Narasi

Berkoalisi untuk Soliditas Merah Putih

Membangun soliditas kebangsaan akan selalu berpijak dalam merah putih. Bendera kebangsaan Indonesia ini adalah sejarah soliditas, patriotisme, dan perjuangan. Terorisme telah merobek merah putih, bahkan ingin mengganti merah putih dengan bendera lain. Terorisme melahirkan fitnah yang ditebar dalam segala penjuru, isu SARA dihembuskan sangat kencang, rakyat dirobek persaudaraannya. Ini sangat membahayakan, karena merah putih lahir untuk tegaknya NKRI.

Sejarah menjadi saksi, bahwa satu setengah tahun sebelum 17 Agustus 1945, Fatmawati sebenarnya sudah mulai menjahit bendera Merah Putih. Malam menjelang kemerdekaan, Fatmawati mengecek lagi bendera kebanggaan yang dikibarkan bersama lagu yang diciptakan oleh WR Supratman. Untuk mempertahankan Merah Putih, darah para pejuang mengalir ketika 10 November 1945 di Surabaya.Untuk tegaknya Merah Putih, Bung Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, dan lainnya rela mendekam dalam penjara.

Ketika Merah Putih benar-benar bebas dari cengkeraman kolonial, para pejuang waktu itu kembali di rumahnya masing-masing, berjuang di tanah kelahirannya sendiri-sendiri. Mereka tak rakus dan tamak untuk mendapatkan kursi. Walaupun darah dan nyawa menjadi pertaruhan, jabatan dan kursi kekuasaan bukanlah tujuan. Walaupun keluarga ditinggalkan untuk tegaknya Merah Putih, harta dan kekayaan tidaklah imbalan yang mereka inginkan. Mimpi mereka adalah Indonesia Raya yang berdaulat dan bermartabat.

Kini, dalam waktu yang sangat singkat, serangan teroris terus lahir dan merobek dan merusak Merah Putih. Dengan mengatasnamakan jihad, teroris justru merusak makna jihad.

Berkoalisi dalam Soliditas

Jejak Merah Putih adalah sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ketika menyatukan Nusantara, Kerajaan Majapahit menggunakan bendera merah putih. Kerajaan Kediri juga memakai panji-panji merah putih. Bendera perang Sisingmangaraja IX dari Batak juga memakai warna merah putih. Ketika Aceh bergelora, para pejuang Aceh menggunakan bendera merah putih sebagai simbol perjuangan. Merah putih yang digelorakan rakyat Aceh menjadi umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Dari kerajaan Bugis Bone, Sulawesi Selatan, bendera merah putih juga menjadi simbol kejayaan peradaban Bone. Dengan merah putih, mereka meraih semangat meraih peradaban yang terus dikenang sampai sekarang. Gelora heroisme merah putih juga menyala dalam diri Pangeran Diponegoro dan para santrinya dalam Perang Jawa (1825-1830). Walaupun akhirnya dikelabuhi Belanda, tetapi semangat perjuangan Diponegoro dan santrinya tak pernah surut, karena mereka tetap tak pernah mau tunduk kepada Belanda walaupun menyebar di berbagai pelosok desa.

Semangat menggelorakan Merah Putih inilah yang harus dijahit kembali dengan berkoalisi semua elemen dalam menggalang soliditas kebangsaan. Bangsa ini harus mempunyai arah hidup yang jelas, sehingga masa depan tidak dangkal dan tidak suram. Ini sudah pernah ditegaskan Bung Karno dalam amanat proklamasi 17 Agustus 1956.

”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali.”

Kita harus berkoalisi untuk tegaknya NKRI. Teroris adalah orang yang mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Mereka hanya cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Walaupun mereka merasa kuat, sebenarnya mereka itu “kuatnya adalah kuatnya kulit, dan mereka kosong melompong di bagian dalamnya”.

Jejak Merah Putih yang tegak nan tegar sepanjang sejarah Nusantara ini harus bangkit kembali. Masih banyak jalan bagi bangsa Indonesia untuk kembali menegakkan kedaulatan dan martabat bangsa. Koalisi jangan sampai hanya sekedar urusan Pilkada atau Pemilu saja. Koalisi justru harus selalu dikuatkan dalam urusan membangun perdamaian dan kebangsaan. Dengan koalisi inilah, teroris akan semakin kehilangan tempat untuk hidup di bumi Nusantara.

 

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

1 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

1 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

1 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

2 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

2 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

2 hari ago