Narasi

Berita Palsu, Senjata Berbahaya Abad Ini

“Four hostile newspapers are more to be feared than a thousand bayonets..”

― Napoléon Bonaparte

“If you don’t read the newspaper, you’re uninformed. If you read the newspaper, you’re mis-informed.”

― Mark Twain

Tiga puluh tahun yang lalu Marshall McLuhan telah memprediksi akan adanya global village dan pentingnya world wide web (www) sebelum hal tersebut ditemukan. McLuhan berpendapat bahwa teknologi informasi akan berperan penting dalam menentukan seperti apa dan bagaimana dunia ini terbentuk. Pada era sekarang ini, kita bisa merasakan bagaimana peran media begitu penting dalam kehidupan kita. Bahkan, informasi yang kita peroleh begitu deras membanjiri pikiran kita. Sampai-sampai kita akan sulit memilah dan memilih informasi apa yang layak untuk dikonsumsi dan informasi mana yang bisa dipercaya.

Pada tahun 2006 Time Magazime merilis man of the year, atau tokoh yang paling berpengaruh pada tahun tersebut. Pada saat itu, alih-alih memajang wajah tokoh terkemuka yang dianggap memiliki pengaruh besar pada masyarakat, Time menyuguhkan gambar sebuah cermin dalam monitor komputer di mana setiap wajah orang bisa muncul di dalamnya. “Yes, You. You control the information Age. Welcome to your world.”

Dalam hal ini Time ingin menandai datangnya era baru. Era di mana individu-individu berperan penting dalam konstruksi masyarakat kita. Kemunculan internet dan penggunaannya yang sangat massif membuat setiap individu bisa menjadi bagian dari dunia. Setiap individu yang memegang teknologi komunikasi mampu mengakses informasi, membuatnya dan menyebarkan pada khalayak umum di berbagai belahan dunia. Dengan adanya teknologi informasi inilah kita semua masuk menjadi global village, saling terkoneksi satu samai lain, tanpa batas waktu dan wilayah.

Dalam masyarakat informasi seperti sekarang ini, kita akan sangat mudah mendapatkan berbagai informasi. Bahkan bisa dikatakan bahwa kita tengah kebanjiran informasi. Dengan banyaknya informasi yang bersliweran di dunia maya, hendaknya kita senantiasa berhati-hati. Tidak sedikit informasi yang dimuat di media tersebut adalah informasi yang tidak benar, yang dibuat untuk kepentingan tertentu. Seperti yang dikatakan seorang penulis asal Amerika, Mark Twain, bahwa ketika kamu tidak membaca berita, kamu akan kurang informasi. Namun jika kamu membaca berita, kamu akan mendapat informasi yang salah.

Hal ini menjadi dilema untuk kita, dalam era teknologi informasi ini kita akan dimanjakan dengan kemudahan mengakses berbagai berita, namun di sisi lain kita perlu waspaada akan berita yang tidak sesuai dengan fakta. Dengan kemudahan internet, akan sangat mudah membuat akun palsu atau media online abal-abal yang bisa digunakan untuk menyebarkan berita palsu yang bisa merugikan orang atau pihak tertentu.

Memang benar ungkapan bahwa segelintir media jahat yang menyebar permusuhan bisa lebih berbahaya dari seribu bayonet. Kita bisa menyaksikan bagaimana berita yang tidak sesuai fakta atau informasi yang dipelintirkan dan diedit sesuai kepentingan bisa mempengaruhi dan berdampak pada ribuan bahkan jutaan orang. Dengan sosial media, seperti facebook, BBM, Twitter, dll setiap orang bisa terpengaruh berita palsu, bahkan menyebarkannya ke jejaring mereka. Kecepatan informasi tersebut tentu memberi dampak yang massif bagi masyarakat. Oleh karena itu, berita-berita bohong yang menebar kebencian merupakan senjata yang sangat ampuh dan berbahaya.

Saat ini di Indonesia, yang bisa mengakses internet kebanyakan adalah kaum terpelajar. Namun,  statusnya sebagai yang terpelajar tidak bisa membuatnya kebal dari pengaruh berita bohong. Mereka bisa dengan mudah mengakes informasi melalui komputer pribadi atau telepon seluler. Kemudahan ini akan memperbesar peluang mereka untuk menjumpai berita-berita bohong. Noams Choamsky dalam bukunya yang berjudul Language and Politics menuturkan,”Kamu tidak memiliki masyarakat selain masyarakat di mana kelas terdidiknya sangat terindoktrinasi dan terkontrol secara efektif oleh sistem propaganda yang halus -sebuah system privat seperti media…”. Hal ini menunjukan bahwa kelompok terpelajar pun bisa menjadi korban berita bohong. Oleh karena itu, sebagai pengguna informasi hendaknya selau waspada dan melakukan pengecekan atas berita yang muncul di media sosial.

Karena dampaknya yang berbahaya dan merugikan, menyebarkan berita palsu bisa tersangkut perkara pidana. Dalam berselancar di dunia maya dan menggunakan  media sosial, hendaknya harus hati-hati dalam menyikapi berita yang muncul dan tidak sembarangan menyebarkan berita yang diterima. Menyebarkan berita bohong, yang berpotensi merugikan dan menimbulkan konflik, merupakan sebuah kejahatan.

Seperti yang tercantung dalam Undang-Undang ITE Pasal 27 ayat (3) bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dan Pasal 28 ayat (1) berisi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik diancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan/atau denda satu miliar rupiah.

Karena penyebaran berita palsu dapat merugikan orang dan khalayak umum serta merupakan tindakan pidana, sebagai pengguna internet dan jejaring sosial media harus cerdas dalam menyikapi berita. Kita harus waspada akan media abal-abal yang akan melakukan provokasi dan menyebar kebencian. Setiap berita yang diperoleh sebaiknya divalidasi terlebih dahulu. Jangan engan untuk membandingkan berita yang kita peroleh dengan media resmi yang ada. Sehingga, bisa kita ketahui apakah berita tersebut bisa dipercaya atau tidak.

Sekarang ini, kita dihadapkan dengan suatu era di mana untuk menjadi cerdas, kita tidak hanya butuh membaca, namun mampu menentukan bacaan mana yang layak dan tidak layak untuk dibaca. Maka, jangan heran ketika ada orang yang hobi membaca, namun tidak cerdas dalam bertutur dan bertindak; ia lebih suka mencaci dan membenci. Hal ini karena ia lebih suka membaca buku provokatif dan mengakses media abal-abal penebar kebencian. Maka, sekarang ini, menjadi cerdas adalah cerdas memilih bacaan.

This post was last modified on 3 Maret 2017 6:07 PM

Wiwit Kurniawan

Pegiat sosial dan pendidikan, lulusan Sekolah Pasca Sarjana CRCS, UGM Yogyakarta. Saat ini bekerja sebagai Dosen sastra Inggris di Universitas Pamulang dan peneliti pada Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan UMP.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

6 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

6 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago