Narasi

Damai Sejak dalam Media Sosial

Pengguna aktif media sosial, kita pernah membaca sebuah unggahan di Facebook tentang “kakek penjual nasi uduk yang sepi pelanggan” menjadi viral dan mendatangkan banyak simpati dunia maya. Siapa nyana, unggahannya bergerak viral. Unggahan tersebut dibagikan lebih dari 89.000 kali dan mendapat ribuan komentar bernada simpati.

Reaksi pengguna tak berhenti sampai di dunia maya belaka. Segera setelah perbincangan menghanggat di internet, gerobak nasi uduk itu dilaporkan banyak didatangi orang. Banyak orang kemudian menghubungkan keberuntungan kakek ini dengan kekuatan media sosial yang mampu menggerakan orang-orang untuk melakukan hal positif.

Selain kakek penjual nasi uduk, masih banyak dampak positif dari unggahan di media sosial. Di berbagai kesempatan, ada banyak kasus yang memperlihatkannya. Beberapa waktu lalu misalnya, seorang pemilik warteg bernama Saeni di Banten mendapat sumbangan uang dari netizen setelah video berita beredar luas memperlihatkan petugas Satpol PP membuang semua dagangannya.

Kekuatan media sosial?

Mulai tahun 2002, perkembangan teknologi informasi memasuki era social networking website atau media sosial. Lewat Friendster (2002), Myspace (2003), Facebook (2004), setiap individu bisa menjadi “media”. Ia dapat menyebarkan opininya secara lebih luas dan berdiskusi secara intens menggunakan media sosial. Saling bertukar informasi dalam bentuk tulisan, foto, rekaman suara, video terus menerus difasilitasi oleh media sosial yang tingkat pertumbuhannya begitu pesat.

Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa 51,8% dari penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta orang merupakan pengguna internet. Pulau Jawa termasuk di dalamnya, Yogyakarta, menyumbang 65% populasi pengguna internet terbesar di Indonesia sebanyak 86,3 juta orang dengan rata-rata usia 14-40 tahun. Usia ini merupakan target untuk penyebaran propaganda terorisme dan radikalisme.

Sedangkan dalam penelitian menjelaskan jenis konten internet yang paling sering diakses adalah media sosial. Hampir keseluruhan pengguna internet, dipergunakan untuk media sosial. Dalam media sosial yang paling sering dibuka, adalah Facebook, kemudian diikuti Instagram, Youtube dan beberapa media sosial lainnya.

Melihat pesatnya relasi media dan kekuasaan di Indonesia, success story media sosial pada perubahan sosial yang diteliti oleh Yanuar Nugroho, serta statistik kekuatan media sosial yang ada sekarang, tak heran bila Ulin Yusron dalam tulisan “Sosial Media Sebagai Angkatan Kelima Pilar Demokrasi”, berharap media sosial dapat menjadi pilar kelima untuk menggantikan pers yang kini dikuasai oleh kekuatan modal dan politik, serta menjadi “pedang tajam yang mengiris ketidakadilan”. Harapan yang demikian tinggi ini disertai dengan sejumlah prasyarat yang menurut Ulin harus disertai agar media sosial menjadi gerakan sosial (melawan kekuasaan).

Ancaman datang dari bentuk-bentuk “slacktivisme” yakni bentuk kegiatan online yang tak punya dampak langsung pada perubahan sosial. Bentuknya mulai dari membubuhkan “like” pada status/facebook page hingga petisi online yang tidak mengubah apapun di dalam kenyataan. Ancaman-ancaman ini sangat melemahkan upaya untuk menjadikan media sosial punya dampak kepada perubahan sosial.

Terhadap yang kedua ini, perlahan mulai dikenali sebagai ancaman yang serius karena menjadikan “social cause” hanya sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan marketing. Karena sulit dibedakan antara slacktivisme dan aktivisme sosial di tahapan awal, banyak masyarakat yang terjebak dan kemudian berapriori pada perubahan sosial yang hendak ditawarkan lewat media sosial.

Mereka takut perubahan yang ditawarkan hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis mulai juga muncul dengan mengatakan bahwa kekuatan media sosial untuk melakukan perubahan sosial tak lain hanyalah gembar-gembor omong kosong dari social media evangelists. Bila skeptisisme ini meluas, bukan tidak mungkin media sosial justru kian melemah.

Agenda Bersama

Bila mengharapkan relasi media sosial dan kekuasaan menjadi kuat, sebagaimana terjadi di banyak negara ketika perubahan kebijakan kota ikut mengundang blogger ke dalamnya, aktivis sosial media terlibat dalam perubahan sosial, maka perlu agenda bersama yang harus disegerakan untuk mengatasi ancaman-ancaman yang kini muncul tersebut.

Prasyarat keempat yang diajukan Ulin Yusron agar aktivis media sosial menggelar rapat-rapat untuk merumuskan strategi, taktik, organisasi dan program sudah dalam tahap perlu dimaksimalkan. Tujuannya jelas, agar kebebasan yang didapat lewat perkembangan teknologi informasi ini tidak kemudian malah disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan demi segelintir orang yang ingin berkuasa. Atau yang lebih membahayakan lagi, malah digunakan untuk melemahkan kekuatan madani yang kini ada.

Novita Ayu Dewanti

Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

2 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

2 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

2 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

3 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

3 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

3 hari ago