Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi selama dua dekade belakangan berdampak pada pola distribusi pengetahuan Islam. Fenomena dakwah Islam di era revolusi digital ini telah mengalami perubahan signifikan. Salah satunya ditunjukkan oleh adanya pergeseran pola dakwah yang lebih banyak dilakukan melalui media digital, terutama kanal media sosial. Corak dakwah di media sosial dalam banyak memiliki karakter khas dan unik yang membedakannya dengan model dakwah konvensional. Hal ini memiliki sisi positif dan negatif sekaligus.
Dari sisi positifnya, dakwah digital di media sosial bisa menjangkau khalayak yang lebih luas ketimbang model dakwah konvensional. Karakter media sosial yang terbuka dan fleksibel memungkinkan semua kalangan mengakses dawah Islam secara mudah, murah dan kapan saja. Hal ini tentu patut disambut optimis dan patut diapresiasi lantaran meningkatnya animo umat Islam menikmati dakwah di medsos bisa diartikan sebagai meningkatnya kesalehan kaum muslim. Lihat saja betapa menjamurnya pengajian online di kanal-kanal medsos, mulai dari Facebook, YouTube, Instagram dan platform media sosial lainnya.
Namun, di sisi lain fenomena dakwah digital di media sosial juga menimbulkan sejumlah dampak negatif. Antara lain menjamurnya ustadz medsos yang hanya berdakwah hanya bermodalkan keterkenalan alias popularitas, penampilan yang menarik dan gaya tutur atau komunikasi yang atraktif. Fenomena ini sebenarnya sudah ada jauh hari sejak mewabahnya dakwah Islam melalui televisi yang memunculkan sejumlah nama ustadz selebritis. Greag Fealy dan Sally White dalam bukunya Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia menyebutkan bahwa fenomena tele-dai atau pendakwah populer di televisi merupakan akumulasi dari perkembangan dakwah Islam yang bertemu dengan kepentingan kapitalistik industri media televisi. Apa yang terjadi di ranah media sosial agaknya hanya menduplikasi apa yang telah terjadi di dunia televisi. Nuansa komodifikasi agama dalam dakwah di media sosial pun agaknya tidak dapat dinafikan.
Selain itu, menjamurnya ustadz medsos yang rajin melakukan dakwah di ranah digital juga diwarnai oleh banyaknya konten dakwah yang bisa dibilang menyimpang. Dangkalnya pemahaman keislaman para pendakwah di media sosial kerapkali melahirkan kesalahpahaman dalam memahami ajaran Islam. Alhasil, materi dakwah mereka pun tidak jarang menyinggung satu kelompok, membuat resah publik dan menimbulkan perpecahan umat. Lebih parah dari itu, banyak materi dakwah di medsos yang disusupi oleh paham radikal keagamaan yang berlawanan dengan dasar dan falsafah negara, yakni Pancasila. Dalam perkembangan selanjutnya, fenomena dakwah digital di medsos lebih banyak mengarah pada penyimpangan. Dakwah digital di medsos menjadi seperti ruang publik terbuka yang tidak berisi pencerahan, alih-alih pembodohan dan penyesatan. Alhasil, terjadi pendangkalan atas pemahaman ajaran Islam di tengah masyarakat.
Menuju Dakwah Berperspektif Moderatisme dan Kebangsaan
Tentu saja kita harus obyektif dalam melihat fenomena menjamurnya dakwah digital di media sosial. Sebagai sebuah ruang publik, media sosial tentu tidak bisa dilepaskan dari infiltrasi hal positif dan negatif. Maka dari itu, kewajiban kita ialah mendorong agar sisi positif dakwah digital terus dikembangkan dan dirawat dan sebaliknya menekan sisi negatif dakwah digital ke titik seminimal mungkin. Langkah paling mudah yang bisa kita lakukan ialah dengan memperbanyak corak dakwah di medsos yang berkarakter moderat dan berwawasan kebangsaan. Corak dakwah digital seperti yang diinisasi oleh Kiai Ulil Abshar Abdalla dengan “Ngaji Ihya’ Online” perlu diperbanyak. Hal ini penting dilakukan untuk membangun narasi tandingan dakwah digital di medsos yang kadung didominasi oleh corak dakwah Islam yang bernuansa pendangkalan agama.
Gejala pendangkalan Islam yang mewujud pada narasi dakwah yang provokatif, intoleran bahkan radikal di media sosial ini sudah sepatutnya kita lawan dengan melahirkan corak dakwah yang berkarakter moderat dan berorientasi pada pencerahan umat. Dakwah Islam harus dipahami dalam perspektif luas, tidak hanya sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan keislaman, syiar Islam atau malah seremoni belaka. Lebih dari itu, dakwah Islam harus dipahami dalam kerangka besar mewujudkan umat Islam yang mampu memahami ajaran Islam secara rasional dan kontekstual. Dakwah Islam dengan demikian, harus memantik kesadaran umat Islam akan pentingnya intelektualitas dan pemikiran kritis dalam menyelesaikan problem keagamaan, keumatan dan kebangsaan.
Dalam perspektif yang demikian ini, para juru dakwah akan menyandang peran sebagai apa yang diistilahkan oleh antropolog Clifford Geertz, yakni cultural broker alias pialang budaya. Para juru dakwah memegang peranan stategis sebagai perantara antara ajaran agama yang sakral di satu sisi dengan realitas sosial-budaya yang profan di sisi lain. Keberhasilan para juru dakwah dalam menjalani peran pentingnya bagi agama dan masyarakat ini sangat ditentukan oleh kapabilitasnya sebagai ahli agama sekaligus organisator sosial. Dalam konteks inilah gagasan tentang penguatan wawasan kebangsaan di kalangan para juru dakwah menemukan relevansi dan signifikansinya. Tantangan Islam dan bangsa Indonesia ke depan bisa dipastikan akan semakin berat.
Di satu sisi, Islam tengah menghadapi tantangan berat akibat gelombang arus deras modernisme yang menghasilkan sejumlah residu persoalan. Demikian juga bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tantangan multidimensi. Hanya dakwah Islam dengan karakter moderat dan berorientasi pada wawasan kebangsaan lah yang mampu mendorong Islam dan bangsa Indonesia menuju peradaban yang lebih maju. Ke depan, bangsa ini membutuhkan juru dakwah yang tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, jago beretorika dan piawai berorasi. Lebih dari itu, bangsa ini membutuhkan para juru dakwah yang mampu menggali sekaligus menerjemahkan pesan-pesan keislaman yang relevan dan solutif bagi problematika keumatan dan kebangsaan.
This post was last modified on 10 September 2020 4:24 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…