Strategi rebranding Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya cukup berhasil. Meski entitas HTI secara fisik sulit diidentifikasi, namun di dunia maya mereka cukup mendominasi. HTI bangkit dengan model dakwah baru, yakni dakwah yang nge-pop. Dakwah nge-pop dapat diidentifikasi dari sejumlah karakter.
Pertama, model dakwah yang fokus di ranah digital dengan kemasan audip visual yang menarik. Sekaligus juga dirancang untuk bisa menaklukkan algoritma media sosial. Kedua, model dakwah yang membahas hal-hal yang berhubungan langsung dengan kehidupan umat. Bukan membahas hal filosofis yang sulit dipahami umat awam. Misalnya, bahasan tentang jodoh, karir, keuangan, dan sebagainya.
Ketiga, disampaikan dengan bahasa yang mudah, santai, dan cenderung informal. Pendakwah tidak menempatkan diri di atas jamaah, namun berusaha setara dengan komunikasi dua arah.
Keempat, model dakwah yang berusaha menyasar kalangan anak muda dan remaja dengan jargon-jargon seperti hijrah, sunnah, dan sejenisnya. Terakhir, para pendakwah ngepop ini umumnya tidak mau mengklaim dirinya sebagai ustad, melainkan lebih nyaman menyebut dirinya sebagai influencer.
Kemunculan dakwah nge-pop ini merupakan konsekuensi dari perubahan lanskap dakwah keislaman di Indonesia. Kemunculan media baru, yakni internet dan media sosial mendorong pergeseran otoritas keagamanan.
Kelompok muda terutama milenial dan gen Z tidak lagi menjadikan ulama, kiai, atau lembaga keislaman resmi seperti MUI, NU, atau Muhamadiyah sebagai rujukan utama dalam mempelajari Islam.
Internet dan media sosial melahirkan para pendakwah baru yang digandrungi oleh anak muda dan remaja. Para pendakwah baru ini datang dengan pendekatan yang lebih fresh dan related dengan gaya hidup anak muda yang dinamis dan moderat. Dari sinilah fenomena dakwah nge pop itu lahir.
Dakwah nge-pop ini cenderung dilematis dsn problematis. Bagaimana tidak? Di satu sisi, dakwah nge-pop kerap menjadi ajang komodifikasi agama alias menjadikan agama sebagai sarana mendapatkan keuntungan finansial. Fenomena pendakwah terkenal yang mematok tarif mahal adalah contoh nyata bagaimana dakwah nge-pop ini rentan dikomodifikasi.
Di sisi lain, dakwah nge-pop juga kerap dijadikan sebagai sarana penyebaran soft-radicalism. Yakni penyebaran ideologi radikal memalui pendekatan kultural, pendidikan, atau cara non kekerasan lainnya.
Model dakwah Nge-Pop inilah yang belakangan diadaptasi oleh para influencer HTI untuk menyebarkan paham khilafah segala halus dan terselubung. Mereka mengampanyekan khilafah melalui narasi keislaman dan media sosial, tanpa mengeksploitasi cara kekerasan, atau ancaman.
Inilah corak gerakan soft-radicalism ala Influencer HTI. Mereka mengemas radikalisme ke dalam kajian-kajian keagamaan yang membahas tema atau isu kontemporer terutama yang related dengan gaya hidup anak muda dan remaja.
Meski memakai pendekatan non-kekerasan soft radikalisme ala Influencer HTI ini tidak kalah berbahayanya dengan hard-radicalism. Jika hard-radicalism bermain di tataran aksi kekerasan, maka soft radicalism lebih banyak bermain di ranah psikologis.
Yakni bagaimana mencuci otak umat agar pelan-pelan mengadaptasi pola pikir konservatif bahkan ekstrim, sehingga lambat laun muncul kebencian terhadap kelompok agama lain maupun otoritas pemerintahan yang sah.
Penggiringan opini untuk mendelegitimasi demokrasi dan mendeskreditkan pemerintahan yang sah sebagaimana marak belakangan ini adalah bagian dari skenario soft radicalism ala para influencer HTI.
Menjadikan gen Z sebagai sasaran dakwah nge-pop berbalut soft-radicalism oleh para influencer HTI ini jelas bukan tanpa alasan. Gen Z adalah penentu arah bangsa ke depan. Menguasai alam pikir gen Z sama saja menguasai masa depan Indonesia. Mencuci otak gen Z adalah investasi paling menjanjikan bagi gerakan radikal seperti HTI.
Maka, pembangunan manusia mustahil dilakukan tanpa memasukkan unsur deradikalisasi dan kontra narasi ekstremisme. Belakangan, agenda kontra ekstrmisme dirasa kian mengendur. Euforia zero attack terrorism selama dua tahun belakangan tampaknya membuat pemerintah dan masyarakat abai pada agenda deradikalisasi dan kontra ekstrmisme terutama di kalangan gen Z.
Tampaknya pemerintah dan masyarakat terjebak pada narasi bahwa radikalisme telah mati dan perang melawan terorisme sudah usai. Padahal, realitasnya tidak demikian. Radikalisme lahir dalam wujud dan pendekatan yang lebih halus.
Para influencer HTI tidak mengajak gen Z mengkudeta pemerintah atau mengajak kaum muda meracik bom untuk melancarkan teror. Namun para influencer HTI dengan operasi senyapnya berusaha mencuci otak generasi Z agar berpikir tekstualis dan konservatif.
Para influencer HTI juga secara pelan-pelan berusaha mendistorsi kepercayaan anak muda pada negaranya sendiri. Dimulai dengan mencekoki anak muda dengan narasi sejarah bangsa lain yang diglorifikasi. Lalu secara otomatis, anak-anak muda itu akan lupa akan sejarah bangsanya sendiri. Alhasil, kebangsaan terhadap bangsa dan negara sendiri pun luntur.
Soft radicalism adalah agenda jangka panjang HTI. Efeknya belum akan terasa saat ini, namun di masa depan. Ketika gen Z berhasil dicuci otaknya, ditanamkan pola pikir tekstualis, dan dihilangkan rasa bangga dan cintanya pada tanah air, maka di masa depan mereka potensial menjadi agen-agen ekstremisme dan terorisme.
Mari kita bayangkan Indonesia bukan dilihat dari 10 atau 20 tahun yang lalu. Tetapi, bayangkan…
Validasi adalah sebuah elemen yang melekat pada Generasi Z. Keduanya berkelindan. Tak terpisahkan. Beberapa tahun…
Geliat gerakan yang dimotori gen Z di sejumlah negara ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata.…
Gen Z lahir dengan dua kewarganegaraan. Indonesian citizenship dan internet citizenship (netizen). Bagi mereka, tidak…
Hasil survei dari Alvara Institute pada tahun 2022 lalu menyebutkan bahwa agama menjadi salah satu…
Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…