Narasi

Dakwah Moderasi, Menangkal Radikalisme Online Saat Pandemi

Pandemi memaksa manusia untuk memindah basis aktivitasnya dari yang semula offline menjadi online. Saat pandemi, semua lini dan sektor kehidupan hampir semua memanfaatkan media daring. Situasi ini ternyata juga dimanfaatkan oleh para pengusung khilafah, pengasong radikalisme agama, untuk semaksimal mungkin memasarkan ideologi, doktrin, dan kepentingan mereka.

Bandan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut, bahwa selama wabah Corona ini propaganda radikalisme semakin meningkat, serta perekrutan anggota untuk dijadikan anggota teroris tidak berhenti meski saat Corona (Republika/23/6/20). Setidaknya sudah ada 84 tersangka terkait jaringan teroris dari rentang waktu Januari hingga Juni 2020. Dan, beberapa di antaranya, terdapat rencana serangan yang berhasil digagalkan aparat keamanan.

Internet menjadi lahan basah bagi kelompok radikal, apalagi ditambah situasi seperti saat ini. ketika semua aktivitas kehidupan berbasis online. Ceramah, video pendek, provokasi lewat meme, penggiringan opini, dramatisasi suatu kebijakan, play victim, menuduh pemerintah dan pihak tertentu sebagai anti-Islam, adalah cara-cara yang dilakukan oleh kaum radikal.

Dalam acara diskusi online yang diadakan oleh Jaringan Literasi Santri Jakartadengan tema Cyber Radikalisme Menyasar Milenial (24/04/20), Zuhairi Misrawi, intelektula muda NU menyebut bahwa ada lima hipotesa radikalisme cyber.

Pertama, internet  merupakan medan baru yang mungkin dapat dijadikan instrumen bagi kaum radikalis. Batas-batas yang selama ini ada, di tangan internet itu semuanya hilang. Kebebasan di dunia maya tak terkontrol. Orang bisa dengan bebas mengakses konten yang ia mau.

Baca Juga : Ekstremisme Agama, Islam Rahmah dan “Civil Society”

Kedua, internet dapat dijadikan ruang menuangkan ide oleh kaum radikal. Kebebasan di dunia maya itu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk merekrut dan mengampanyekan doktrin, paham, ideologi, dan kepentingan kelompoknya.

Ketiga, internet memudahkan penyebaran ideologi kaum radikalis. Ketimbang media offline dan cara-cara manual-konvensional, penyebaran ideologi berbasis online lebih cepat, efektif, dan lebih mudah menyasar sasaran.

Keempat, internet memungkinkan menyebarkan radikalisme tanpa melalui perjumpaan fisik. Hanya dengan modal kuota orang bisa sepuasnya dan sebebasnya mengasekses konten-konten radikal. Dan kelima, internet memungkinkan seseorang menyebarkan radikalisme secara mandiri (self-radikalisme).

Melindungi Diri dan Sikap Kritis

Maraknya radikalisme online menjadi masalah tersendiri di tengah masih mewabahnya virus Corona. Kita tidak saja dituntut untuk waspada pada virus Covid-19, melainkan juga pada virus radikalisme yang terus mewabah.

Dalam konteks ini, kita perlu mawas diri, melindungi diri dan keluarga dari ancaman virus radikalisme itu. Selain pemerintah dan masyarakat harus tetap memberikan kontra narasi digital, kita juga harus mempersenjatai diri kita sebagai alat penangkal.

Senjata itu adalah sikap kritis. Penting bagi pengguna memiliki jiwa kritis. Artinya jangan percaya 100 persen terhadap informasi yang diterima. Sikap skeptisme harus ada dalam bermedia. Kita tak boleh percaya 100 persen pada apapun.

Selain itu, kita perlu berita dan opini pembanding. Opini kedua, ketiga, banyak-banyak opini dari semua orang perlu kita baca. Setelah itu jangan langsung terima, kita tetap berpikiran kritis.

Jiwa kritis bisa dibangun dari memperbanyak pengetahuan, misalnya lewat membaca buku. Namun, yang paling penting adalah berkenalan dengan orang dari berbagai kelompok. Perkenalan dengan yang berbeda suku, agama, budaya, atau pun watak serta karakteristik membuat kita lebih open minded dan tidak mudah terprovokasi.

Moderasi Sebagai Filter

Senada dengan tips di atas, dalam konteks radikalisme agama, Habib Husein Ja’far al Hadar, salah satu aktivis Islam Cinta, menambahkan tiga tips lain untuk jauhi konten radikal online. Tips ini berangkat dari semangat moderasi Islam, yang lebih mengedepankan Islam sebagai rahmatanlilalamin.

Pertama, kita memastikan sumber ceramah jelas dan pendakwahnya punya reputasi baik. Kredibilitas pendakwah bisa dilihat dari latar belakang pendidikannya, afiliasinya, orientasi pilitiknya, serta kerya-karyanya.

Kedua, kita memeriksa apakah ceramah itu menebarkan cinta kasih atau kebencian. Jika disampaikan dengan cara yang tidak santun, padahal nabi itu diutus dengan akhlak dengan kesantunan. Maka walaupun itu benar, kita harus menolaknya.

Ketiga, jika ceramah itu mengajarkan kekerasan, maka kita wajib meninggalkannya. Perdamaian (al-sulh) adalah nilai fundamental agama yang tak boleh dilanggar. Dengan tips-tips di atas, kita bisa memagari kita, kelurga, serta masyarakat dari ulah-ulah oknum-oknum tertentu yang memenfaatkan sitaasi pendemi untuk kepentingan kelompoknya.

This post was last modified on 29 Juni 2020 1:31 PM

Nursaulina

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago