibadah masal dianggap kebijakan anti agama.
Pertanyaan lalu muncul kenapa tempat ibadah seolah disalahkan? Kenapa beribadah massal seolah menjadi penyebab virus? Kenapa umat beragama justru menjadi kambing hitam di tengah melonjaknya wabah?
Pikiran sebagian kecil masyarakat ini didengungkan dalam narasi provokasi sehingga muncullah teori konspirasi covid hingga kebijakan negara yang anti agama. Dalam konteks Islam, muncullah narasi umat beragama tidak boleh takut terhadap virus karena sesungguhnya hidup dan mati di tangan Tuhan. Kebijakan penutupan masjid dan larangan beribadah secara berkerumun hanya cara menjauhkan umat dengan rumah Tuhan.
Sesungguhnya biang Kelada pemikiran itu bermula dari pemikiran keagamaan yang dangkal. Mereka lupa bahwa Islam adalah agama yang sangat mementingkan nyawa. Bahkan dalam ibadah pun nyawa sangat diperhitungkan. Ketika umat merasa kesulitan dalam menjaga nyawanya untuk kepentingan ibadah, Islam dengan semangat menghargai nyawa mengajarkan kemudahan dalam bentuk rukhshah.
Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan. Begitu pula syariat yang diturunkan Allah sejatinya sebagai jalan agar memudahkan manusia. Tidak ada ibadah yang justru mempersulit hambanya. Jika ditemukan kesulitan dalam melaksanakan ibadah, ada jalan yang diberikan Islam untuk tetap beribadah dengan cara yang lebih mudah.
Semangat inilah sebenarnya sudah diterangkan oleh Allah dalam al-Quran : Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah/2 : 185]. Ayat yang berkaitan dengan pemberlakuan rukshah ini cukup jelas menggambarkan bagaimana Islam sejatinya mengedepankan kemudahan. Dan penting dipahami bahwa kemudahan itu adalah bagian dari syariat.
Rukhshah dalam Islam sebagai jalan kemudahan ketika mengalami kesulitan adalah syariat itu sendiri. Inilah yang kadang salah dipahami masyarakat. Seolah rukhshah adalah bukan bagian dari pemberlakuan syariat. Adanya rukhshah dalam Islam adalah bukti agama ini adalah agama yang mudah. Namun, kita sebagai umat Islam justru seringkali mencari yang susah.
Bayangkan, dalam persoalan ibadah wudhu’ jika seseorang mengalami kesulitan menemukan air atau sedang sakit yang membahayakan nyawa, ibadah pengganti adalah dengan tayamum. Dan ini sangat menarik bahwa salah satu sebab seorang bisa tayamum adalah ketika ada orang yang lebih membutuhkan untuk meminum air lebih mengutamakam meminumnya daripada berwudhu’. Bahkan, ketika hewan yang butuh sekalipun harus didahulukan!.
Inilah Islam yang sangat menghargai nyawa manusia. Islam mempermudah umatnya agar nyawa yang sangat berharga itu tetap terjaga. Islam mementingkan terpeliharanya nyawa dari pada kesempurnaan dalam beribadah jika dalam kondisi kesulitan (masyaqah), apalagi kondisi krisis (dharurat). Jika dalam kondisi darurat, Islam justru mendorong apa yang dilarang dalam kondisi normal menjadi diperbolehkan demi menyelematkan nyawa.
Itulah Islam sebagai agama yang sangat memudahkan demi terpeliharanya nyawa. Namun, terkadang umatnya yang gagal paham justru menjatuhkan diri dalam kesulitan atau lebih memilih yang susah. Dalam konteks di tengah wabah kadang umat Islam lebih memilih beribadah dengan susah meskipun itu sangat membahayakan. Cara beribadah yang seperti itu jelas bertentangan dengan semangat Islam!
Islam tidak pernah mengorbankan umatnya dalam kematian yang konyol. Islam menghargai nyawa. Sehingga dalam kondisi darurat, nyawa adalah paling penting untuk diselamatkan dengan ajaran yang memudahkan. Memaksakan beribadah dengan berkerumun di tengah wabah sejatinya ingin menjatuhkan diri dalam kebinasaan dan membinasakan orang lain. Sikap demikian bukan cerminan ketaatan dalam beragama, tetapi kebodohan dalam beragama.
Namun penting untuk ditegaskan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan umatnya untuk menyepelekan ajaran. Jika kondisi sudah normal maka ajaran dilakukan dengan normal. Dalam kasus semisal tayamum, ketika sudah menemukan air orang wajib melakukan wudhu’ bahkan batal tidak sah bertayamum. Begitu pula dalam konteks kebijakan, ketika wabah ini sudah sirna atau setidaknya bisa ditanggulangi penyebarannya, beribadah pun akan kembali normal walaupun tetap ikhtiar dengan mematuhi protokol kesehatan.
Karena itulah, jika umat beragama merindukan kembali dalam kondisi normal tentu harus berperan penting dalam menyukseskan pencegahan virus ini. Jangan menjadi munafik dengan rindu beribadah di tempat beribadah sementara kita justru senang untuk menjadikan virus ini semakin berlama-lama di negeri ini.
This post was last modified on 9 Juli 2021 2:12 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…