Categories: Narasi

Kita Islam dan Juga Indonesia

Gagasan tentang Islam Nusantara masih terus mengalir deras, meski harus diakui penolakan terhadap gagasan ini juga tidak kalah beringas. Sebagian besar kelompok yang menolak gagasan ini mengira bahwa ide Islam Nusantara hanya ditujukan untuk menebas Islam dari basis aslinya (Arab). Berbagai dalil diumbar demi memperkuat argumen tersebut, kecurigaan –atau lebih tepatnya kemalasan belajar— membuat sebagian dari kita lupa bahwa selain menjadi penganut Islam, kita juga adalah warga Indonesia yang memiliki budaya dan tradisi luhur yang tidak akan begitu saja kita biarkan hancur lebur.

Satu fakta utama yang tidak bisa kita dustai adalah Islam kita memang sama (dengan yang ada di Arab sana), tetapi praktek dan penghayatan keislaman kita jelas berbeda. Ada banyak kebiasaan yang berisi penuh kebaikan yang khas Indonesia dan tentu saja tidak bisa begitu saja kita abaikan, apalagi hancurkan. Karena sama halnya dengan Arab, Indonesia adalah juga ciptaan Tuhan.

Dengan menjadi Indonesia, kita bisa mengenali Islam dalam perspektif yang lebih baik. Hal ini disebabkan setidaknya oleh tiga sebab utama. Pertama, di Indonesia kita memiliki ijtihad yang bersifat kolektif. Seluruh masukan dan gagasan penting ditampung untuk kemudian dirembuk bersama sebelum mencapai keputusan. Salah satu contoh hasil dari ijtihad kolektif tersebut adalah munculnya konsep demokrasi.

Meski negeri ini dihuni mayoritas oleh muslim, namun kita tidak mau untuk jumawa memberlakukan hukum Islam di negeri ini, bukan karena hukum Islam itu tidak baik, tetapi untuk urusan bernegara –ingat, BERNEGARA–, demokrasi memang masih lebih baik.

Kedua, Islam yang ada di Indonesia begitu akomodatif. Kita menerima segala bentuk budaya dan tradisi lokal dan ‘mendandaninya’ dengan riasan Islam, tentu selama hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan baku yang ada dalam Alquran maupun Hadist. Ada sebuah dalil kuat dalam kaidah fiqih tentang hal ini, yakni:  al-tsabitu bil `urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi adalah sama kedudukannya dengan [sesuatu] yang ditetapkan berdasar alquran-hadits).

Dalam hal menutup aurat misalnya, kita memang menjalankan perintah menutup aurat, namun kita memiliki berbagai cara dalam menjalankan perintah agama ini, yang tentu saja tidak semuanya sama dengan yang ada di Arab. Kita memiliki sarung, peci, kopyah, dll. Begitu juga dengan pelaksanaan hukum waris yang memiliki sisi-sisi perbedaan dengan yang terjadi di Arab.

Ketiga, dan ini yang paling penting, Islam di Indonesia tidak memiliki akar sejarah kekerasan. Berkat pendekatan elegan yang dilakukan oleh Wali Songo dan para ulama terdahulu, Islam disampaikan dengan cara-cara santun dan mengendepankan keadilan. Dalam tradisi ini kita tidak pernah diajarkan untuk memperlakukan orang lain yang menganut agama atau kepercayaan yang berbeda secara tidak baik, karena perbedaan justru berkah yang harus disyukuri dan terus dijaga.

Sehingga ketika ada segerombolan orang yang mengaku membela Islam namun memilih jalan kekerasan, tentu kita dapat tahu bahwa mereka tidak sedang menjalankan Islam yang Indonesia.

Gagasan tentang Islam Nusantara sama sekali tidak bermaksud untuk menegasikan peran Arab –entah melalui bahasa, adat, maupun sejarahnya—, karena justru dari sejarah dan pergumulan panjang yang dilalui Islam di Arab-lah kita menjadi mengerti bahwa Islam tidak kaku. Dalam fiqih ada banyak kaidah yang menyokong fakta ini.

Islam tidak hanya tentang copy-paste apa yang ada di Arab, karena tujuan utama dari pembebanan seluruh hukum Islam adalah tercapainya kemaslahatan manusia (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil `ibad), termasuk menggunakan kearifan lokal dalam aplikasi keislaman. Dalam hal ini kita bersandar pada dalil ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa `inda Allah hasanun” (apa yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah).

Mari menjadi muslim yang mampu menjunjung langit dimana bumi dipijak, karena kita Islam dan kita adalah Indonesia.

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

3 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

3 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

3 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

3 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago