Narasi

Bersikap Adil Kepada Anak

“Perkembangan sikap sosial kepada anak mulai di dalam keluarga. Orang tua yang penyayang, adil dan bijaksana, akan menumbuhkan sikap sosial yang menyenangkan pada anak”

(Zakiah Daradjat, 1993: 67)

Ketidakadilan di Indonesia tidak saja merambah kepada aspek sosial, politik dan perekonomian, tetapi ketidakadilan juga telah menyebar di dalam pendidikan anak. Fenomena pilih kasih di Indonesia, bahkan di dalam Islam bukanlah mitos belaka, tetapi hal tersebut adalah fakta adanya. Kita lihat saja di sila kelima dari Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adanya sila tersebut menunjukkan bahwa Indonesia bercita-cita menerapkan kadilan di seluruh masyarakaat, terutama dalam hal pendidikan terahadap anak. Cita-cita tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ketidakadilan memang benar-benar ada dan terjadi di Indonesia. Fakta lainnya adalah adanya istilah anak pintar, anak berprestasi, anak baik, anak rajin, anak pandai, lalu anak bodoh, anak tidak berprestasi, anak malas, anak idiot, anak nakal dan sebutan lainnya.

Begitu juga radikalisme, hal tersebut bukanlah mitos, tetapi nyata adanya. Paham radikal yang masih berkutat ingin mendirikan negara Islam, anti Amerika dan selalu menganggap kelompok lainnya salah, telah lama ada dan berkembang di Indonesia. Kenapa terus berkembang? tentu saja ada regenerasi yang meneruskan. Kenapa tetap ada regenerasi? Salah satunya adalah karena anak-anak yang diberlakukan tidak adil oleh orang tuanya, dapat dengan mudah dipengaruhi, direkrut dan dibaiat serta dijadikan sebagai anak emas oleh kelompok radikal terorisme.

Menurut Zakiah Daradjat (1993: 67), jika orang tua bersikap keras, kurang perhatian dan kurang akrab dengan anak, maka anak akan berkembang menjadi anak yang kurang pandai bergaul, menjauh dari teman-temannya, mengasingkan diri dan mudah tersulut untuk berkelahi, dan memiliki pribadi negatif yang condong anti pati terhadap ligkungannya. Ketika anak disubordinasikan dengan dianggap bodoh, malas, tidak berprestasi di dalam keluarga maupun di sekolahnya, mereka akan mencari tempat dan orang lain yang bisa memberikan kasih sayangnya secara penuh. Di sinilah narasi propaganda atas nama ketidakadilan bisa dimainkan oleh kelompok radikalisme, mereka bisa memberikan kasih sayang dan perhatian lebih kepada anak-anak korban pilih kasih tersebut untuk dijadikan “Pengantin” dengan iming-iming uang dan surga. Pada puncaknya, anak-anak ini lepas kendali, tidak membutuhkan lagi perhatian orang tua sekaligus mengabaikannya.

Sikap pilih kasih terhadap anak sangat riskan dipraktikkan oleh orang tua di rumah dan para guru di sekolah. Namun ironisnya, masih ada saja orang tua di rumah dan guru di sekolah yang memperlakukan anak secara diskriminatif. Oleh karena itu, kita harus menhapuskan sekat antara anak malas dan anak rajin, anak pintar dan anak bodoh, anak berprestasi dan anak biasa-biasa saja, anak nakal dan anak baik, anak cerewet dan anak pendiam.

Menghilangkan Diskriminasi

Kalimat pembuka yang ada di dalam tulisan merupakan kalimat yang bisa memberikan spirit kepada kita untuk menumbuhkan sikap adil, kasih sayang dan bijaksana secara merata sekaligus menghilangkan diskriminasi serta pilih kasih kepada anak-anak. Anak yang diberlakukan adil dan dikasihi, menurut Zakiah Daradjat (1993: 67) akan terlihat ramah, gembira dan segera akrab dengan orang lain.

Kita sebagai pendidik harus mengetahui dan memahami bahwa setiap anak dibekali kemampuan dan rupa yang berbeda. Syekh Khalid bin Abdurrahman Al-‘Akk (2006: 197) menjelaskan bahwa “Hikmah Allah pada makhluk-Nya tidaklah sama dan semuanya berada dalam satu tingkatan. Maka tidak dibenarkan membandingkan anak dengan anak yang lain”. Dari situ kita harus memahami bahwa setiap anak itu berbeda dan tidak bisa disamakan. Kita tidak bisa membeda-bedakan atau berperilaku diskriminatif kepada mereka, karena mereka memiliki posisi dan kemampuan yang berbeda.

Oleh karena itu, kita harus menghilangkan diskriminasi yang sudah tercipta sekian lama di dunia pendidikan. Kita perlu menumbuhkan keadilan di tengah-tengah tindakan diskriminasi terhadap anak. Karena sesungguhnya perlakuan baik dan adil terhadap anak merupakan salah satu faktor kebaktian anak. Mereka akan nyaman dan merasakan aman di dalam keluarga dan lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, mereka tidak lari dan mencari orang-orang yang bisa mengasihi dan bersikap adil kepadanya.

Meghilangkan diskriminasi dan mengukuhkan keadilan sama halnya dengan menutup ruang gerak gerakan radikalisme terhadap anak. Sehingga anak-anak lebih terlindungi dari gerakan-gerakan radikalisme. Anak-anak bisa menjadi individu yang shaleh dan shalehah baik secara individu maupun secara sosial.

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago