Narasi

Berita Hoax dan Kemunculan Unsecured Society

“I fear the day when technology overlaps our humanity. It will be then that the world will have permanent ensuing generations of idiots.”

“Albert Einstein”

Dalam pidatonya untuk mahasiswa California Institute of Technology, Einstein bertanya “Kenapa kemajuan sains yang luar biasa, yang bisa meringkas kerja dan membuat kehidupan lebih mudah, hanya sedikit sekali membawa kebahagiaan pada kita?”.

Einstein lantas memberikan jawaban atas pertanyaannya, jawabannya adalah karena kita belum belajar bagaimana menggunakan teknologi dengan sewajarnya. Berbagai teknologi komunikasi di sekitar kita akan mempermudah penyampaian pesan dan makna. Namun jika tidak digunakan sebagaimana mestinya, media seperti facebook, tweeter dan WhatsApp hanya akan mempermudah penyebaran berita sampah dan pesan palsu.

Di dalam daya pikatnya yang luar biasa, teknologi mengandung konsekuensi resiko atas penggunaannya yang tidak tepat. Penggunaan teknologi yang tidak semestinya akan membawa masyarakat ke dalam sebuah kekacauan. Ulrich Beck menyebutnya “Risk Society”, sebuah gambaran masyarakat yang over dosis teknologi. Masyarakat jenis ini disebutnya tidak memiliki jaminan keselamatan dan dan terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Begitu banyak berita hoax di media sosial merupakan sebuah bukti bahwa masyarakat kita belum bisa menggunakan teknologi sebagaimana mestinya. Konsekuensi atas penyelewengan penggunaan teknologi berakibat pada petaka kemanusiaan yang harus kita tanggung bersama. Seperti yang diramalkan oleh Beck, munculnya unsecured society and uncerainity (masyarakat tanpa keamanan dan ketidakpastian).

Pertanyaan yang diajukan Einstein pada tahun 1931 sepertinya masih relevan untuk zaman ini, di mana dalam tiap sendi kehidupan, sejak bangun tidur sampai istirahat malam, kita tidak dapat terpisahkan dari teknologi. Dengan kecanggihan media sosial, setiap saat kita bisa terkoneksi dengan kerabat tanpa batasan tempat. Semestinya teknologi tersebut membawa kemudahan dan kebahagiaan, namun yang terjadi adalah jalur komunikasi kita banyak sekali dipadati oleh berita-berita hoax. Berita tersebut menjadi santapan kita sejak bangun tidur hingga menjelang tidur.

Fenomena dominasi berita hoax sebagai akibat dari penyalahgunaan teknologi memunculkan berbagai resiko dalam masyarakat, baik berupa resiko sosial maupun resiko mental. Kemunculan atas ketidakpedulian sosial, egoisme, kebencian pada perbedaan, kekerasan dan kejahatan merupakan dampak buruk berita hoax. Di samping masalah sosial, berita hoax yang di-support oleh penyalahgunaan teknologi memunculkan berbagai kerusakan psikis pada individu.

Berita hoax mengandung konten yang tidak benar. Celakanya, banyak perilaku masyarakat yang bersandar dari konten yang tidak benar tersebut, sehingga memunculkan perilaku yang tidak benar juga. Berita hoax tentang suatu kelompok atau agama tertentu, bisa memunculkan perilaku berupa stereotyping, hujatan bahkan sampai kekerasan pada kelompok dan agama lain. Berbagai dampak buruk di atas merupakan cerminan atas masyarakat beresiko. Sebuah masyarakat di mana warganya merasa tidak aman dan tidak memiliki kepastian akan kehidupannya.

Gambaran masyarakat ini sesuai dengan apa yang diutarakan Einstein dalam pidatonya, bahwa di masa ‘perang teknologi’, kita akan saling meracuni dan menjagal. Sementara di masa ‘damai teknologi’, hidup kita menjadi tergesa-gesa dan tidak pasti. Oleh karena itu, agar masyarakat kita tidak terjerumus pada masyarakat yang penuh bencana, hendaknya kita bisa menggunakan teknologi termasuk media sosial secara wajar dan semestinya.

Media sosial hendaknya digunakan sebagai wadah pemersatu, saling menyapa dan menebar kasih. Bukan untuk saling mencaci dan menghujat. Media sosial hendaknya dijadikan sarana untuk berbagi berita yang bermanfaat dan teruji kebenarannya, bukan untuk asal nge-share berita antah-berantah yang mengundang kebencian dan permusuhan. Dengan penggunaannya yang wajar, media sosial bisa menjadi penguat tatanan sosial. Jika sebaliknya, media sosial justru akan meruntuhkan tatanan sosial kita.

This post was last modified on 16 Januari 2018 10:17 AM

Wiwit Kurniawan

Pegiat sosial dan pendidikan, lulusan Sekolah Pasca Sarjana CRCS, UGM Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai Dosen sastra Inggris di Universitas Pamulang dan peneliti pada Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

7 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

7 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

7 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

7 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago