Keagamaan

Casing itu Bernama Khilafah

Adalah sebuah ironi untuk tetap menyaksikan sebagian anak bangsa masih terperangkap dalam pemikiran masa lalu dan menolak untuk maju. Di tengah derapnya langkah pembangunan dan kemajuan yang kita alami, ada juga segelintir orang yang benci dengan kemajuan itu dan justru ingin kembali ke masa lalu. Ilusi bernama khilafah yang terus-terusan didengungkan pada akhirnya memang berhasil membuat sebagian orang kehilangan akal pikiran. Mereka memaksakan perubahan sistem pemerintahan yang mereka anggap bertentangan dengan Tuhan, bahkan jika perlu, mereka tidak akan segan berbuat kekerasan.

Mereka tentu saja lupa, bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki cara pandang jauh ke depan, bukannya malah mundur terjungkal kebelakang. Alih-alih memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan untuk menyongsong hari depan, para ilusioner khilafah justru ingin memutar ulang sejarah.

Padahal jika dikaji secara lebih mendalam, Khilafah adalah sebutan lain untuk pemerintahan, sementara pemerintahan memang telah menjadi sebuah keniscayaan untuk kita bentuk.  Khilafah (pemerintahan) merupakan casing atau lapisan luar yang membingkai sistem pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat dari sebuah komunitas negara. Dengan kata lain, Indonesia jelas sudah memiliki khilafah (pemerintahan). Ilusi yang diusung oleh para ilusioner khilafah adalah menyeragamkan bentuk pemerintahan secara global, dimana hal ini jelas merupakan impian dan ilusi yang bertentangan dengan sunnatullah, karena Allah menciptakan kita secara plural.

Jangankan sistem pemerintahan variatif yang manusia putuskan untuk diberlakukan pada negara dan bangsanya masing-masing, Allah SWT dalam Alqur’an menyebutkan sebanyak 8 kali diksi “walau sya’a Allahu, walau sya’a rabbuka la amana kulluhum … “. Pernyataan yang Allah tegaskan itu secara tersurat menunjukkan bahwa bukan keseragaman yang Allah kehendaki; Ia menghendaki keragaman agar kita dapat mengambil pelajaran dari keragaman tersebut, kemudian kita dapat berlomba melakukan yang terbaik, dan yang terbaik dan termulia di sisi Allah SWT adalah yang memilki ketaqwaan kepada-Nya.

Sebagai sebuah casing, setiap pemerintahan di berbagai negara tentu memiliki bentuk khilafahnya masing-masing, misalnya khilafah yang digunakan di Arab Saudi adalah mamlaka atau kerajaan, khilafah yang dijalankan negara Brunei Darussalam berisi sistem Kesultanan, khilafah yang dijalankan Mesir berisi sistem Republik seperti Indonesia. Banyak lagi model negara yang dipraktikkan oleh bangsa lain yang sesuai dengan tuntutan bangsa dan masyarakatnya. Kesemua sistem pemerintahan tersebut dinamakan khilafah, karena khilafah adalah pemerintahan, isi dan sistemnya tentu berbeda-beda serta memiliki bentuk dan variasi masing-masing sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat dalam sebuah bangsa.

Memaknai khilafah sebagai sebuah bentuk pemerintahan merupakan sebuah wacana dan pandangan; tiap orang memiliki hak dan kemampuan melakukan interpretasi atas pola pikir, pengalaman dan hasil bacaan yang dimilikinya. Munculnya model pemikiran seperti itu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang dapat dibaca oleh generasi selanjutnya. Namun realitas sosial politik menuntut  bahwa sistem khilafah (pemerintahan) yang dijalankan oleh masyarakat dalam sebuah bangsa dengan nama dan substansinya yang berbeda-beda seperti yang diutarakan di atas. Perdebatan mengenai pemerintahan tidak perlu berkepanjangan, menyita waktu, tenaga dan biaya. Hal yang mendesak dibenahi adalah berlomba mengisi khilafah yang ada dengan bentuk yang telah ada di setiap negara.

Khilafah yang dimiliki bangsa Indonesia bentuknya adalah Republik, para generasi muda wajib memelihara dan mempertahankan bentuk khilafah tersebut. Jangan sampai generasi muda terbawa arus pemikiran politik yang tidak teratur alias ngawur. Kesalahan pemaknaan terhadap konsep pemerintahan yang berakibat pada perilaku kekerasan tentu sebuah ironi, apalagi jika kekerasan tersebut dilakukan atas nama agama. Kita semua percaya agama mengajarkan kedamaian dan kebaikan, jika pun ada orang yang berlaku keji atas nama agama, tentu itu adalah tipuan belaka.

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago