Narasi

Damai itu Membahagiakan Orang Lain

“Yang harus selalu kita lakukan adalah bagaimana membahagiakan orang lain,” demikian salah satu pesan terakhir Nurcholis Madjid (Cak Nur) di minggu terakhir bulan Agustus 2005, menjelang detik-detik wafatnya ketika dirawat intensif di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Cak Nur dikenal sebagai pemikir Islam yang brilian, juga sebagai pejuang yang sangat gigih dalam membangun Islam yang toleran dan damai.

Saat ini, mudah sekali orang mencela dan membuat gelisah orang lain. Tidak sedikit yang “sampai hati” menyakiti hati sesamanya. Ironisnya, atas nama ajaran agama, seringkali manusia malah menyakiti dan menyengsarakan orang lain. Padahal, sepahit apapun ajaran agama itu dilakukan, tujuannya tetap menggapai kebahagiaan. Seperti minum obat yang pahit sekalipun, justru yang hadir adalah kesehatan dan kebugaran.

Sayangnya, saat ini ajaran agama justru melahirkan sengsara dan petaka. Orang yang Islam, dan menjalankan aktivitas agamanya, malah dikafirkan. Dahulu, para wali dengan begitu “susah payah” berjihad untuk mendakwahkan Islam di Nusantara. Kini, para aktivis jihad malah sibuk mengafirkan. Bom bunuh diri terus terjadi berulang-ulang, semua didasarkan atas nama agama. Inilah, ajaran agama justru melenyapkan kebahagiaan.

Damai adalah Kebutuhan   

Setiap pribadi manusia membutuhkan perdamaian. Ini kebutuhan individual. Tidak ada manusia yang menginginkan dirinya galau dan gelisah. Ini dasar manusawi. Untuk itu, apapun yang dijalankan manusia pasti ingin menggapai menuju kebahagiaan. Sayangnya, jalan menuju bahagia seringkali “gagal dipahami”. Karena mendapatkan ilmu tanpa rujukan yang jelas, kebahagiaan sirna. Karena kepentingan politik sesaat, kebahagiaan justru diabaikan.

Mereka yang gagal paham dalam mempelajari “teks agama” seringkali tidak punya silsilah (sanad) ilmu yang terukur, yakni bisa sampai Nabi Muhammad. Ilmunya putus, bahkan seringkali “putar balik” dari sesamanya yang “salah arah”. Ini beda dengan sanad ilmu yang diajarkan di pesantren. Mereka mempelajari ilmu-ilmu klasik yang sanadnya jelas, terukur, dan tak terputus. Ilmu yang dikaji juga disertai contoh-contoh yang sudah diteladankan para ulama.

Ketika menjelaskan ihwal makna jihad, maka bisa merujuk kepada Kitab I’anatut Thalibin, kitab fiqh dalam Mazhab Syafi’iyah. Dalam kitab itu, jihad itu maknanya luas. Salah satu praktiknya dilakukan KH Hasyim Asy’ari ketika menggelorakan resolusi jihad, 22 Oktober 1945. Jihad yangdigelorakan dalam rangka membela tanah air, membela tumpah darah, dari cengkeraman penjajah yang menindas. Jihad dilakukan sebagai wujud cinta kepada bangsa, ingin hidup damai dalam menjalankan aktivitas ibadah dan aktivitas sehari-hari.

Kemudian, kedamaian seringkali dirusak oleh kepentingan politik. Term jihad yang sering digelorakan justru lahir dalam rangka kepentingan politik sesaat. Banyak partai politik yang sibuk mendakwahkan jihad, ujungnya hanya untuk mendapatkan suara dari konstituen. Akhirnya damai lenyap, sirna, dan sebatas mimpi saja. Di sini, tidak salah kemudian kalau Cak Nur pada tahun 1970-an membuat slogan “Islam Yes, Partai Islam No”.

Menurut Komaruddin Hidayat (2005), saat itu partai politik disakralkan sebagai agama. Padahal, perilaku elite partai tidak mencermin akhlaq mulia. Banyak kemudian yang alergi dengan partai. Inilah yang didobrak oleh Cak nur. Ini masih relevan sampai sekarang. Jika partai dan dakwah ingin tambah maju, maka harus ditopang kekuatan moral-intelektual serta keseriusan dan kesanggupan memecahkan persoalan bangsa serta menciptakan perdamaian.

Dari sini, damai harus diperjuangkan bersama. Tentu dengan niat tulus untuk melayani sesama. Ini ditegaskan dengan jelas dalam QS al-Baqoroh, ayat 113: “bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Nabi Muhammad juga menegaskan serupa: “seorang Muslim adalah dia yang kata-katanya dan perbuatannya tak menyakiti (merugikan) orang lain”.

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Recent Posts

Denyut Nadi ISIS di Nusantara

Mengutip laporan Washington Post, seperti dikutip oleh Kompas, ISIS masih memiliki sekitar 10.000 pejuang aktif…

2 jam ago

Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

Penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 beberapa hari lalu seharusnya tidak lagi kita baca…

3 jam ago

Mempertahankan Narasi Islam Moderat di Tengah Tantangan Ideologis

Gerakan yang terafiliasi dengan ISIS kini menghadirkan tantangan baru dalam ranah ideologi. Dulu, kelompok ini…

6 jam ago

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

24 jam ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

1 hari ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

1 hari ago