Analisa

Dari Fikih Kebangsaan hingga Fikih Peradaban : Membaca Dinamika Pemikiran Islam, Negara dan Peradaban

Perkembangan pemikiran Islam Indonesia menarik disimak khususnya dalam konteks hubungan dengan arena sosial-politik. Fikih sebagai produk ijtihad para ulama digunakan sebagai pisau analisis dalam memandang realitas yang terus bergerak dinamis. Karena itulah, produk pemikiran akan terus berubah karena watak zaman yang terus bergerak dinamis.

Pemikiran Islam di Indonesia bergerak dinamis mengikuti ritme perubahan dari sejak era kolonial hingga era digital saat ini. Pemikiran Islam tidak boleh bersifat statis dan jumud karena akan bertentangan dengan tujuan syariat yang diembannya.

Dalam tulisan ini akan diulas potret singkat dinamika pemikiran Islam khususnya para ulama dalam mendefinisikan realitas sosial politik. Dari potret ini kita akan bisa melihat dinamika perjalanan pemikiran Islam yang terus bergerak dinamis dengan tidak melepaskan diri dari substansi tujuan syariat.

Dari Darul Islam Hingga Trilogi Persaudaraan

Kita akan memulai dari era kolonial bagaimana umat Islam berhadapan dengan status wilayah nusantara.

Pada Muktamar tahun 1936, NU menyebut Kawasan nusantara saat itu sebagai darul Islam atau Kawasan Islam. Meskipun Indonesia saat itu dijajah dan dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda, NU memandang nusantara adalah daerah Islam atau darul Islam, tetapi bukan daulah Islamiyah atau pemerintah Islam.

Penyebutan wilayah Islam karena nusantara pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam walaupun pernah direbut dan sedang dijajah kaum kafir. Penyebutan darul Islam mempunyai konsekuensi pemberlakuan syariat Islam. Jika ada jenazah yang tidak jelas identitasnya, ia diperlakukan sebagai muslim. di wilayah Islam, semua penduduk wajib memelihara ketertiban, mencegah perampokan, dan kejahatan lainnya. Kesepakatan darul Islam bukan status politik kenegaraan, tetapi sebagai status wilayah nusantara.   

Pada tahun 1945, NU beserta dengan ormas keislaman lainnya menyepakati dasar Republik Indonesia Pancasila, bukan sebagai negara Islam. Tentu pilihan ini didasarkan pada konsensus kebangsaan negara Indonesia yang majemuk. Pilihan untuk tidak memilih negara Islam adalah ijtihad ulama demi kemashlahatan ammah.

Namun, pada Oktober 1945, meskipun bukan negara Islam, tetapi NU melalui KH Hasyim Asyari mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bagi masyarakat Islam Indonesia, membela tanah air sebagai tempat tinggal bersama adalah jihad.

Momentum berikutnya yang tidak kalah fenomenal adalah pada tahun 1983-1984, ketika NU menegaskan NKRI sebagai bentuk final dengan asas negara Pancasila. Keputusan ini mengakhiri polemik tentang kegamangan hubungan Islam dan negara (Pancasila). Bagi NU, Pancasila bukan agama dan tidak menggantikan agama, tetapi mempunyai ruh dan semangat yang tidak bertentangan dengan agama.

Tidak kalah pentingnya, pada tahun 1987, NU memperkenalkan suatu prinsip peradaban membangun bangsa yang dikenal dengan trilogi persaudaraan : ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah/insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).

Trilogi ini mulai memantapkan jati diri bangsa Indonesia dan Islam pada khususnya. Tidak ada lagi dikotomi antara sesama anak bangsa untuk memusuhi atau memandang yang lain berbeda berdasarkan identitas primordialnya. Jika berbeda agama, kita masih bersaudara dalam kebangsaan. Jika berbeda bangsa, kita masih bersaudara dalam kemanusiaan.

Bagi saya, konsep ini merupakan rumusan cerdas dan brilian yang didasarkan pada nilai-nilai universal Al-Quran tentang persaudaraan kemanusiaan. Hadist pula menegaskan bagaimana Nabi menghormati yang berbeda agama karena sesungguhnya mereka adalah sesama umat manusia.

Bukan Darul Islam, Tidak Ada Istilah Kafir

Tidak berhenti di situ, dengan kristalisasi politik identitas dan arus intoleransi yang cukup menguat di tengah kehidupan bangsa Indonesia, NU kembali bangun memberikan solusi kebangsaan. Tepatnya, pada tahun 2019 gelaran Munas Alim Ulama NU kembali menggemparkan dengan rumusan yang brilian.

