Media sosial belakangan ini riuh oleh potongan video ceramah Cak Nun yang menyebut Presiden Jokowi sebagai Firaun. Dalam video yang beredar luas di medsos itu, Cak Nun menyebut bahwa pemilihan presiden 2024 sudah ditentukan pemenangnya sejak jauh hari. Hal itu dimungkinkan karena hari ini Indonesia dikuasai firaun yakni Jokowi, Qarun yakni pengusaha Antony Salim dan jaringan 10 naga, serta Hamman yakni Luhut Binsar Panjaitan.
Sontak video itu viral dan menuai ragam respons dari publik luas. Tidak sedikit masyarakat yang menyayangkan ucapan Cak Nun tersebut. Termasuk saya salah satunya. Pertama kali saya mengenal Ema Ainun Nadjib dari sejumlah buku kumpulan esainya yang selalu best-seller yang dicetak ulang itu. Membaca esai-esai Cak Nun ibarat menikmati keluasan wawasan dan kedalaman pikiran sang penulisnya.
Cak Nun adalah penulis beraliran generalis. Ia menulis apa saja, mulai dari agama, politik, budaya, seni, sastra, ekonomi, dan isu-isu lainnya dengan pendekatan dan gaya tutur yang sulit disamai siapa pun. Di ranah seni-budaya, ia memimpin sebuah kolektif musik bernama Kiai Kanjeng yang memainkan beragam musik. Mulai dari qasidah, gamelan, dangdut, rock, bahkan jazz. Ia juga menggelar pengajian bulanan di sejumlah daerah mulai dari Yogyakarta, Surabaya, bahkan Jakarta.
Sosok dengan Beragam Atribut
Cak Nun adalah sosok dengak banyak atribut. Bagaimana pun ia adalah tokoh agama, kiai, dan ulama yang memiliki jamaah. Ia juga sosok seniman dan budayawan kondang. Tidak mengherankan jika sosoknya kerap diperebutkan oleh elite atau kelompok politik tertentu untuk mendapatkan kekuasaan. Meski demikian, sosok Cak Nun dikenal independen, tidak partisan, bahkan dirinya menolak tampil di televisi nasional sebagai narasumber. Ia lebih fokus pada dakwah kebudayaan yang dijalaninya bersama Kiai Kanjeng.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir sikap Cak Nun mulai berubah. Sikap kritisnya pada pemerintah dan pemimpin kian mengarah pada sentime kebencian. Berkali-kali Cak Nun mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan menuai polemik publik. Terakhir penyataannya tentang Indonesia dikuasai firaun bernama Jokowi menyiratkan adanya sentimen politik yang tengah ia pertontonkan.
Di negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah atau pemimpin tentu sah-sah saja. Siapa pun boleh menyampaikan ketidaksetujuannya. Entah itu masyarakat awam maupun tokoh agama atau budayawan. Namun, kritik tentu memiliki batas dan koridor tersendiri yakni norma dan etika. Menyebut Jokowi sebagai Firaun sebagaimana dilontarkan Cak Nun jelas bukan merupakan kritik, melainkan mengarah pada ujaran kebencian.
Kritik Boleh, Ujaran Kebencian Jangan!
Jika ditinjau dari sisi agama (Islam), istilah Firaun merujuk pada pemimpin Mesir kuno yang berkarakter zalim, bengis, kejam dan menindas rakyatnya bahkan mengaku diri sebagai Tuhan. Jika merujuk pada definisi tersebut, maka menyamakan Jokowi dengan Firaun sama saja menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang zalim, bengis, kejam, menindas, dan mengaku sebagai Tuhan. Benarkah demikian?
Sebagai seorang pemimpin, Presiden Jokowi barangkali bukan sosok sempurna. Toh juga tidak akan pernah ada pemimpin yang sempurna di dunia ini. Namun, apakah kesempurnaan ia dalam menjalani perannya sebagai presiden itu lantas layak membuatnya dijuluki Firaun? Menyebut Jokowi dengan Firaun pada dasarnya sama dengan tudingan negara thaghut, pemerintah islamophobia dan frasa-frasa yang kerap dipakai oleh kelompok radikal untuk mendelegitimasi negara.
Di tengah tahun politik yang mulai panas ini, masyarakat terlebih pada tokoh agama dan sosok yang diidolakan publik hendaknya mampu bersikap bijak. Bijak dalam artian bisa menahan ucapan dan perbuatan yang berpotensi melahirkan polemik di tengah masyarakat. Apalagi para tokoh yang memiliki atribusi sebagai budayawan atau seniman. Sosok yang selama ini dianggap sebagai penyeimbang antara kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut pengaruh.
Pernyataan Cak Nun tentang Jokowi yang dianggapnya sebagai Firaun menunjukkan terkikisnya dakwah kebudayaan yang selama ini ia rintis. Forum-forum pengajian yang diselenggarakan di sejumlah kota seperti Maiyah di Yogyakarta, Padang Bulan di Surabaya atau Kenduri Cinta di Jakarta selama ini menjadi forum yang mempertemukan orang-orang dari beragam kalangan. Jamaah Cak Nun tidak hanya berasal dari satu golongan, meliankan lintas-aliran, lintas-ormas, bahkan lintas-agama.
Nasihat-nasihat Cak Nun tentang spiritualitas dan kehidupan yang dikemas dalam humor adalah daya tarik yang membuat banyak orang terpikat padanya. Karakter Cak Nun yang merangkul semua kalangan, mulai dari kaum marginal, masyarakat kelas bawah, bahkan kelompok rentan seperti waria membuktikan kelasnya sebagai seorang yang layak dijadikan panutan. Ironis, semua reputasi yang ia bangun berpuluh tahun itu mulai terkikis oleh sejumlah pernyataan politiknya yang terkesan bernada sentimen kebencian.
This post was last modified on 18 Januari 2023 3:38 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…