Beberapa waktu lalu, Wahid Foundation mempublikasikan hasil survei potensi intoleransi dan radikalisme sosial-keagamaan di kalangan muslim Indonesia. Hasilnya, 72 persen responden menolak tindakan radikal. Namun hasil survei tersebut ibarat angka di atas kertas belaka. Ini dipicu oleh kerusuhan di dua vihara, delapan kelenteng, dan satu yayasan umat Buddha, di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kekerasan tersebut menjadi antitesa dari nilai-nilai kebinekaan yang menekankan sikap toleransi umat beragama. Apa yang terjadi menandakan bahwa sikap intoleran masih bersemi di negeri toleran.
Tragedi di Sumatera tentu memantik keprihatinan publik. Sikap toleran yang selama ini terus dikampanyekan seolah-olah mandeg di pemuka agama. Sedangkan bagi penganut agama, nilai-nilai toleran masih jauh panggang dari api. Kekerasan bermotif keagamaan telah melucuti nilai-nilai keberagaman budaya dan agama. Melihat kekerasan yang terjadi, negara seolah-olah tidak memiliki wibawa. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencegah berbagai tindakan destruktif. Kehadiran negara seakan-akan lenyap di tengah masifnya kekerasan bermotif agama. Padahal, negara memiliki wewenang untuk menindak tegas pelaku kekerasan.
Kekerasan bermotif agama di negeri ini masih menjadi kebiasaan struktural-ideologis. Hampir tidak ada penyanggah untuk menekan tindakan destruktif tersebut. Sebelum kekerasan di Sumatera terjadi, telah banyak kekerasan yang melatarbelakangi agama seperti terbakarnya masjid di Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015. Di Yogyakarta pun tidak lepas dari tindakan kekerasan bermotif agama. Pada tanggal 29 Mei 2014, penyerangan terhadap jamaah Katolik di Sleman, Yogyakarta mencoreng nama baik Yogya. Berikutnya penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Tasikmalaya yang terjadi pada tanggal 5 Mei 2013 dan penyerangan terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura juga terjadi pada 26 Agustus 2012 silam.
Kekerasan bermotif agama semakin sulit untuk ditanggalkan. Kekerasan model ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kekerasan bermotif ideologi di Palestina dan Israel. Hingga saat ini, kekerasan tersebut belum mampu diredam oleh dunia. Namun yang paling mencolok dalam beberapa tahun ini adalah negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dengan sesama Sunni. Bahkan ada yang menyebut bahwa NIISS lebih berbahaya daripada Al Qaeda.
Kekerasan di berbagai belahan dunia memang menjadi titik terang bagaimana sikap intoleransi masih menjadi tujuan akhir. Apa yang terjadi di Negeri ini merupakan bagian dari kekerasan yang menistakan keberagaman. Di satu titik, bangsa ini menggembor-gemborkan nilai toleransi dan keadaban pluralisme. Namun di sisi lain, sikap destruktif yang berujung pada pertumpahan darah masih marak terjadi.
Maka, kita melihat bahwa agama memiliki dua sisi yang berbeda dalam pemahaman masyarakat. Di satu sisi, agama sebagai bagian dari upaya untuk hidup rukun, tentram, aman, damai dan mengedepankan nilai-nilai pluralisme. Namun di lain pihak, agama justru didistorsi sebagai bagian dari kekerasan untuk membenarkan sikap anarkis tersebut.
Barang kali kekerasan yang terjadi di Sumatera merupakan salah satu dari realitas bahwa bangsa ini sudah tidak memiliki tali emosional antar bangsa. Padahal, bangsa ini didirikan dan dibesarkan melalui ragam budaya, etnik, sosial, politik, dan agama. Seharusnya, keragaman menjadi pemantik dalam meningkatkan persatuan dan kesatuan antara umat. Tapi faktanya, sesama bangsa Indonesia justru ingin saling menghabisi. Keberagaman antar umat beragama terkoyak. Ketika agama dipandang sebagai bagian dari pembenaran terhadap kekerasan, maka kekacauan lainnya seperti kekacauan sosial, ekonomi, politik ikut terpantik.
Pentingnya Pendidikan Toleran
Untuk itu, kekerasan bermotif agama harus segera diakhiri. Dialog antar pemuka agama harus segera dilakukan agar kekerasan bermotif agama tidak lagi terjadi. Para pemuka agama di berbagai lapisan masyarakat harus berperan aktif dan sebagai mediator antar agama. Sedangkan di ranah pendidikan, peran pendidik harus menularkan sikap toleransi. Di lingkungan pendidikan, pendidikan multikultural harus diintegrasikan melalui ajaran keagamaan dan kewarganegaraan.
Selama ini, dikotomi antara ajaran keagamaan dan kewarganegaraan masih menjadi problem. Sehingga, pemahaman toleransi kerap kali berhenti pada pemahaman sesama agama saja. Padahal, toleransi memiliki makna luas, yaitu menghargai sesama warga negara tanpa melihat dan memandang suku, agama, ras, dan keyakinan. Seyogyanya, pendidikan keagamaan mampu diintegrasikan pada ajaran kewargaan.
Di pihak lain, peran guru sebagai pendidik harus mentransformasikan metode pembelajaran keagamaan secara holistik. Dalam hal ini, pendidik tidak hanya agama yang dianutnya sendiri. Melainkan memperkenalkan agama lain. Guru perlu memberikan arahan, diskusi, tukar pendapat dengan penganut agama lain. Dengan begitu, anak didik ditanami pendidikan multikultural dan toleransi antar agama sejak dari bangku sekolah.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…