Melalui tema Bahstul Masail “Negara, kewarganegaraan, Hukum negara dan Perdamaian” NU merekomendasikan mengganti sebutan kafir untuk sesama warga negara yang berbeda agama dengan sebutan non muslim. Sontak, keputusan ini ditanggapi dengan sumbu pendek dengan tidak melihat argumentasi dan dasar ta’bir (ibarat/rujukan) bagaimana NU mengeluarkan keputusan tersebut.

Tentu saja keputusan NU tentang status non Muslim ini muncul di tengah masyarakat digital yang hanya hobi membaca judul tanpa melihat isi. Mereka yang hanya mudah terprovokasi, tetapi melihat argumentasi. Jadilah, keputusan itu kontroversial bagi yang tidak berilmu.

Apabila kita melihat lebih jauh, sesungguhnya keputusan itu bagian penting dari produk fikih kenegaraan yang tidak ada kaitannya dengan status kafir dalam aspek teologis. Dalam istilah fikih kenegaraan dikenal darul Islam, darul harby dan darul mu’ahad.

Dari kategori fiqhiyah tersebut muncul status non muslim dalam kacamata darul Islam dengan istilah kafir harby yang berarti orang kafir yang harus diperangi karena agresif, kafir dzimmi berarti orang kafir yang tunduk dan dilindungi, kafir mu’ahad yang berarti orang kafir yang dilindungi karena menjalin kesepakatan dan kafir musta’min yang berarti orang kafir imigran yang meminta suaka perlindungan.

Kategori fiqih di tas sebenarnya adalah status sosial-politik yang tidak ada kaitannya dengan status teologis keagamaan. Fikih kenegaraan mendefinisikan mana kafir yang layak diperangi dan mana yang harus dilindungi. Namun, kategori ini pun sebagai cara pandang dalam negara Islam.

Persoalannya, bangsa Indonesia dengan konstruksi NKRI bukan sebagai negara Islam, tetapi negara perjanjian antara seluruh umat beragama. Karena itulah, semua umat beragama adalah muwathinin atau warga negara. Itulah mengapa Rasulullah menyebut umat Yahudi dalam perjanjian Madinah sebagai satu umat bukan dengan sebutan kafir. Nabi menggunakan istilah ummatun wahidah.

Sampai di sini mata akal yang sehat akan memahami penggantian istilah kafir dengan non muslim bukan ranah keimanan, tetapi pergaulan sosial-politik dalam konstruksi fikih kenegaraan. Keputusan ini mempertegas bentuk negara Indonesia bukan negara agama yang menghakimi yang berbeda dengan istilah kafir harby, kafir dzimmy, kafir mu’ahad, dan musta’min. Semuanya adalah warga negara yang mengikat perjanjian.

Bukan Khilafah, Tetapi Mashlahah Ammah

Melanjutkan cara pandang fikih kebangsaan, NU pada tahun 2023 menjelang satu Abad mengumpulkan para ulama dari berbagai negara. Dari fikih kebangsaan, NU berupaya terus membangun tidak hanya perdamaian nasional, tetapi peradaban global. Muncullah rekomendasi penting yang lagi-lagi cerdas dan brilian bagi mereka yang memahami substansi dan argumentasi.

Pada tanggal 6 Februari 2023 seluruh Ulama dunia berkumpul di Sidoarjo dalam perbincangan Fikih Peradaban yang digagas oleh Nahdlatul Ulama.  Hasil rekomendasi pertemuan tersebut dibacakan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Yenni Wahid di hadapan Presiden RI dengan menegaskan cita-cita dan penerapan khilafah tidak sesuai dengan prinsip maqasyid syariah (tujuan pokok agama). Dalam konteks, pergaulan antar bangsa sistem ini justru akan menghadapkan umat Islam dengan non muslim yang akan melahirkan permusuhan, peperangan dan kekacauan yang menyalahi prinsip dan nilai tujuan syariah.

Dalam konteks berbangsa, cita-cita dan impian penerapan khalifah juga acapkali bertabrakan dengan tujuan pokok agama. Ketidakstabilan sosial, politik, dan runtuhnya sistem negara akan melahirkan konflik dan kekerasan yang diwarnai permusuhan di negara yang multikultural.

Sistem khilafah pada akhirnya menyulut api konflik dan permusuhan antar sesama anak bangsa yang tentu saja bertabrakan dengan nilai-nilai agama. Karena itulah, pilihan terbaik sesuai dengan prinsip agama adalah menjalin persaudaraan kemanusiaan berdasarkan kemaslahatan bersama (mashalahah ammah).

This post was last modified on 22 September 2023 12:06 PM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago