Peristiwa memilukan yang terjadi di Tolikara belum lama ini tentu mengejutkan. Kejadian tersebut berlangsung tepat saat kebanyakan dari kita masih asik makan ketupat dan opor ayam di hari kemenangan yang baru saja selesai kita rayakan. Kebanyakan dari kita yang sebenarnya berada sangat jauh dari lokasi kejadian sempat ikut blingsatan mendengar kabar tentang kekejian yang terjadi di tanah Papua itu, terlebih berbagai media seakan berlomba memberi kabar tentang apa yang ‘sebenarnya’ terjadi di sana.
Bagi kita yang malas melakukan verifikasi tentu akan mudah terpancing emosi, sebab ternyata tidak sedikit media yang mengaku memberitakan meski nyatanya mereka malah sedang membutakan. Informasi yang mereka sampaikan sangat jauh dari kebenaran, alih-alih menyampaikan fakta, mereka malah asik menebar praduga dan propaganda. Berita-berita baik (Baca: cnnindonesia.com) tidak akan mereka lirik, karena justru berita yang penuh intrik-lah yang paling menarik.
Misalnya, fakta tentang Pendeta GIDI dan Imam Masjid yang saling meminta maaf dan berpelukan di Tolikara atas kegilaan yang sempat terjadi tidak akan dijadikan sebagai tajuk utama pemberitaan. Mereka lebih tertarik untuk menampilkan ‘berita’ yang dapat membangkitkan amarah.
Karenanya kita harus cerdas memilih berita, jangan asal membaca apalagi sampai percaya begitu saja. Berikut adalah beberapa ciri-ciri media yang tidak layak baca. Saya menamai jenis medianya sesuai dengan sifat dari media tersebut.
Pada jenis ini, media lebih mengutamakan tampilan daripada kualitas pemberitaan. Saya tidak bilang bahwa dangdut hanya soal pamer goyangan, sebab banyak juga dangdut yang berkualitas yahud. Karenanya saya hanya mengkhususkan pada dangdutan di khitanan, yang hanya ada untuk membuat kebisingan dan keruwetan goyangan. Dalam konteks media, ‘goyangan’ yang ditampilkan kerap berupa judul-judul berita yang kerap dibuat secara seronok dan urakan. Kita yang membaca isi beritanya akan hilang kesadaran dan lupa pada semangat utama kemanusiaan.
Jika anda pernah kerokan, anda pasti tahu bahwa tujuan utama dari aktifitas ini adalah menimbulkan bekas merah pada bagian tubuh yang dikerok. Beberapa mungkin masih mengira bahwa tanda merah yang muncul adalah bukti bahwa anda sedang masuk angin, padahal tanpa masuk angin sekalipun, kulit anda pasti akan merah jika digosok menggunakan koin plus balsem! Begitu juga dengan media jenis ini, memberitakan fakta secara jauh lebih mengerikan daripada kejadian yang sesungguhnya. Gambar dan pernyataan palsu biasanya sengaja dimasukkan untuk menambah sense kengerian. Kita yang membaca tulisan mereka akan mengalami merah-merah pada mata, otak dan hati.
Mungkin media jenis ini tidak pernah butuh polisi atau hakim yang akan membacakan putusan di balik meja persidangan, karena mereka sudah berlaku laiknya pengadilan itu sendiri. Isi dan ragam pemberitaan yang mereka sebar tidak lain adalah untuk memetakan siapa lawan siapa kawan. Dalam memberitakan suatu persitiwa, media jenis ini tidak akan segan untuk langsung menunjuk hidung tersangka yang menurut mereka paling bertanggungjawab. Bagaimana dengan metode konfirmasi? Basi! Mereka tidak punya waktu dan nyali untuk melakukan itu.
Tipe terakhir dari media yang tidak layak baca adalah tipe oplosan. Layakanya ‘ramuan sakti’ pada minuman oplosan yang asal campur dan asal minum, media jenis ini juga sangat santai dalam mencampur dan mengoplos sumber berita. Kenapa sumber? Tentu karena biasanya media ini berisi orang-orang yang tidak pernah datang langsung ke lokasi. Informasi yang diterima adalah ragam berita yang sudah kadung bertebaran di media. Apakah isi beritanya ‘memabukkan’? tentu iya, karena dengan membaca berita dari media jenis ini kita bisa langsung kehilangan kesadaran.
Namun yang paling mengerikan, dalam konteks ini kita pun bisa tanpa sadar menjadi bagian di dalamnya. Kecuekan kita untuk begitu saja men-share berita di medsos masing-masing tanpa terlebih dulu membaca dan memahami isi beritanya sama juga dengan mengoplos berita tanpa pernah peduli pada takarannya.
Karenanya, silahkan membaca karena membaca dapat membuka dunia. Namun, jangan pernah lupa untuk selalu kritis dan selektif dalam memilih bacaan, karena seperti kata Slipknot dalam lagunya yang berjudul “duality”; nothing is what it seems!
Selamat membaca!
This post was last modified on 27 Juli 2015 2:44 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…