Usianya mungkin baru 3 tahun, tetapi apa yang dilakukannya niscaya membuat kita semua terkaget-kaget. Bocah ini terlihat mengarahkan senjata api ke arah pria dewasa yang sudah tidak berdaya. Tangan pria tersebut tampaknya terikat dan berada pada posisi duduk di tanah. Selang tidak berapa lama, anak kecil itu akhirnya menarik pelatuk pistolnya ke hadapan pria tadi. Kejadian tersebut terekam dalam sebuah video yang dirilis ISIS awal Januari 2017. Rekaman ini pun diberi judul “Made Me Alive with His Own Blood”. Ini bukan video pertama yang menampilkan kekejian yang dilakukan anak-anak. Pada September 2016, ISIS juga mengupload video tentang anak kecil berseragam tentara dan menggenggam pistol. Di belakangnya, ada pria dewasa yang membantu mengarahkan pistol anak itu ke salah satu tahanan. Tahun 2015, juga beredar video anak kecil yang mengeksekusi dua pria dewasa yang dianggap sebagai mata-mata.
Beberapa kejadian di atas sangat mengusik akal sehat kita. Bagaimana mungkin anak kecil, yang secara fitrah polos dan baik, bisa melakukan tindakan sadis seperti itu. Tetapi tentu kita tidak bisa menyalahkan anak-anak kecil tersebut. Sebab mereka hanyalah korban dari kelompok teroris. Penulis menyakini, anak-anak tersebut belum paham dengan apa yang dilakukannya. Bahkan bisa jadi mereka menganggap perbuatannya sekedar main-main saja.
Secara umum, ada 3 sikap orang tua terkait keterlibatan anak-anak (atau remaja) terhadap kelompok teroris.
Pertama, orang tua mendukung anaknya untuk terlibat dalam gerakan radikal. Bahkan bisa disebut sengaja menjerumuskan anak-anaknya agar menjadi ekstrem. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus pencekalan WNI yang ingin masuk ke Suriah dengan membawa keluarganya (termasuk anak kecil). Jika mereka akhirnya bisa masuk ke Suriah, niscaya anak-anaknya akan hidup dalam lingkungan yang keras dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok militan. Kita masih ingat, pada Mei 2016, publik tanah air digegerkan oleh video latihan anak-anak yang berasal dari asia tenggara (termasuk Indonesia). Mereka terlihat sedang belajar menggunakan senjata api. Fenomena ini tentu terjadi atas campur tangan orang tuanya. Tidak mungkin anak-anak ini berangkat sendirian ke Suriah. Pasti ada campur tangan ayah dan/atau ibunya.
Kedua, orang tua yang mengetahui putra-putrinya menjadi radikal tetapi mendiamkannya karena menilai sebagai kewajaran. Keterikatan antara orang tua dan anak biasanya sangat erat. Orang tua bisa merasakan jika ada gelagat kurang baik yang menimpa anak-anaknya. Misalnya perubahan sikap dan perilaku setelah bergaul dengan kelompok yang baru dikenalnya. Jika melihat kecenderungan menyimpang, orang tua harus segera mengawasi dan mengarahkan. Tujuannya agar anak kembali tidak terjerumus dalam pergaulan yang tidak baik. Jangan sampai orang tua mendiamkan ketidakberesan yang menimpa anak-anaknya.
Ketiga, orang tua yang tidak mengetahui bahwa putra-putri mereka terlibat dalam jaringan teroris. Banyak kasus penangkapan teroris yang akhirnya menunjukan bahwa keluarga tidak mengetahui aktivitas yang selama ini dilakukan oleh anak-anaknya. Contohnya saja Bahrun Naim yang dimata keluarganya dianggap sosok yang baik dan biasa saja. Tetapi kiprahnya dalam gerakan terorisme cukup membahayakan. Kasus ini mengindikasikan keluarga bisa dikelabui oleh pelaku teror.
Ketiga tipe di atas semuanya sangat berbahaya. Sebab berpotensi menciptakan sosok teroris yang kejam. Meskipun begitu, tipe pertama adalah yang paling memungkinkan mencetak kader teroris tingkat tinggi. Sebab keluarga mensupport anak-anaknya untuk tumbuh dalam konsep yang salah. Mereka diberi fasilitas dan dijejali dengan doktrin yang menyesatkan. Setiap hari “makanannya” adalah pemahaman yang salah. Seperti mengajarkan permusuhan terhadap orang lain, tidak menghormati sesama, berlaku kasar kepada pihak lain, dsb. Nilai-nilai yang telah diajarkan pasti akan tertanam dalam otaknya dan terinternalisasikan dalam dirinya. Tinggal menunggu waktu hingga anak ini berubah menjadi sangat radikal.
Untuk menghindari hal tersebut, maka para orang tua harus semakin sadar dan peduli dengan tumbuh-kembang anak-anaknya. Anak-anak harus sering diberi asupan pemahaman yang bergizi. Didik mereka dengan perilaku yang seturut fitrahnya. Khusus Muslim, anak-anak wajib diajari dengan doktrin cinta-kasih. Banyak sumber yang bisa dijadikan referensi. Misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Ath Thabarani, rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak menyayangi siapa yang ada di bumi, maka tidaklah dia mendapat kasih sayang dari siapa yang ada berada di langit.” Nah, jika seorang anak setiap hari diajarkan hadist yang semacam ini, maka kelak dia akan menjadi pribadi yang selalu mencintai orang lain dan mampu menekan sifat benci dalam dirinya. Inilah yang menjadi pekerjaan para orang tua saat ini. Yaitu menguburkan paham-paham brutal yang menggerogoti nurani dan memastikan tunas-tunas perdamaian keluar dari hati keturunannya.
This post was last modified on 23 Maret 2017 10:41 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…