Narasi

Cegah Terorisme, Libatkan Masyarakat!

Pikiran radikal harus dicegah dan ditangkal sejak dini. Sebab, masalah terorisme tidak hanya bicara tentang ideologi semata. Tapi, ada hal lain yang juga patut diperhatikan secara saksama, yakni perihal ketidakseimbangan sosiologis.

Sekadar flashback, pada tahun 2016 lalu meletus peristiwa meledaknya bom jenis molotov di depan sebuah tempat ibadah di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Tepatnya di Gereja Oikumene Jalan Cipto Mangunkusumo Kelurahan Sengkotek, Kecamatan loa Jalan Ilir pada 13 November 2016 pukul 10.10 waktu setempat. Insiden ini kemudian dikenal dengan sebutan “Bom Samarinda 2016”. Satu orang meninggal dunia dan tiga orang lainnya mengalami luka-luka. Pelakunya diduga kelompok Jamaah Ansharut Tauhid yang berbaiat dengan ISIS.

Insiden teror Bom Samarinda tentu terjadi bukan tanpa sebab. Ada kemungkinan banyak faktor yang melatar-belakanginya, apalagi yang menjadi korban adalah seorang anak kecil yang masih terbilang bocah. Bagaimana masyarakat luas tidak marah, tindakan pembunuhan nyawa manusia itu telah mengusik ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk itu, program deradikalisasi harus menggunakan pendekatan yang tepat, termasuk pendekatan sosial budaya. Di mana masyarakat juga harus diajak dan dilibatkan untuk berperan aktif mengawasi lingkungannya agar terbebas dari hadirnya paham radikal di tengah-tengah warga. Salah satu hal yang dihimbau adalah perihal proses pelaporan identitas warga yang harus kembali dibenahi dan dijalankan dengan baik.

Seluruh elemen masyarakat sama-sama punya tanggungjawab secara bersama untuk mencegah dan menangkal tindakan kejam dan keji berupa teror. Jadi tentu saja kita tak dapat hanya menyalahkan Polri, TNI, BIN dalam menilai keberadaan terorisme di negara kita, seluruh elemen masyarakat harus bersatu padu melawan terorisme.

Selain itu, pola penanganan yang integratif wajib diupayakan pemerintah. Kasus di Samarinda adalah bukti paling nyata bahwa pemerintah masih belum solid dan belum integratif dalam agenda pencegahan dan penanggulangan terorisme dan radikalisme di tanah air.

Untuk penanganan terorisme dan radikalisme, dengan adanya program khusus pemerintah untuk ketahanan masyarakat dan bangsa mulai dari tingkat RT/RW, Kelurahan/Desa, dengan semangat Bhineka Tunggal Ika, tujuan untuk pembinaan dan pengawasan, meningkatkan kepedulian dan toleransi, di mana beberapa tahun belakangan ini sudah kehilangan rohnya.

Memberantas terorisme adalah tanggung jawab kita semua sebagai warga negara yang cinta tanah air. Hal tersebut bukan hanya tanggung jawab Lembaga Intelijen dan aparat keamanan semata. Embrio terorisme sudah ada di tengah masyarakat, jadi peran aktif kita juga harus ada terhadap gejala sosial radikalisme dan lain-lain. Elemen-elemen yang kiranya mudah terpengaruh radikalisme dan sejenisnya harus kita waspadai bersama.

Aksi-aksi para teroris dan deretan peristiwa terorisme membutuhkan peran aktif semua elemen masyarakat termasuk inter departemental seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial serta Kementerian Agama yang juga dituntut bekerja aktif hingga ke tingkat akar rumput masyarakat agar ajaran-ajaran dan ajakan-ajakan yang radikal bisa terbendung serta sedapat mungkin diberantas. Dan deradikalisasi juga harus gunakan berbagai pendekatan dari soft power yang bersifat pendekatan kultural hingga hard power jika dibutuhkan. Jangan lupa, ISIS masuk ke semua negara juga melalui pendekatan budaya. Mari membangun masyarakat yang damai-sejahtera bersama.

This post was last modified on 11 Januari 2021 12:07 PM

Imam Muhlis

Pendidik pada Universitas Nahdlatul Ulama Al Ghazali (UNUGHA) Cilacap, Alumnus Magister Ilmu Hukum UGM Yogyakarta

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

20 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

20 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

20 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago