Narasi

Cinta sejak dalam Pikiran

Car Free Day merupakan simbolitas bahwa dalam satu hari itu, di pagi itu, sejenak masyarakat kota yang sehari-hari terliputi kebisingan kendaraan dan polusi udara, dapat mengehela udara segar. Seremonial macam itu menjadi pengingat pentingnya udara bersih dan timbul hasrat untuk meninggalkan kendaraan pribadi. Kiranya spirit yang sama kita dapatkan dari terminologi adagium Hate Free Day pada editorial Jalan Damai (7/5).

Pada hari-hari ini, kita pun terliputi aneka kebisingan dan kegaduhan yang tidak perlu. Ironisnya, kebisingan terutama di media sosial bukan sekadar guyonan ringan. Melainkan perkara politik yang dibumbui oleh sentimental keagamaan dan etnisitas. Tak pelak, kegaduhan macam demikian berpotensi mengoyak kerukunan anak bangsa. Dalam linimasa media sosial, saban hari, hampir-hampir selalu terjumpai postingan yang mengarah pada hasutan, hoaks, ujaran kebencian.

Dan benar saja, polarisasi dan fragmentasi masyarakat sulit terhindar. Masing-masing “kubu” bersikukuh untuk terus saling merendahkan dan mencari ruang kesalahan. Berdasar itu, kiranya timbul anasir pikiran: mengapa manusia sebagai homo sapiens ini seakan-akan lebih mencirikan aura kejahatan ketimbang menguarkan narasi-narasi kasih sayang serta cinta. Celakanya, manakala para penguar kebencian merupakan orang-orang berkategori agamais. Paradoks sikap macam inilah yang perlu disesali.

Maulana Rumi, sang sufi agung itu mengajarkan petuah-petuah tentang hasrat puncak menuju Tuhan. Namun, hal itu akan sia-sia tatkala dalam keseharian lakunya, manusia masih belum mampu mengikis kebencian pada sesama. Bagi Rumi, jalan pertama menggapai fase mahabbah Sang Adikodrati adalah, dengan mencintai seluruh manusia. Membuang habis sisi iri, dengki, dan rasa benci. Jalan untuk mencapai cinta Ilahiah adalah dengan memberikan cinta dan kasih sayang kepada penghuni jagat raya ini.

Dari Rumi, Rabiah Adawiyah, maupun hampir-hampir semua sufi, telah mengajarkan konsepsi cinta secara mendasar. Hal ini sebagai pijakan manusia dalam melihat dan menjalani lika-liku kehidupan sehari-hari yang tidak terlepas dari masalah, amarah, dan sak-wasangka. Dari para sufi, kita bisa belajar untuk membedakan mana yang hak dan batil. Seorang penjahat, misalnya, perlu dibedakan antara dia sebagai seorang personal-individual dan perilaku kejahatan sebagai sisi lainnya. Para sufi menganjurkan bahwa, kita tetap tidak boleh membenci penjahat dalam konteks dirinya sebagai seorang manusia. Namun, kita wajib membenci dan menghukum atas perilaku kejahatannya. Inilah kiranya yang bisa kita sebut sebagai berpunya rasa cinta sejak dalam pikiran.

Ada banyak tamsil yang bisa kita lihat; terutama kala baru-baru ini para keluarga korban  bersedia memaafkan para mantan pelaku terorisme. Dari para keluarga korban dari serangkaian aksi banal tersebut, mereka telah sanggup membedakan seorang mantan penjahat sebagai personal yang masih mempunyai hasrat penyesalan. Rasa bersalah, sesal diri, berpunya malu sejatinya adalah semacam gen yang ada pada diri tiap manusia. Pun, sikap pemaaf juga satu paket yang berada dalam jati diri manusia sebagai fitrah.

Begitu pula mengingati Nelson Mandela; bertahun-tahun mendekam di penjara dan terbelenggu oleh keterasingan. Namun, Mandela ketika lepas jeruji besi dan berganti menduduki kursi kekuasaan –di mana dengannya bisa membalas dendam, toh telah menamsilkan bahwa cinta itu sudah ditanamkan dalam-dalam semenjak dari pikiran. Jalan permaafan Mandela merupakan manifestasi dari semburat cintanya untuk membuka lembaran baru membangun Afrika sekaligus memutus kesumat dendam.

Pada pergaulan sehari-hari, ketika dalam satu komunitas elemen kebangsaan bernama Indonesia ini terdiri beragam suku dan etnis, maka seyogianya rasa mencintai sesama anak bangsa itu menjadi basis kesadaran individual maupun kolektif kita bersama. Dengan kata lain, menghasratkan mencinta berarti ada kesepahaman bahwa masing-masing suku maupun etnis hakikatnya setara dan bersederajat. Tidak ada nilai keunggulan bahwa sukuku lebih superior ketimbang sukumu. Semua suku mempunyai keunikan masing-masing yang tidak dapat diukur benar-salah dan baik-buruk. Dengan kesadaran tersebut, diharapkan ada kesalinghormatan serta nuansa guyub kebersamaan. Dan, pada titik kulminasi, bakal tidak sampai kata dan perbuatan untuk membenci mereka yang berlainan asal-usul, berbeda etnis, maupun suku.

Sama halnya dalam bingkai keberbedaan mazhab dan paham keagamaan. Tudingan bidah dan semacamnya kepada yang tidak sepaham justru antiklimaks dan kontraproduktif dalam menghadirkan kesejukan lakon beragama serta peran agama itu sendiri sebagai rahmat semesta alam. Antarmanusia hendaknya berprinsip bahwa aku dan kamu adalah sesama yang seyogianya merajut persaudaraan dan kerja sama. Sedangkan urusan relasi dengan Tuhan hendaknya dicukupkan pada area privasi; menyandarkan bahwa cara beragama/berketuhanan oleh masing-masing orang merupakan seutuhnya domain Tuhan, bukan wilayah manusia. Bila kesadaran tersebut terpatri, rasanya mustahil manusia akan selalu berebut kebenaran dan senantiasa mengumbar provokasi kebencian.

Cukuplah manusia satu dengan yang lain memandang dengan narasi dasar berupa sebentuk kesadaran kesatuan dan kesamaan sebagai manusia. Singkirkan anasir labelisasi bawaan, stigma negatif, dan stereotip gegara dia tidak sesuku, berlainan mazhab, dan berbeda agama. Keberbedaan suku dan etnisitas justru menjadi ruang jumpa dan titik temu untuk saling mengenal dan menyayangi (lita’arafu). Sementara keberbedaan menganut agama, oleh Baginda Nabi Saw telah terwedar keteladanan untuk tetap menaruhkan toleransi tinggi  (lakum dinukum waliyadin). Walhasil, jalan pertama merengkuh hasrat berpunya rasa cinta kepada manusia adalah dengan mencari titik persamaan hingga ke akar-akarnya. Kalaupun tak sebangsa, tak sesuku, tak seagama, toh semuanya berujung pada kesamaan sebagai sesama manusia. Bila rasa cinta sudah menghunjam, kiranya tidak bakal sampai ada uaran kebencian di sana-sini. Rukun setiap hari, guyub saban waktu. Semoga!

Muhammad Itsbatun Najih

Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Recent Posts

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

11 jam ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

12 jam ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

12 jam ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

1 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

1 hari ago

Membongkar Nalar Fetakompli HTI; Benarkah Menolak Khilafah Berarti Anti-Islam?

Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…

2 hari ago