Narasi

Melawan Hate Speech dengan Gerakan Hate Free Day

Hate speech (ujaran kebencian) harus dilawan dengan pembudayaan dan gerakan hate free day (hari tanpa kebencian). Ujaran kebencian terbukti propaganda dan diproduksi kelompok tertentu untuk merusak perdamaian. Sindikat Saracen dan Muslim Cyber Army (MCA) jadi bukti produsen ujaran kebencian.

Data Direktorat Tindak Pidana Siber (Ditsiber) Bareskrim Polri, sindikat Saracen tiap service pengelola isu ujaran kebencian dan SARA dibandrol Rp 75 juta – Rp 100 juta. Mereka memiliki 2000 akun untuk menjelekkan agama Islam, Kristen, dan lainnya (Merdeka.com, 23/8/2017).

Pola MCA hampir sama. Data Ditsiber Bareskrim, menyebut MCA memiliki grup MCA United, Cyber Moeslim Defeat Hoax, Tim Sniper MCA, dan The Family MCA. Dari grup ini, ada ratusan ribu anggota produsen isu provokatif. Mulai kebangkitan PKI, penculikan ulama, penyerangan nama baik presiden, pemerintah, dan lainnya (Liputan6.com, 1/3/2018).

Tujuan finalnya tentu menghancurkan NKRI. Produksi hate speech jika dibiarkan akan merusak NKRI  Khususnya, bagi anak-anak di bangku SD/MI sampai SMA/SMK/MA. Secerdas apapun, mereka sulit membedakan berita ramah dan radikal. Jangankan anak SD, orang dewasa dan akademisi saja termakan berita hate speech, cyberbullying (perundungan siber) daripada berita mendamaikan.

Strategi Melawan

Kondisi ini tak bisa dibiarkan. Kita harus melawan dengan strategi jitu, pendekatan jangka panjang dan pendek dengan gerakan hate free day. Pertama, menggerakkan literasi media digital dan membumikan budaya hate free day. Hari bebas kebencian tak boleh formalitas. Strategi ini merupakan gerakan budaya dan teknologi ramah.

Doktrin perdamaian harus melekat tiap hari. Meski perayaan International Day of Peace (Hari Perdamaian Internasional) hanya 21 September. Di Indonesia tak cukup itu, maka hari bebas kebencian perlu dirayakan tiap hari.

Perdamaian harus diciptakan lewat gerakan nyata. Di negeri ini, sangat sedikit perayaan yang mendukung pembangunan perdamaian. Paling mentok perayaan Hari Perlindungan Anak-anak Sedunia pada 1 Juni. Perayaan ini juga belum bisa mendukung perdamaian secara komprehensif. Sebabnya, perkembangan hate speech super cepat, sedangkan anak-anak tiap hari tak lepas dari internet.

Kedua, pembudayaan berinternet sehat tiap hari. Khususnya, saat mengakses media online dan medsos. Ketiga, membudayakan hidup literat dengan mengenalkan sumber berita di media online terpercaya pada anak-anak. Banyaknya berita bermuatan ujaran kebencian dan sentimen SARA kerap terjadi karena minimnya pengetahuan literasi media digital. Asalkan media itu berdomain .com, .co, co.id, .id, .net dan sejenisnya, masyarakat membagikan tanpa klarifikasi.

Keempat, penguatan literasi media digital berbasis data. Teknisnya, media-media ramah dan bermuatan hate speech, cyberbullying, hoax, fake dan provokasi harus dikenalkan. Perlu pemetaan media hate speech dan ramah, serta deteksi dini potensi berkembangnya berita hate speech di dunia maya maupun nyata. Mulai dari deteksi konten berita teks, suara, video, gambar, aplikasi dan meme.

Kelima, Kemkominfo dan BNPT bisa membuat aplikasi atau situs pendeteksi berita hate speech. Meski sudah ada aplikasi deteksi berita hoax dan fake, namun masih minim bahkan belum ada aplikasi pendeteksi media/berita hate speech.

Peran Tiga Lembaga

Menciptkaan hari bebas kebencian tak cukup lewat langkah praktis pada penguatan literasi media digital. Perlu penguatan tiga lembaga pendidikan sesuai tri sentra pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat).

Anggota keluarga harus melek literasi media digital. Porsi konsumsi gadget dan pengawalan pada anak harus cermat. Mereka harus mengenalkan mana media toleran dan produsen ujaran kebencian. Tak boleh sekadar melarang. Orang tua wajib memberi edukasi literasi media dari aspek ideologi sampai teknis.

Sekolah juga berperan menciptakan program di luar Gerakan Literasi Sekolah yang menitikberatkan pada literasi media digital. Selama ini sekolah mengejar materi kognitif (pengetahuan) saja. Namun masih minim penguatan literasi media digital aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan).

Jika keluarga dan sekolah menciptakan iklim dan budaya “hari bebas kebencian”, otomatis masyarakat mengikuti. Masyarakat melek literasi media digital dan berbudaya bebas kebencian dimulai dari keluarga dan sekolah.

Pondok pesantren, bimbel, ormas keagamaan dan pemuda, harus membudayakan hari bebas kebencian. Hal itu bisa diinisiasi BNPT, Badan Kesbangpol, dan Dinas Kominfo. Jika terlaksana, maka gerakan hari bebas kebencian akan memutus tunas-tunas radikalisme.

Benih hate speech bisa melahirkan radikalisme dan terorisme. Pemutusan mata rantainya bisa dicapai lewat pembudayaan dan gerakan hari bebas kebencian. Maka budaya hari bebas kebencian harus digerakkan secepatnya. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

This post was last modified on 8 Mei 2018 1:19 PM

Hamidulloh Ibda

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago